Oleh : Yurfiah imamah, Pemerhati Perempuan, Keluarga, dan Generasi
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Dari tahun ke tahun solusi mengentaskan kemiskinan seolah tak menemukan jalan keluar. Meskipun angka kemiskinan dikatakan menurun dibandingkan tahun tahun sebelumnya, namun pada faktanya tak ubahnya dengan tahun tahun sebelumnya.
Masih banyak masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan. Sebenarnya standard kemiskinan yang dinilai di negeri ini yang seperti apa?
Bank Dunia merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia supaya mengubah acuan tingkat garis kemiskinan yang diukur melalui paritas daya beli atau purchasing power parity.
Menurut mereka, seharusnya garis kemiskinan di Indonesia diukur dengan paritas daya beli melalui besaran pendapatan sebesar US$ 3,20 per hari, bukan dengan ukuran yang pemerintah gunakan sejak 2011 sebesar US$ 1,9 per hari.
Merespons hal itu, Menteri Keuangan ibu Sri Mulyani mengatakan, ukuran garis kemiskinan yang disarankan Bank Dunia itu belum bisa menggambarkan kondisi perekonomian masyarakat Indonesia. Selain itu, jika ukuran garis kemiskinannya di naikkan malah menyebabkan 40% masyarakat malah tergolong orang miskin.
Sri Mulyani menganggap, ukuran itu tidak bisa seketika digunakan di tanah air karena, salah satunya masing-masing wilayah di Indonesia memiliki struktur harga yang berbeda satu sama lain. Sehingga, pengeluaran masyarakat untuk hidup berbeda satu dengan yang lain.
Menilik dari standar kemiskinan menurut Bank Dunia tersebut memang tidak bisa dijadikan ukuran kondisi perekonomian masyarakat Indonesia. Namun, standar ukuran dengan membandingkan struktur harga dimasing-masing wilayah pun, tak juga menjadi ukuran kondisi perekonomian masyarakat. Jika fakta ditengah masyarakat justru ketimpangan ekonomi nampak sangat menonjol, melihat antara yang kaya dan yang miskin, jauh lebih banyak yang miskin.
Melihat pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat yang bukan hanya untuk makan dan tidur, namun juga untuk pendidikan, kesehatan, listrik, dan biaya tempat tinggal. Semua itu butuh dipenuhi kebutuhannya dengan nilai yang tidak murah bagi masyarakat. Belum lagi jika makanan yang dikonsumsi jauh dari nilai gizi yang layak dipenuhi.
Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, persentase stunting bayi di bawah lima tahun (balita) di Indonesia tercatat 21,6 persen pada 2022.
SSGI melakukan survei kepada populasi sampel sebanyak 334.848 balita yang tersebar di 486 kota di 33 provinsi.
Dari data tersebut, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi provinsi dengan balita stunting terbanyak yaitu 35,4 persen pada 2022.Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan agar angka stunting di seluruh Nusantara ada di bawah 14 persen pada 2024.
Jika menilik data yang dikeluarkan SSGI, hanya Provinsi Bali yang memiliki persentase balita stunting di bawah target 14 persen nasional pada 2024 yaitu 8 persen. Sedangkan DKI Jakarta masih sedikit berada di atas target nasional 2024 yaitu 14,8 persen balita stunting pada 2022.
Dari sini kita bisa melihat bagaimana jumlah kemiskinan dan stunting yang saling bersinggungan butuh keseriusan dalam menyelesaikannya.
Secara kuantitatif, angka kemiskinan bisa berubah manakala standar kemiskinan juga diubah. Jadi, jumlah penduduk miskin tergantung pada standar kemiskinan yang ditetapkan. Hal ini jelas tidak bisa menggambarkan kondisi riil masyarakat ini.
Tentu masyarakat tidak menginginkan kemiskinan menimpa mereka. Namun kemiskinan yang bersifat struktural ini salah satunya disebabkan kesulitan dalam mengakses pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin mahal. Ditambah lapangan pekerjaan yang semakin sempit, yang justru diciptakan oleh negara sendiri dengan ketergantungan Indonesia terhadap impor. Serta banyak lagi kebijakan yang tidak mengedepankan kepentingan masyarakat yang seharusnya diutamakan.
Penyebab utama ketimpangan ekonomi ini terjadi adalah dari tatanan kehidupan yang dibangun oleh sistem kapitalisme. Dimana kehidupan hanya bisa dirasakan oleh kaum kapital saja (baca: para pemilik modal).
Oleh karena itu, mengukur standar kemiskinan tidak akan mampu menjelaskan fakta ekonomi yang sebenarnya.
Karena sejatinya kesejahteraan itu diukur dengan terpenuhinya kebutuhan pokok atau kebutuhan hidup dengan baik dan layak.
Islam sebagai solusi dalam menyelesaikan persoalan kehidupan, memandang bahwa peran sentral pemerintah menjadi faktor kunci terselesaikannya permasalahan ini. Pemerintahlah yang memiliki kewajiban menjamin kebutuhan umat.
Standar miskin dalam Islam bukan dihitung rata-rata, melainkan dihitung satu per satu kepala, apakah sudah tercukupi kebutuhan primernya, yaitu sandang, pangan, dan papan. Kepala keluarga yang menjadi pihak pencari nafkah pun akan dipermudah dan difasilitasi dalam bekerja, baik itu akses pada modal tanpa riba, pelatihan, hingga penyediaan lapangan kerja.
Jika kepala keluarga tidak mampu memenuhinya, yang wajib membantu adalah kerabatnya.
Pendataan yang baik disertai perangkat pemerintah yang amanah akan meniscayakan pelaksanaan sensus tersebut.
Jika seluruh kerabatnya tak mampu memenuhi kebutuhannya, kewajiban memberi nafkah jatuh kepada kas negara yaitu Baitulmall.
Pengaturan Islam yang begitu rinci telah disebutkan dalam banyak kitab-kitab ulama yang merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah. Tata kelola yang langsung dibuat oleh Sang Pencipta, telah menghantarkan umat manusia menuju pada fitrahnya, yaitu hidup dalam kesejahteraan dan keadilan.
Mari kita berjuang mewujudkan tatanan dunia baru yang tunduk pada aturan Allah SWT agar kehidupan umat manusia menemui kemuliaan peradabannya. Wallahua’lam.[]
Comment