Penulis: Juniardi, S.H, M.H | Pemred Media Online sinarlampung.co dan sinarindonesia.id
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Hingga kini, masih banyak orang, lembaga hingga penegak hukum, yang selalu bertanya tentang batasan kebebasan pers. Apa itu pers, wartawan, jurnalis, media, dan banyak lagi hal yang menyangkut kerja kerja wartwan, ditambah dengan menjamurnya media dan wartawan di mana-mana.
Untuk menjelaskan itu, saya harus mengurai berbagai istilah mulai dari pers, wartawan, media, jurnalis, hingga landasan hukum, hingga menghubungkan dengan potensi-potensi jeratan hukum.
Kita ketahui bersama bahwa pers memiliki peran penting sebagai media informasi, hiburan, penyambung lidah masyarakat, termasuk kontrol sosial.
Selajutnya pers juga berperan mencerdaskan dan memajukan bangsa. Bahwa kebebasan pers merupakan hal yang penting untuk dipertahankan karena pers merupakan platform untuk menyuarakan berbagai macam informasi. Karena pentingnya pers, maka muncul istilah kebebasan pers atau dunia menyebut freedom of the press.
Di Indonesia, kebebasan pers merupakan pilar demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Oleh karena itu, sebagai mata dan telinga masyarakat, jurnalis harus mampu menyuarakan kepentingan publik dengan berani tanpa khawatir ditahan atau digugat. Namun, sama seperti kebebasan berpendapat, kebebasan pers juga tidak absolut.
Menurut laman New World Encyclopedia, selalu ada batasan yang menyertai kebebasan pers baik secara prinsip maupun praktis. Batasan atau peringatan tersebut berbentuk kode etik yang harus dipatuhi oleh awak media untuk mencegah penyalahgunaan kebebasan pers.
Cikal bakal kebebasan pers diawali dengan diakuinya hak-hak serta kebebasan beropini dan berekspresi, salah satunya yang tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights (“UDHR”). John C. Nerone, menyebutkan kebebasan pers (freedom of the press) merupakan kebebasan berkomunikasi dan berkekspresi melalui media massa.
Ketentuan terkait kebebasan beropini dan berekspresi tercantum dalam Pasal 19 UDHR yang menyatakan bahwa:
Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.
(“Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, serta menyampaikan informasi dan gagasan melalui media apa pun dan tanpa memandang batas-batas negara”)
Disarikan dari laman Kementerian Luar Negeri yang berjudul Indonesia dan Hak Asasi Manusia, Indonesia memiliki UU HAM sebagai bentuk tanggung jawab moral sebagai anggota PBB dalam penghormatan dan pelaksanaan UDHR serta berbagai instrumen HAM lainnya mengenai HAM yang telah diterima Indonesia.
Adapun jaminan kebebasan pers di Indonesia merupakan bentuk pelaksanaan UUD 1945 Pasal 28 telah mengatur kebebasan berserikat dan berkumpul dengan bunyi:
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Lebih lanjut, setelah amandemen muncul Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945 memuat bunyi yang dapat menjadi landasan kebebasan pers di Indonesia yaitu:
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Pasal 28F UUD 1945
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Perlu kita ketahui, bahwa undang-undang yang menjamin kebebasan pers di Indonesia lahir pada masa Presiden B.J. Habibie. Adapun landasan kebebasan pers di Indonesia ditegaskan kembali dengan lahirnya UU 40/1999 dengan pertimbangan-pertimbangan Yaitu:
1. Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis.
2. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
3. Pers nasional adalah wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dari pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.
4. Pers nasional berperan menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kemerdekaan pers atau kebebasan pers diartikan dalam Pasal 2 UU 40/1999 yang dengan jelas menyebutkan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pengertian Pers
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, kata “pers” dapat diartikan sebagai orang atau lembaga yang bergerak dalam mempublikasikan berita. Sedangkan, berdasarkan pasal 1 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Dapat disimpulkan bahwa pers merujuk pada semua kegiatan jurnalistik, khususnya kegiatan yang berhubungan dengan penghimpunan berita, baik oleh wartawan media elektronik maupun media cetak.
Sementara itu, secara etimologis, kata Pers (Belanda), atau Press (Inggris), atau Presse (Prancis), berasal dari bahasa Latin, “perssare” dari kata “premere”, yang berarti “tekan” atau “cetak”. Sedangkan definisi terminologisnya adalah “media massa cetak” atau “media cetak.
