Penulis: Dr. M. Imam Syamsi Ali, Lc., M.A., Ph.D | Direktur Jamaica Muslim Center, New York, Amerika Serikat
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Hari-hari ini umat Islam kembali mengingat sebuah peristiwa penting dalam sejarah Islam. Peristiwa yang sesungguhnya menjadi awal dari semua langkah-langkah sejarah perjalanan keislaman dan keumatan. Peristiwa yang di mayoritas dunia Islam disebut Maulid Nabi Muhammad atau Milad Rasulullah SAW. Atau sederhananya adalah peristiwa kelahiran baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Terlepas dari setuju atau tidak dengan kata “perayaan” saya yakin semua umat Islam setuju dengan jika kita semua bersukacita mengingat kelahiran habibullah, Muhammad SAW. Perasaan sukacita inilah yang sesungguhnya disebut “selebrasi”.
Kata ini (perayaan) hanya “ungkapan ekspresi perasaan gembira” dengan sesuatu atau dengan sebuah peristiwa. Rasulullah SAW adalah karunia dan rahmat yang luar biasa yang harusnya memang disambut dengan penuh kegembiraan.
Allah berfiman: “katakan: dengan keutamaan/karunia dan rahmatNya hendaknya mereka bergembira. Yang demikian itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (dunia)”.
Oleh karena Maulid atau kelahiran Rasulullah SAW adalah menyambut sebuah karunia dan rahmah yang menggembirakan maka wajar jika umat Islam menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Di mana-mana berbagai acara dilangsungkan sebagai ekspresi kegembiraan (selebrasi) itu.
Mungkin yang perlu diperhatikan dan dijaga adalah “apa dan bagaimana” mengekspresikan kegembiraan (al-farah / joy) itu. Jangan sampai ekspresi kegembiraan itu ditujukan untuk sesuatu yang salah dan dilakukan dengan cara yang salah.
Dalam hal kelahiran Rasulullah ini misalnya sebagian mengekspresikannya dengan mempersiapkan makanan-makanan tertentu dan diniatkan menyambut kembali Ruh Rasulullah SAW. Tentu hal ini bukan saja bid’ah, tapi bisa mengarah kepada kesyirikan.
Tapi jika itu dilakuakn dengan berbagai kegiatan keilmuan, tadzkirah (peringatan atau ceramah-cemarah) maka itu adalah bagian dari ekspresi kebahagiaan. Ekspresi yang memiliki nuansa “manafi’” (manfaat banyak) dalam rangka memperbaharui ingatan, cinta, dan komitmen “qudwah” (keberpanutan) kita kepada baginda Rasulullah SAW. Dengan ilmu dan cinta akan tumbuh dorongan “ittiba’” mengikut kepada ajaran Rasulullah SAW.
Mengenal Muhammad SAW
Telah begitu banyak tulisan yang menjelaskan tentang Rasulullah SAW. Tentu semua catatan sejarah (sirah) itu masing-masing terbatas pada aspek tertentu tentang Rasulullah SAW sesuai kapasitas masing-masing penulisnya. Pastinya, beliau adalah sosok yang merepresentasi kesempurnaan ciptaan Ilahi.
Karenanya siapapun yang mencoba mendeskripsi Rasulullah tak akan mampu melakukannya secara sempurna. Karena yang sempurna tak akan bisa dideskripsi secara sempurna mereka yang tidak sempurna (manusia biasa).
Namun demikian kita bisa mengutip beberapa ungkapan tentang beliau baik melalui deskripsi Ilahi (Al-Quran), melalui hadits-haditsnya (ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau sendiri), maupun beberapa deskripsi yang disampaikan oleh para sahabat, ulama salaf (terdahulu) maupun khalaf (belakangan), bahkan beberapa cendekia dari kalangan non Muslim.
Di antara deskrikpsi tentang beliau itu adalah bahwa beliau adalah manusia seperti kita semua (basyarun mutslukum). Akan tetapi pada ayat yang sama Allah menegaskan bahwa Muhammad itu Istimewa dengan “wahyu” (yuuhaa ilaika).
Dengan kata lain keistimewaan beliau itu ada pada kenyataan bahwa beliau dipilih untuk menerima wahyu Ilahi untuk disampaikan kepada manusia. Selebihnya sebagai manusia beliau sama dengan yang lain. Dihamilkan, dilahirkan, disunat, menangis sebagai bayi, disusui, menggembala, berdagang, menikah dan menjadi suami dan ayah dari anak-anaknya. Demikian seterusnya.
Terlepas dari perdebatan tentang keturunan (nasab) saya sangat yakin bahwa kalaupun ada penyebutan khusus tentang keistimewaan yang diberikan kepada keturunan Rasulullah SAW, faktornya bukan pada faktor darah dagingnya tapi lebih kepada kedekatan hati dalam iman yang diperkuat dengan faktor keturunan Rasul.
Tegasnya kemuliaan keturunan Rasulullah tetap ditentukan oleh Iman dan akhlak yang mengikuti Iman dan akhlak Rasulullah. Bukan karena faktor “darah dan daging” (blood and flesh).
