Menghapus Kekerasan Seksual, Antara Bualan Dan Khayal

Opini835 Views

 

 

Oleh: Dinda Fadilah, Mahasiswi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kekerasan seksual menjadi problematika yang hingga kini tak kunjung usai. Berdasarkan data dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) tercatat 7.191 kasus kekerasan seksual pada anak dan perempuan di tahun 2020.

Hingga Juni 2021 seperti dilansir antaranews.com (8/7/2021) terdapat 1.902 kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan. Kasus kekerasan seksual masih mendominasi dengan jumlah kasus yang semakin meningkat bahkan di masa pandemi saat ini.

Saat terjadi kasus kekerasan khususnya kekerasan seksual, korban menjadi pihak yang disalahkan. Terdapat pula kecenderungan memihak para pelaku. Seolah-olah korban secara sukarelawan menerima perlakuan buruk dan kejam atas dirinya.

Meskipun emansipasi dan kesetaraan gender telah lama digaungkan, tetapi kekerasan secara fisik dan seksual, dan eksploitasi masih saja menimpa perempuan.

Korban sering kali mendapat perlakuan diskriminasi hingga berujung mengalami depresi. Tak sedikit pula yang memilih bungkam karena merasa malu dan takut dihakimi oleh publik atas hal yang menimpanya.

Kasus pemerkosaan yang terjadi di Indonesia selalu tinggi, termasuk pemerkosaan dalam keluarga seperti yang dilakukan seorang anak terhadap tetangga, paman hingga ayah kandungnya sendiri. Sungguh miris, namun kasus ini kerap terjadi.

Rumah yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi seorang anak justeru kehilangan fungsi dan menjadi pihak yang melecehkan hingga melakukan kekerasan.

Pelecahan dan kasus kekerasan seksual tidak hanya menimpa perempuan dan anak namun juga menimpa laki-laki.

Studi yang dilakukan oleh NGO Forum on Indonesin Development (INFID) menyatakan 33,3% laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual dan 66,7% sisanya dialami oleh perempuan. Angka ini hanya mencakup kasus yang terlapor. Terdapat banyak kasus kekerasan seksual yang akhirnya ditutup rapat-rapat oleh korban selama bertahun-tahun tanpa keberanian untuk mengungkapkannya.

Terjadinya kasus pelecahan seksual diikuti kasus bullying di salah satu instansi pemerintahan cukup mengejutkan publik. Hingga kini, kasus tersebut masih menjadi sorotan.

Publik menunggu bagaimana ujung penyelesaian atas kasus ini. Namun, Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Hengki Haryadi menyatakan bahwa terdapat kendala dalam penanganan kasus ini terkait waktu kejadian yang sudah bertahun-tahun dengan tempat kejadian yang tidak hanya satu. (cnnindonesia.com, 22/9/2021)

Menyikapi kasus kekerasan seksual yang terus terjadi, dorongan untuk menyegerakan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) terus disuarakan. RUU terseebut dinilai mampu untuk memberi jaminan perlindungan terhadap perempuan.

Hingga kini, 8 tahun sudah pengesahannya ditunda. Sejak 2012 RUU PKS sudah diusulkan dan masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas di tahun 2021. Ketua Panitia Kerja RUU PKS, DPR Willy Aditya menyatakan RUU PKS telah berubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dengan status sebagai draf awal. (republika.co.id, 7/9/2021)

Peralihan RUU PKS menjadi RUU TPKS dinyatakan oleh Willy sebagai bentuk keseriusan dan kemajuan dari Panja dengan masih terbukanya berbagai masukan dan pembahasan di tahap-tahap berikutnya.

Meski demikian, terdapat beragam penolakan dari sejumlah organisasi masyarakat seperti The Body Shop Indonesia, Yayasan Pulih, Magdalene, Makassar International Writers Festival, dan Yayasan Plan International Indonesia.

