Menyoal Pertumbuhan Ekonomi 7 Persen

Opini681 Views

 

 

Oleh: Aisyah Karim, S.H, Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

_________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Badan Pusat Statistik (BPS) pada 5/8/2021 merilis kabar gembira bagi negeri yang sedang berjuang untuk sembuh ini. Kabar baik itu berupa pengumuman pertumbuhan ekonomi Indonesia Kuartal II yaitu terhitung mulai bulan April sampai dengan Juni 2021 mengalami kenaikan sejumlah 7,7 persen. Nilai kenaikan ini dipandang cukup amazing mengingat sebelumnya pada periode yang sama di tahun 2020, pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan yang signifikan yaitu 5,3 persen.

Meski cukup menghibur, namun pengumuman ini kemudian justru mengundang ketidakpercayaan publik. Apalagi realitas pahit yang dirasakan selama 18 bulan berjuang di tengah pandemi. Hampir semua indikator yang mencerminkan kondisi ekonomi makro mengalami terjun bebas alias nyungsep.

Perekonomian rakyat yang sebelumnya telah babak belur dihajar resesi global menjadi semakin hancur dihajar pandemi. Mulai dari pertumbuhan ekonomi, konsumsi rumah tangga, inflasi, pengangguran, tingkat kemiskinan hingga Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur anjlok.

Struktur Produk Domestik Bruto (PDB) berdasarkan pengeluaran kompak lesu. Konsumsi rumah tangga sebagai komponen dengan sumbangan terbesar pada PDB (58,14 persen), hanya tumbuh 2,84 persen, anjlok dari 5,02 persen di kuartal I 2019 (cnnindonesia.com 13/8/2021).

Dari 17 sektor lapangan usaha, hanya tiga yang menguat meliputi jasa keuangan dan asuransi, informasi dan komunikasi, jasa kesehatan dan kegiatan sosial. Pelambatan ini ternyata hanya penanda awal, realitasnya pertumbuhan ekonomi justru semakin ‘berdarah’ hingga minus 5,32 persen.

Ini merupakan kejatuhan paling dalam selama pandemi. Angka ini berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2019, yakni 5,05 persen.

Pandemi memang menimbulkan efek domino, merembet dari mulai masalah kesehatan menjadi masalah sosial kemudian berakhir di masalah ekonomi. Dampaknya menghantam semua lapisan masyarakat mulai dari rumah tangga hingga korporasi, dibuat ketar-ketir olehnya.

Sebanyak 10 dari 17 lapangan usaha tercatat minus. Tiga sektor yang terjerembab paling dalam adalah transportasi dan pergudangan, masing-masing minus 30,84 persen (yoy), akomodasi dan makan minum minus 22,02 persen, dan jasa lainnya 12,6 persen.

Dengankondisi yang demikian carut marut, tetiba pengumuman pertumbuhan ekonomi 7 persen dirilis BPS. Masyarakat terperangah, sebagian larut dalam euphoria dan menabur harap semoga PPKM segera berakhir dan ekonomi kembali normal.

Namun sebagian lainnya menganggap penguasa hanya menabur klaim sepihak. Toh, ribuan perusahaan telah tutup, sebagian lainnya mulai limbung menjelang collaps. Jutaan pekerja kehilangan pekerjaan dan mendongkrak angka pengangguran.

Oleh karena itu Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Ajib Hamdani menilai pertumbuhan ekonomi ini belum absolut. Mesti dilihat berhati-hati, karena ini bersifat angka statistik. Dilihat angka headline memang benar tinggi, namun jika dilihat secara detail, angka 7 persen itu sebenarnya tidak setinggi yang diperkirakan karena secara statistik tahun lalu sangat rendah.

Mengutip dari rmolbanten.com pada 6/7/2021, ekonom Rizal Ramli menyebut pertumbuhan ekonomi kuartal II ini tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Perhitungan BPS ini dikalangan ekonom dikenal sebagai low base effect.

Maksudnya adalah membanding data yang tinggi dengan data jelek, yang paling rendah. Tampilannya seolah sukses namun pada kuartal berikutnya akan anjlok kembali.