Kemuliaan Rasulullah SAW dan keunggulan beliau sebagai insan kamil (manusia sempurna) terbukti dengan pujian tinggi yang datang langsung dari Allah SWT: “wa innaka la’alaa khuluqin adziim” (sungguh engkau memilki akhlak yang sangat agung).
Di kalangan masyarakat Muslim, khususnya Muslim Asia Selatan, ada puji-pujian yang masyhur yang umumnya dilantungkan di musim-musim mengenang kelahiran Rasulullah SAW. Di antara syair itu berbunyi:
“محمد بشر وليس كالبشر ولكنه يقوتة والناس كالحجر”
(Muhammad adalah manusia. Tapi tidak sama manusia lain. Tapi sesungguhnya dia adalah mutiara. Sementara manusia lainnya adalah bebatuan”.
Hal ini menunjukkan bahwa keistimewaan Rasulullah itu ada pada nilai. Bukan pada fisik (darah-daging). Dan sebagaimana kita ketahui nilai itu ada pada iman dan akhlak (ketakwaan). Sebagaimana disimpulkan dalam Al-Quran: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa”.
Teuladan bagi semua
Kenyataan bahwa beliau adalah manusia dengan kesempurnaannya menjadikan beliau ditetapkan sebagai Rasul dan nabi. Bahkan lebih jauh dijadikan sebagai tauladan bagi umat ini. “Sungguh Pada Rasulullah itu ada contoh tauladan bagi kalian semua”.
Sebagai manusia yang kesempurnaannya mencakup segalanya (segala sisi kehidupan manusia) maka sudah pasti ketauladanan beliau juga pastinya mencakup segala aspek kehidupan manusia.
Walaupun ketauladanan itu jika berhubungan dengan realita kehidupan yang secara konstan mengalami perubahan tidak harus dipahami secara hitam putih (black and white). Namun pada aspek manapun pastinya ketauladanan itu relevan.
Secara akidah tak disangkal baginda Rasul adalah tauladan terbaik dalam keimanan. Mengingatkan kita kepada kisah-kisah agung dalam sejarah perjuangan di masa hidupnya. Bagaimana ketika beliau meninggalkan rumahnya di malam perjalanan Hijrah.
Bagaimana beliau ketika di dalam gua Tsur dan para algojo itu siap memenggal lehernya. Bagaimana beliau ketika diikuti oleh Suraqah. Bahkan bagaimana beliau ketika diintimidasi oleh kaum munafik jika pembesar Mekah telah mempersiapkan kekuatan dahsyat untuk menghancurkan umatnya.
Semua itu direspon dengan ketegaran iman dan ikhtiar maksimal: ما زادهم الا ايمانا وتسليما ( beliau justeru semakin bertambah dalam keimanan dan keislaman).
Dalam hal ketaatan dan ubudiyah barangkali kesaksian isteri beliau Aisyah menjadi ingatan yang dahsyat. Bagaimana beliau karena sujud yang panjang dan kekhusyukan beliau dalam ibadah “aatsaar” (bekas-bekas sujud) di dahi dan lutut beliau sangat jelas. Sampai-sampai Aisyah bertanya: “Kenapa engkau lakukan semua itu ya Rasulullah?”.
Mungkin dalam benak Aisyah beliau adalah Rasul, habib Allah, ma’shum dan dijamin masuk syurga. Jawaban beliau sangat sederhana menunjukkan ketawadhuan yang tinggi: “tidakkah saya seharusnya menjadi hamba yang bersyukur?”.
Dalam hal mu’amalat dan akhlak kita diingatkan begitu banyak contoh-contoh nyata dari kehidupan baginda Rasul. Bagaimana seorang wanita tua yang mengumpulkan kayu bakar di Mekah. Karena berat untuk diangkat, beliau meminta kepada orang-orang di sekitar Ka’bah untuk menolongnya. Tak seorang yang mau menolongnya kecuali seorang yang masih relatif muda. Dialah yang menggotong kayu bakar itu ke rumah sang wanita tua itu.
Tapi dalam perjalanan ke rumahnya sang wanita itu memburuk-burukkan seseorang bernama Muhammad. Yang menurutnya jahat, memecah belah, maka dinasehatinya anak muda itu untuk menjauhinya.
Ternyata sang wanita tua itu tidak sadar bahwa anak muda yang membantunya itu adalah Muhammad. Sang anak muda itu hanya diam, sabar hingga sampai ke rumah sang wanita tua. Sang wanita pun bertanya siapa gerangan nama anak muda itu.
Beliau dengan tenang menjawab bahwa beliulah Muhammad. Beliau memaafkan bahkan berusaha menenangkan sang wanita tua yang khawatir dan merasa malu. Sang wanita tua pun menerima beliau sebagai Rasulullah.
Kisah peminta-minta buta di Madinah dan seabrek kisah lainnya menggambarkan ketinggian dan keindahan akhlak Rasulullah SAW. Bahwa beliau memang orang yang memiliki keagungan prilaku yang tiada banding. Dipuji secara khusus oleh Pencipta langit dan bumi.
Sangat wajar jika beliau ditetapkan sebagai “tauladan” bagi kita semua. Tapi maukah kita menauladani beliau? Semoga! [Bersambung].
Comment