Penulis: Diah Fitri P | Muslimah Pemerhati Umat
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang seperti ditulis laman CNBC Indonesia (3/11/24) mengungkapkan bahwa berdasarkan putusan dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg, perusahaan berskala nasional Sritex beserta 3 anak usahanya dinyatakan pailit.
Penyebab perusahaan teraebut pailit akibat terlilit hutang oleh berbagai pihak kreditur besar adalah fase akhir dari berbagai macam tekanan yang dihadapi perusahaan baik internal maupun eksternal.
Berawal dari pandemi Covid 2019 yang mempengaruhi ekonomi global. Dampak krisis pun tak terelakkan berimbas kepada perekonomian Indonesia tidak terkecuali perusahaan berskala nasional ini.
Akan tetapi, jika kita telisik lebih dalam, krisis ekonomi global yang menyeret kebangkrutan berbagai pelaku usaha baik di luar maupun di dalam negeri berakar dari permasalahan sistemik. Kita ketahui bersama bahwa dunia hari ini berpijak pada sistem ekonomi kapitalisme yang berdiri di atas ekonomi berbasis riba dan mempraktekan pasar non riil. Kapitalisme memposisikan negara sebagai regulator bagi kepentingan pemilik modal.
Oleh karena itu wajar jika perusahaan bermodal besar sekalipun pada akhirnya tumbang, bukan karena sebab pandemi, itu hanya faktor pemicu saja. Sementara akar masalah fundamental terletak pada faktor sistem yaitu kapitalisme.
Ekonomi berbasis riba dan judi
Kapitalisme menjadikan riba sebagai faktor fundamental dalam sistem ekonominya. Hal ini rentan terhadap ketidakadilan dan kerusakan di segala sesuatu yang melingkupinya. Bisnis berbasis riba, keuangan berbasis riba pada akhirnya akan menyeret para pelakunya dari negara pengemban sampai negara-negara pengikutnya pasti akan tumbang.
Karena riba menguntungkan satu pihak, dalam hal ini pemilik modal dan merugikan pihak lain. Riba hanya menghadirkan monopoli ekonomi dan mengabaikan hak kepemilikan umum sebagai hajat hidup orang banyak. Riba menjadi sumber ketidak-adilan dan kesengsaraan.
Pasar non riil bom penghancur pasar riil
Di bawah payung kapitalisme pasar non riil sarat transaksi ribawi dan judi. Sektor keuangan ini telah berubah menjadi kompetitor bagi sektor riil dalam menawarkan keuntungan. Akibatnya. jumlah uang meningkat begitu banyak dalam tempo yang sangat singkat.
Di sisi lain, sektor riil kekurangan modal untuk menggerakkan mesin produksi. Ini kemudian berdampak kurangnya pasokan barang dan akhirnya berujung pada meledaknya tingkat inflasi.
Dengan kata lain, inflasi didorong oleh dua sektor sekaligus. Sektor keuangan menyebabkan nilai (daya beli) uang anjlok dan sektor riil terhambat dalam produksi karena kurang dan sulitnya mengakses modal.
Ketika kredit perbankan (Loan Deposit Rasio) ke sektor riil anjlok pada masa pandemi, kepemilikan perbankan terhadap surat berharga negara (SBN) justru meningkat 2 kali lipat lebih.
Dengan kata lain, ketika pintu peluang mendapatkan profit di sektor riil mengalami penyusutan, perbankan menggeser dananya ke pasar modal dengan membeli SBN demi mengejar kupon alias riba.
Bergabungnya perusahaan di bursa saham sesungguhnya sedang memasang bom waktu bagi dirinya sendiri dan jika trigernya ditekan maka semua pelaku usaha akan hancur satu persatu.
Benar juga ketika 7 tahun kemudian saat pandemi terjadi maka terjadi krisis ekonomi global. Meski berusaha bertahan dalam beberapa tahun, pada akhirnya tak dapat mengelak bahwa ia pun terkena bom waktu yang sudah ditanamnya.
