Mengurai Akar Masalah Perundungan Terhadap Anak

Opini191 Views

 

 

Penulis: Mesi Tri Jayanti, S.H. | Muslimah Peduli Generasi

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Wajah dunia pendidikan kembali tercoreng dengan kasus perundungan yang terus berulang. Hal ini menjadikan dosa pendidikan sekuler semakin besar. Sekolah yang mestinya menjadi tempat aman bagi anak justru menjadi lokasi yang paling banyak terjadinya perundungan.

Dilansir dari repositori.kemdikbud.go.id perundungan atau bullying merupakan perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal, fisik, maupun sosial di dunia nyata dan dunia maya yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati dan tertekan baik dilakukan oleh perorangan maupun kelompok.

Insiden memilukan yang dialami Aldelia, seorang anak kelas 4 SD di Padang Pariaman, meninggal dunia setelah diduga dibakar teman sekolahnya. Aldelia diketahui mengalami luka bakar 80%.

Setelah insiden tragis itu, laman CNN Indonesia, 27-5-2024) mengungkap bahwa Aldelia sempat dirawat selama berbulan-bulan, baik di rumah maupun di RS. Lantaran kondisi ekonomi pas-pasan, ia mengalami gizi buruk dalam proses penyembuhan. Akhirnya, Aldelia mengembuskan nafas terakhir di RSUP M Djamil Padang.

Bergeser ke Payakumbuh, pelajar berinisial Z kelas 2 yang bersekolah di SD 14 Pakan Sinayan, Payakumbuh Barat, diduga mendapat perundungan dari beberapa teman sekolahnya, ia mengalami pingsan hingga empat hari baru sadarkan diri.

Menurut orang tua korban, seperti ditulis Beritapayakumbuh (24/04/2024), peristiwa yang menyebabkan anaknya mengalami pingsan dan mengeluarkan cairan putih di mulutnya diduga akibat mendapat perundungan di sekolah oleh 8 kawan sebayanya.

Oleh para teman sebayanya itu, sang anak dihimpit secara bersama sama hingga menyebabkan dirinya mengalami pingsan serta kejang kejang.

Deretan fakta tersebut hanya segelintir dari banyaknya kasus perundungan yang terjadi di tanah air saat ini. Bagai fenomena gunung es, perundungan menjadi permasalahan besar yang terus terjadi dan semakin ekstrem. Pasalnya, aksi perundungan ini dilakukan oleh anak-anak dan korban juga di bawah umur yang notabenenya sebagai seorang pelajar.

Perundungan adalah keburukan, bahkan kejahatan. Ketika kejahatan dilakukan oleh anak-anak, maka itu adalah kerusakan perilaku. Mereka menjadi korban rusaknya tatanan kehidupan yang diadopsi negara yang bersendikan kebebasan. Rendahnya literasi digital dan longgarnya kontrol orang tua dan guru, menjerumuskan anak-anak kepada kenistaan perilaku. Kepolosan anak-anak yang masih fitrah berubah menjadi kejahatan kemanusiaan yang sangat mengerikan.

Perilaku perundungan jelas buah busuk dari arah pandang serba bebas dan serba boleh. Ini semua tidak terlepas dari restu sistem buruk sekularisme yang menjadikan suasana dan standar kehidupan sangat jauh dari aturan Islam. Kita semua tentu sepakat bahwa perundungan juga salah satu jenis tindakan kezaliman. Dalam Islam sendiri, perilaku zalim sangat tegas hukumannya.

Tidak hanya itu, perundungan juga merupakan dampak sistemis dari banyak faktor, yakni lemahnya ketakwaan individu, rapuhnya keluarga, rusaknya sistem pendidikan, masyarakat yang permisif dan jauh dari kepedulian massal untuk amar ma’ruf nahi munkar, serba bebasnya media massa, aparat yang lamban, serta sistem sanksi yang tidak tegas.

Sedangkan keluarga yang notabene menjadi tempat pendidikan awal bagi anak, juga tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Tekanan ekonomi membuat orang tua terpaksa meninggalkan rumah mencari nafkah, sedangkan anak-anak diasuh oleh orang lain.

Pola pengasuhan yang tidak tepat akhirnya membuat mereka jauh dari agama, sering cari perhatian dengan hal-hal aneh, bahkan melampiaskan ke orang lain dengan melakukan perundungan. Masyarakat sendiri sudah cuek dengan kondisi sekitar, hingga hilanglah aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.

Sistem sekuler sungguh telah mencerabut kesucian fitrah anak-anak, hingga hilanglah rasa malunya. Sistem yang menjadikan dunia sebagai tujuan dan melalaikan sistem hidup yang diturunkan Allah swt, juga sistem yang melalaikan adanya kehidupan akherat dan siksa api neraka. Akibatnya aqidah mereka tergadaikan dan jauh dari rasa takut pada hari pertanggungjawaban atas setiap perbuatan.