Hal itu disebabkan karena ekspor kita adalah penyumbang terbesar dalam pertumbuhan ekonomi kuartal II, kini sedang menghadapi persoalan berat. Beberapa negara di dunia menerapkan lock out untuk Indonesia tersebab penaganan pandemi yang acakadut.

Senada dengan itu, Fraksi PDIP malah tidak menyepakatistatemen penguasa yang menganggap pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021 sebagai langkah perbaikan. Anggota DPR RI fraksi PDIP, Darmadi Durianto menganggap, perbaikan ekonomi yang hanya dilihat dari besaran growth di kuartal II itu sekadar klaim penguasa.

Sejatinya, standar pengukuran kemakmuran melalui pertumbuhan ekonomi kurang tepat. Angka -angka statistik tidak akan mampu mencover realitas yang ada. Tidak mengherankan jika realitas pahit dan perjuangan rakyat jelata terkubur oleh rilisan angka-angka oleh BPS.

Padahal bisa jadi angka itu hanya mewakili capaian segelintir korporasi dan para pemodal. Kehidupan rakyat tetap tidak tersentuh secara optimal.

Padahal tujuan dari kegiatan ekonomi adalah untuk meraih kehidupan ekonomi yang sehat. Jika kita mau jujur, setiap orang tentu memimpikan terwujudnya perekonomian yang sehat. Dengan ekonomi yang sehat manusia dapat menjalankan kehidupannya secara normal.

Mereka dapat memperoleh pekerjaan yang layak, penghasilan yang cukup, dapat bekerja sebagaimana passion-nya masing-masing.

Secara sederhana tubuh manusia dikatakan sehat apabila aliran darahnya dapat mengalir dengan lancar ke seluruh tubuh. Jika analogi ini ditarik dalam pembahasan perekonomian suatu negara, maka aliran darah ini tak lain adalah uang.

Fungsi uang ini sama dengan fungsi darah, ia menjadi penghantar bagi terjadinya berbagai transaksi antar manusia, sehingga manusia dapat memenuhi kebutuhannya.

Oleh karena itu aliran uang menjadi sangat signifikan dalam kesehatan perekonomian. Apabila peredaran uang berlangsung baik dan dapat diakses oleh seluruh rakyat, maka perekonomian negara tergolong sehat.

Namun bila alirannya macet dan tersumbat pada titik-titik tertentu, misalnya hanya di sekitar lingkaran penguasa atau ibukota, maka perekonomian negara tergolong sakit.

Perekonomian yang sakit tampak pada sistem ekonomi kapitalisme yang kapitalistik individualis. Kapitalisme tidak akan mengedarkan uang secara penuh, melainkan para pihak, oleh karena motif mencari keuntungan, mengakali aliran uang, baik dengan menumpuk, memonopoli maupun melakukan transaksi tidak adil lainnya. Sehingga uang hanya berputar disekitar mereka saja.

Berbeda dengan sistem kapitalisme, sistem Islam meniscayakan aliran uang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Negara dalam sistem Islam memfungsikan dirinya sebagai pihak yang mendistribusikan uang secara merata. Hal ini menyebabkan setiap orang dapat memenuhi kebutuhannya.

Untuk itu sistem Islam memiliki standar baku dalam mengukur kemakmuran secara tepat, yakni terpenuhinya kebutuhan pokok berupa sandang, pangan dan papan secara layak.

Dalam hal ini Abdurrahman al-Maliki di dalam as-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla menjelas-kan bahwa Politik Ekonomi Islam merupakan kebijakan yang diterapkan oleh negara Khilafah untuk menjamin pemenuhan seluruh kebutuhan dasar rakyat, orang per orang, secara menyeluruh, serta menjamin kesempatan untuk memenuhi kebutuhan sekunder mereka sesuai dengan kadar yang mampu diraih sebagai manusia yang hidup dalam suatu masyarakat yang khas, dengan corak dan gaya hidup yang unik.

Sistem Islam menjalankan politik Ekonomi Islam dengan menitikberatkan perhatian pada kesejahteraan orang per orang bukan sekadar gambaran kesejahteraan secara agregat (makro) melalui angka-angka statistik sementara rakyatnya mengalami kondisi yang buruk.

Sistem seperti inilah yang seharusnya diadopsi oleh dunia agar terwujud keadilan dan pemerataan.Wallahu`alam bisshawab.[]

Comment