Negara berperan sebagai regulator
Dalam sistem kapitalisme negara hanya berfungsi sebagai regulator pembuat undang-undang bagi kepentingan pemilik modal. Karena sesungguhnya yang mengelola kepemilikan umum dalam sistem kapitalisme adalah oligarkhi bukan negara.
Wajar jika negara bekerja untuk membuat kebijakan lebih pro kepada pemodal. Mulai dari kebijakan UU Ciptakerja yang memanjakan para investor dengan salah satunya menetapkan upah minimum tenaga kerja alias tenaga kerja murah. Kemudian mengesahkan Permendag no. 8/2024 untuk membuka kran impor sebesar-besarnya membuat para oligharki semakin memaksimalkan sumber-sumber kekayaan.
Sebaliknya para pelaku usaha dalam negeri mengalami tekanan karena dihadapkan pada banjir produk impor, terutama dari Cina. Dugaan praktik anti-dumping pada produk-produk impor asal Cina tidak mendapatkan perlawanan sama sekali dari Pemerintah.
Untuk bisa bertahan dari berbagai kerugian perusahaan selain melakukan efisiensi dengan melakukan PHK masal juga terjebak pada pinjaman riba yang nilainya sangat fantastis.
Solusi Sistem Ekonomi Islam
Sistem Ekonomi Islam memiliki daya tahan yang kukuh dari segala terjangan krisis. Pasalnya, dengan seluruh hukum yang ada dalam SEI pembangunan ekonomi dijalankan dengan berfokus pada sektor riil; satu-satunya sektor yang boleh menawarkan keuntungan.
Adapun seluruh transaksi ribawi dan yang bersifat judi sebagaimana yang ada di pasar modal, pasar valas, dan pasar komoditas dilarang secara total. Sektor riil adalah sektor yang darinya lahir produksi barang dan rekrutmen tenaga kerja. Dengan kata lain, harta kekayaan si kaya hanya akan bertambah jika bertemu dengan sektor produksi barang dan jasa.
Pengaturan tersebut akan memberi jaminan tidak terjadinya inflasi yang bergerak liar seperti sekarang. Keseimbangan antar jumlah uang dan jumlah produksi barang akan senantiasa terjaga.
Apalagi SEI juga mewajibkan standar mata uang logam (dinar dan dirham) serta larangan penimbunan harta kekayaan. Standar mata uang demikian memastikan pemerintah dan penguasa zalim tidak bisa mencetak uang untuk menopang kekuasaan yang korup sekaligus mampu menjaga nilai tukar mata uang tetap stabil
Di sisi lain, ketika kesempatan untuk meningkatkan kekayaan hanya pada sektor riil (syirkah, jual-beli, dsb), sektor riil akan mendapatkan akses yang begitu luas dan besar untuk mendapatkan modal. Dengan begitu tingkat produksi dapat berjalan lancar dan mampu menjaga kesetimbangan pasokan dan permintaan barang yang ada di pasar. Hal itu akan menjaga tingkat inflasi tidak bergerak liar.
Dalam konteks kepemilikan umum dan kepemilikan negara, negara akan berperan aktif dan langsung mengatur serta menjalankan pengelolaannya. Sebaliknya, dalam konteks kepemilikan individu, negara hanya mengawasi dan memberi arahan agar ekonomi berjalan lancar dan adil sesuai yang diinginkan oleh hukum Islam.
Dengan skema pengaturan demikian, tidak akan ada lagi kasus perusahaan listrik negara mengalami kelangkaan energi karena perusahaan tambang tidak mau menjual di dalam negeri atau harus menjual energi listrik dengan harga ekonomis agar investor bersedia ikut membangun pembangkit listrik.
Sistem Ekonomi Islam mengelola dan membangun ekonomi anti krisis dan berkeadilan bagi semua pihak. SEI akan mendorong dan menciptakan ekonomi yang berkah, berkembang dan berkelanjutan. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]
Comment