Menjaga Lisan dari Gunjing dan Ghibah

Opini66 Views

 

Penulis: Nur Mariana Azzahra, M.Sos | Fasilitator Tahfizh

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Abu ‘Ali ad-Daqqad rahimahullah berkata: “Orang yang berbicara dengan kebatilan adalah setan yang berbicara, sedangkan orang yang diam dari kebatilan adalah setan bisu”. Namun banyak sekarang hal yang dilarang justru dilakukan contohnya ghibah.

Bergunjing atau ghibah termasuk ke dalam perilaku buruk dan dilarang dalam Islam. Ghibah juga diartikan membicarakan aib orang lain. Ghibah adalah membicarakan aib atau kekurangan seseorang ketika orang tersebut tidak ada. Jika orang tersebut mendengar aib atau kekurangannya dibicarakan, pasti ia tidak akan menyukainya. Walaupun kemungkinan aib dan kekurangan tersebut benar adanya.

“Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Kemudian Beliau bersabda, “(Ghibah yaitu) kamu membicarakan (menyebut-nyebut) saudaramu atas hal-hal yang tidak disukainya (dibencinya).”

Ditanyakan kepada Rasulullah, “Lalu bagaimana jika apa yang aku bicarakan itu memang benar ada pada diri saudaraku?”

Rasulullah SAW berkata, “Jika apa yang kamu bicarakan itu memang ada pada diri saudaramu, maka kamu telah menggunjingnya. Dan jika yang kamu bicarakan itu tidak ada pada diri saudaramu, maka kamu telah berbuat kedustaan (kebohongan) terhadapnya.” (HR Muslim).

Adapun, terkait larangan ghibah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan Tirmidzi. “Barang siapa menahan ghibah terhadap saudaranya, maka Allah akan menyelamatkan wajahnya dari api neraka kelak pada hari kiamat.” (HR Tirmidzi).

Namun ada ghibah yang diperbolehkan. Dalam perspektif ahli fikih ada beberapa poin yang diperbolehkan melakukan ghibah.

Ghibah yang Dibolehkan

Imam Nawawi rahimahullah berkata tenntang ghibah yang diperbolehkan sebagai berikut:

1- Mengadu tindak kezaliman kepada penguasa atau pada pihak yang berwenang. Semisal mengatakan, “Si Fulan telah menzalimiku.”

2- Meminta tolong agar dihilangkan dari suatu perbuatan munkar dan untuk membuat orang yang berbuat kemungkaran tersebut kembali pada jalan yang benar. Semisal meminta pada orang yang mampu menghilangkan suatu kemungkaran, “Si Fulan telah melakukan tindakan kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar lepas dari tindakannya.”

3- Meminta fatwa pada seorang mufti seperti seorang bertanya mufti, “Saudara kandungku telah menzalimiku demikian dan demikian. Bagaimana caranya aku lepas dari kezaliman yang ia lakukan.”

4- Mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan seorang perowi hadits.

5- Membicarakan orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan bid’ah terhadap maksiat atau bid’ah yang ia lakukan, bukan pada masalah lainnya.

6- Menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah ma’ruf dengannya seperti menyebutnya si buta. Namun jika ada ucapan yang bagus, itu lebih baik.
(Syarh Shahih Muslim, 16: 124-125).

Makanya kita sebagai Gen Z harus cerdas dalam menggibah, jangan sampai ghibahmu masuk dalam ranah ghibah yang diharamkan. Lalu pertanyaannya berarti menghibah penguasa boleh donk?

Ia tentu boleh selagi itu untuk kebaikan umat agar kezaliman tidak terus dibiarkan seakan-akan menjadi kebiasaan dan menjadi kebenaran.
Apalagi kalau yang kita bicarakan itu pejabat atau tokoh yang punya pengaruh.

Maka kritik kita itu masih dalam batas wajar atau bahkan penting. Nah, ini penting banget untuk kita pahami, biar nggak salah langkah.

Jadi, begini, kalau kita mengkritik sesuatu yang menyangkut kepentingan publik—kebijakan pemerintah misalnya—itu sah-sah aja. Bahkan, kadang itu perlu. Contohnya, kalau kamu merasa kebijakan presiden tentang ekonomi kurang tepat, ya kritiklah kebijakannya. Tapi ingat, yang dikritik itu kebijakannya, bukan hal-hal pribadi yang nggak ada hubungannya dengan pekerjaannya.

Konsep Kepemimpinan dalam Pandangan Islam

Islam memiliki pandangan khas tentang kepemimpinan. Seorang penguasa atau pemimpin adalah pelindung bagi rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Kelak ia akan dimintai pertanggungjawabannya pada Hari Kiamat atas amanah kepemimpinannya itu. Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah raa’in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).

Rasulullah saw. menggunakan kata “raa’in” (penggembala), bukan kata malik, sulthan, rais, imam dan sebagainya. Artinya, seorang pemimpin adalah orang yang berkewajiban untuk mengayomi, mengawal, dan mendampingi gembalaannya, yakni rakyatnya.

Penggembala yang baik tidak harus selamanya berada di depan, tetapi kadang ia harus berada di tengah untuk merasakan kondisi dan kebutuhan gembalaannya. Kadang juga berada di belakang untuk mendorong dan mengawasi jangan sampai ada satu gembalaannya yang tertinggal dari kelompoknya.

Pejabat negara harus memiliki quwwatu syakhshiyyah (kekuatan kepribadian), yaitu kekuatan ‘aqliyah dan kekuatan nafsiah. Seorang pemimpin selain harus memiliki kekuatan akal yang memadai, ia juga memiliki pola sikap kejiwaan yang baik, yakni sabar, tidak emosional, dan tergesa-gesa.

Ini semua akan menjadikannya mampu memutuskan kebijakan yang tepat dan sejalan dengan syariah Islam, mampu melahirkan kebijakan-kebijakan cerdas, dan bijaksana yang mampu melindungi dan menyejahterakan rakyatnya.

Dijelaskan dalam sebuah hadits dari Abu Dzar ra., ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah saw.,‘Wahai Rasulullah, mengapa Anda tidak mempekerjakan saya?’ Mendengar pertanyaan itu, beliau menepuk-nepuk dua pundak Abu Dzar, kemudian bersabda;

‘Wahai Abu Dzar, engkau adalah orang yang lemah, sementara tanggung jawab itu amanat. Kelak pada Hari Kiamat menjadi sebab kehinaan dan penyesalan kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan benar dan melaksanakannya dalam kebenaran.’”[]

Comment