Ciri Pers
Secara umum dapat dikatakan ciri-ciri per adalah:
1. Periodisitas, yaitu sebuah lembaga dapat disebut pers bila dapat menerbitkan informasi dan berita secara teratur dan periodik. Periodisitas mengedepankan jadwal terbit, irama terbit, dan konsistensi.
2. Publisitas, yaitu Pers harus bisa menyebarkan berita atau informasi kepada khalayak dengan sasaran yang heterogen, baik dari sisi psikografis maupun geografis.
3. Aktualitas, yaitu semua berita dan informasi yang dipublikasi oleh pers harus mengandung unsur kebaruan, menunjukkan peristiwa yang baru dan sedang terjadi.
4. Universalitas, dalam hal ini berarti kita melihat pers dari sumber dan keanekaragaman materi yang ada di dalamnya. Pada umumnya pers menyuguhkan banyak informasi, tetapi selalu ada topik yang menjadi tajuk utama.
5. Objektivitas, ciri ini adalah nilai moral dan etika yang harus dijunjung tinggi oleh semua media massa dalam menjalankan profesinya, baik itu media cetak, televisi, radio, maupun media online.
Jenis Pers
Jenis jenis pers dapat dikatakan
1. Media Massa Tradisional, yaitu semua media massa dengan otoritas dan memiliki organisasi yang jelas sebagai media. Beberapa media massa tradisional ialah surat kabar, majalah, radio, televisi, film, atau layar lebar.
2. Media Massa Modern, yaitu merupakan semua media yang memiliki otoritas dan merupakan organisasi media, dan juga media yang tidak punya otoritas. Sekarang ini ada banyak media massa modern, misalnya situs berita online, blog, media sosial, aplikasi chat, dan lain-lain.
Peranan dan Fungsi Pers
Peran pers berdasarkan pasal 6 Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, yaitu:
Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui segala informasi. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, membantu mendorong mewujudkan supremasi hukum, menghargai Hak Asasi Manusia (HAM) dan juga menghormati kebhinnekaan. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap segala hal yang berhubungan dengan kepentingan umum. Mengembangkan pendapat umum menurut informasi yang tepat, akurat, dan benar.
Fungsi pers berdasarkan pasal 3 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yaitu:
Pers Nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi.
Pers Nasional mempunyai fungsi sebagai media pendidikan.
Pers Nasional mempunyai fungsi sebagai sarana hiburan.
Pers Nasional mempunyai fungsi sebagai media kontrol sosial.
Pers Nasional mempunyai fungsi sebagai lembaga ekonomi.
Sedangkan fungsi pers secara umum ada tiga, yaitu:
Sebagai Alat Pengamat Sosial (Social Surveillance)
Pers atau media massa merupakan lembaga yang mengumpulkan dan menyebarkan berbagai informasi dan pemahaman objektif terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar mereka.
Sebagai Alat Sosialisasi (Sosialization)
Pers atau media massa dapat berfungsi sebagai alat sosialisasi mengenai nilai-nilai sosial dan mewariskannya dari satu generasi ke genarasi berikutnya.
Sebagai Alat Korelasi Sosial (Social Correlation)
Pers juga dapat berfungsi sebagai alat pemersatu berbagai kelompok sosial yang ada di masyarakat. Hal ini bisa tercapai dengan cara menyebarkan berbagai pandangan yang ada sehingga tercapai suatu konsensus.
Wartawan
Wartawan merupakan pekerja jurnalistik dengan tugas utama mengumpulkan dan melaporkan informasi sesuai fakta yang ada. Meski begitu, wartawan juga memiliki aturan yang harus dipatuhi dan disebut dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Pengertian tentang wartawan ini juga dijabarkan dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 4 tentang Pers.
Pada UU itu dijelaskan bahwa wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Kegiatan jurnalistik terdiri dari mencari, memperoleh, mengolah, dan menyampaikan informasi atau berita kepada publik. Sehingga wartawan bisa disebut sebagai sebuah profesi yang dilakukan seseorang.
Profesi ini bekerja dengan beberapa tujuan memperoleh fakta, menemukan sumber yang kredibel serta bisa dipercaya, dan mewawancarai orang.