Sejumlah organisasi tersebut membuat pernyataan bersama agar Baleg DPR RI mengembalikan judul RUU PKS seperti semula dan beragam tuntutan lainnya terkait RUU ini. (idntimes.com, 11/9/2021)

Pengesahan RUU ini menuai beragam pro dan kontra. Pengesahannya berjalan sangat alot dengan situasi definisi kekerasan seksual yang masih bias. Naskah RUU TPKS versi Baleg hanya memuat 4 bentuk kekerasan seksual, yaitu: 1) Pelecehan seksual secara fisik maupun nonfisik; 2) Pemaksaan kontrasepsi; 3) Pemaksaan hubungan seksual; 4) Eksploitasi Seksual.

Definisi kekerasan seksual yang menuai pro kontra publik ialah, setiap perbuatan yang bersifat fisik dan atau nonfisik, di mana mengarah kepada tubuh dan atau fungsi dari alat reproduksi yang disukai maupun tidak disukai secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu dengan ada atau tidaknya tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual hingga kerugian secara materi.

Definisi tersebut hanya memuat tentang pemaksaan dan mengabaikan bentuk penyimpangan dan kejahatan seksual tanpa paksaan. Padahal hal tersebut juga bertentangan dengan syariat islam dan nilai-nilai moral bangsa.

Perubahan pada RUU PKS (kini menjadi RUU TPKS) yang terjadi dianggap telah menghilangkan esensi dari rancangan undang-undang tersebut yang bertujuan untuk menghapuskan kekerasan seksual.

Hilangnya pasal tentang pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, hilangnya kehadiran negara dalam memenuhi hak korban hingga tak dimuatnya aturan tentang tindak pidana kekerasan gender berbasis online juga memicu ketidakpuasan beberapa pihak atas RUU ini.

Penyelesaian kasus kekerasan seksual tidak hanya membutuhkan pengesahan RUU yang hingga kini masih menuai banyak pro dan kontra pada publik. Melainkan butuh penyelesaian secara menyeluruh ke akar masalahnya. Kasus kekerasan, pelecehan, dan penyimpangan seksual yang masih marak tentu saja bukan salah individu yang tidak mampu menjaga diri.

Bukan juga karena masalah budaya patriarki dan ketimpangan gender. Namun dikarenakan oleh penerapan sistem sekulerisme liberal.

Sistem sekuler telah menjauhkan kehidupan dari agama dan membentuk manusia-manusia bejat nan kejam. Agama dicampakkan dari aturan dalam kehidupan bermasyarakat.

Manusia-manusia itu seolah merasa berhak untuk menyalurkan naluri seksualnya bahkan dengan cara kekerasan sekalipun. Jadilah perilaku menyimpang dan kasus kekerasan terus meningkat.

Dekadensi moral sebagai buah dari sekularisme juga perlu untuk disoroti. Maka dari itu butuh penyelesaian secara fundamental dengan melihat permasalahan utama penyebab kekerasan dan kejahatan seksual terjadi.

Islam sebagai agama yang juga memuat aturan kehidupan telah memberikan solusi dalam penanganan kekerasan seksual. Mulai dari pencegahan (preventif) hingga penanggulangannya (kuratif).

Mulai dari menutup celah segala aktivitas yang mengumbar sensualitas di tempat umum, pembatasan interaksi antara laki-laki dan perempuan kecuali pada lini yang memang membutuhkan interaksi tersebut seberti dalam bidang pendidikan (sekolah), muamalah (perdagangan) dan kesehatan (rumah sakit, dll).

Adapula kontrol sosial berupa saling menasehati dalam kebaikan dan mencegah terjadinya kemungkaran dengan cara yang baik. Begitu pula penerapan sanksi tegas terhadap setiap pelanggaran yang ada oleh negara seperti had zina bagi pelaku pemerkosaan.

Sehingga kekerasan seksual dapat dicegah untuk terjadi, dan jikapun terjadi dapat ditanggulangi secara efektif agar kejadian yang sama tidak terus berulang.

Dengan begini aturan yang dibuat demi mengeliminasi kasus kekerasan seksual tak hanya sekadar bualan semata. Apalagi khayalan para pembuat hukum yang masih melakukan uji coba.

Islam hadir bukan sekadar memberi trial error, tapi sudah ada bukti bahkan telah teruji ketika diterapkan sesuai kalam ilahi. Wallahua’lam bishawab.[]

Comment