Harus diakui, tujuan sistem pendidikan hari ini kian kehilangan arah. Kurikulum pendidikan yang kerap berubah-ubah menjadi sinyal bingungnya pemerintah dalam memahat kepribadian peserta didik. Belum lagi kebijakan pendidikan tidak menyentuh akar semua masalah yang ada, termasuk kasus perundungan. Dunia pendidikan hanya berfokus dalam membentuk soft skill dan mengarahkannya sesuai minat agar mudah memasuki dunia kerja.

Pembentukan karakter melalui Kurikulum Merdeka Belajar yang berjalan saat ini pun abu-abu. Bahkan, mendefinisikan karakter yang dimaksud dalam kurikulum ini pun multitafsir. Alhasil, tujuan pendidikan kian jauh dari masalah mendasar anak didik, padahal kurikulum sebagai alat dalam menjalankan cita-cita mulia pendidikan harus sinkron dengan visi-misi pendidikan.

Sayang, visi pendidikan, kurikulum yang digunakan sekarang jauh dari cita-cita luhur pendidikan. Wajar jika sejumlah pihak kerap mempertanyakan tentang relevansi dunia pendidikan dengan kurikulum yang berjalan. Visi pendidikan yang kerap berubah, kurikulum yang prematur dan juga berubah-ubah, membutuhkan kajian sistemis sebagai komparasi dalam rangka mewujudkan pendidikan yang sehat bagi anak didik dan lingkungannya.

Sistem pendidikan yang melulu pada upaya menghasilkan output siap kerja, membuat anak didik kian minus dari sisi adab dan akhlak. Banyak kasus yang menunjukkan betapa krisis moral melanda anak-anak kita. Pendidikan agama yang kini terus mengalami perombakan juga tidak mampu menjawab masalah yang kian kompleks.

Padahal Islam telah memberikan jaminan dan standar mengenai sistem kehidupan terbaik. Allah Taala berfirman:

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (TQS Ali Imran [3]: 110).

Islam memberikan solusi komprehensif untuk menanggulangi perundungan yang dalam hal ini terdiri atas empat pilar. Pertama, individu yang bertakwa. Kedua, masyarakat yang memiliki pemikiran, perasaan dan peraturan Islam sehingga aktivitas amar ma’ruf nahi munkar adalah bagian dari keseharian mereka. Ketiga, sistem pendidikan Islam. Keempat, negara yang menerapkan sanksi tegas dan adil.

Individu yang bertakwa lahir dari keluarga yang menjadikan akidah Islam sebagai landasan perbuatan. Keluarga yang terikat dengan syariat Islam secara kafah akan melahirkan orang-orang saleh yang enggan berlaku maksiat. Hanya saja, keluarga tersebut tentu tidak bisa berdiri sendiri. Mereka membutuhkan lingkungan tempat tinggal yang nyaman bersama masyarakat yang kondusif.

Masyarakat tersebut juga harus memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama-sama bersumber dari syariat Islam, demikian pula landasan terjadinya pola interaksi di antara mereka.

Kondisi ini membuat mereka tidak asing dengan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Mereka tidak akan bersikap individualistis karena mereka meyakini bahwa mendiamkan kemaksiatan sama seperti setan bisu.

Adapun sistem pendidikan Islam, berbasis akidah Islam sehingga menghasilkan generasi berkepribadian Islam. Mereka adalah siswa yang mempunyai syaksiyah islamiah. Apa pun yang hendak mereka lakukan akan bersandar pada aturan Islam. Kurikulum pendidikan Islam juga tidak hanya sebatas majelis taklim, melainkan tempat pembinaan yang akan diajarkan sedari kelas dasar agar para siswa siap menjalankan kewajiban saat balig nanti.

Terakhir, yakni negara yang menerapkan aturan Islam paripurna sehingga mampu mewujudkan sanksi tegas bagi tindak kriminal dan pelanggaran aturan Islam, yakni sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus).

Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, sanksi tersebut dapat menebus dosanya.

Selain itu, lingkungan tempat tinggal dan keluarga juga perlu bernuansa Islam, senantiasa mengingatkan dalam ketaatan, serta saling memperhatikan dan menyayangi. Dengan begitu, anak-anak akan terhindar dari masalah perundungan. Sistem islam inilah yang mampu mewujudkan perlindungan hakiki bagi warga negaranya dari berbagai tindak kejahatan.

Allah Taala berfirman, “Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, mengapa kalian menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras? Mereka menjawab, agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabb kalian dan supaya mereka bertakwa. Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya. Kami katakan kepadanya, Jadilah kalian kera yang hina.” (TQS. Al-A’raf : 164-166).

Walhasil, tiada lain yang harus kita perjuangkan selain lahirnya kembali sistem Islam berikut seluruh subsistemnya. Jika ini terwujud, bukan hanya rantai kasus perundungan yang akan terputus, melainkan juga kasus lain yang kian membelenggu anak-anak di lembaga pendidikan. Wallahua`lam bish-shawwab[]

Comment