Pers dan Wartawan
Pers merupakan sebuah kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh jurnalis atau wartawan, sedangkan wartawan adalah profesi yang melakukan kegiatan pers. Tentu dua hal itu sangat berbeda, pers sebagai nama kegiatan, sedangkan wartawan sebagai nama profesi. Meski begitu keduanya masih berkaitan karena sama-sama menyampaikan informasi pada banyak orang.
Dahulu, wartawan hanya mengacu pada penulis berita di media cetak. Namun kini, wartawan menjadi julukan untuk pekerjaan jurnalistik yang medianya bukan hanya cetak. Apalagi sekarang ini ada banyak media yang bisa digunakan untuk menyampaikan informasi pada para masyarakat.
Pemberitaan Pers dan Wartawan Merugikan
Ada banyak pertanyaannya yang muncul, salah satunya apakah pemberitaan di media pers dapat digugat secara hukum, atau dilaporkan atas pencemaran nama baik dan atau penyebaran berita bohong, baik melalui sarana media online maupun media cetak?
Merujuk pada istilah “pemberitaan” dalam pertanyaan itu, maka kita asumsikan bahwa media online atau media cetak yang dimaksud adalah pers sebagaimana diatur dalam UU Pers.
Selanjutnya, dua jenis perbuatan hukum yaitu pencemaran nama baik dan atau berita bohong itu ada dalam konten berita yang disiarkan oleh pers.
Setidaknya kita rangkung ada tiga kesan soal subjek seseorang dan atau badan hukum yang menjadi sasaran gugatan atau tuntutan atas pencemaran nama baik dan atau penyebaran berita bohong tersebut.
Pertama, yaitu apakah gugatan ditujukan kepada pers sebagai badan hukum yang menyiarkan berita?
Kemudian kedua, apakah gugatan ditujukan kepada wartawan sebagai orang yang bekerja membuat berita untuk pers?.
Ketiga, apakah gugatan ditujukan kepada orang dan atau badan hukum yang menjadi narasumber berita?
Seperti diurai diatas bahwa pengertian pers yaitu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis uraian yang tersedia.
Berdasarkan penjelasan itu, maka ada dua kemungkinan jenis pers berdasarkan UU Pers sebagai sarana pencemaran nama baik dan atau penyebaran berita bohong yaitu, media cetak, media online (media elektronik).
Jadi hal yang harus menjadi perhatian bahwa konten berita yang disiarkan pers adalah produk kegiatan jurnalistik berupa mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya.
Sejak UU Pers berlaku, seluruh kegiatan dan produk pers memiliki payung hukum khusus yang bisa mengecualikan berbagai ketentuan hukum yang umum. Asas lex specialis derogat legi generali berlaku dalam ketentuan hukum mengenai pers.
Oleh karenanya, jika berkaitan dengan pers, maka pertanyaan harus merujuk pada ketentuan dalam UU Pers. UU Pers telah mengatur perkara yang berkaitan dengan keberatan atas pemberitaan pers yaitu dengan tiga upaya yaitu:
Hak jawab yaitu hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Hak koreksi yaitu hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain, dan Pengaduan ke Dewan Pers apabila dua upaya sebelumnya tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Dewan Pers menyebutkan perbedaan antara hak jawab dan hak koreksi terletak wewenang pada pihak yang melakukannya. Hak jawab diberikan kepada pihak yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Sedangkan hak koreksi diberikan kepada setiap orang.
Hak jawab berisi tanggapan atau sanggahan terhadap berita yang menyangkut langsung diri dari pihak yang dirugikan. Sementara, hak koreksi berisi koreksi dari siapa saja menyangkut informasi apapun yang dinilainya salah, terutama kekeliruan fakta dan data teknis.
Ketentuan lebih lanjut tentang cara mengajukan hak jawab diatur dengan Peraturan Dewan Pers 9/2008.
Jadi, apabila ada lembaga atau perorangan yang merasa dirugikan atas suatu pemberitaan misalnya karena dianggap sebagai pencemaran nama baik atau berita bohong, upaya pertama yang bisa dilakukan adalah menggunakan hak jawab.
Isi hak jawab akan ditayangkan secara proporsional oleh pers terkait dalam waktu secepatnya atau pada kesempatan pertama. Melayani hak jawab dan hak koreksi adalah kewajiban hukum bagi pers yang disertai ancaman pidana denda paling banyak Rp500 juta jika tidak melaksanakannya.
Artinya, persoalan hak jawab bukan hanya masalah etik tetapi juga masalah hukum. Apabila hak jawab belum cukup memuaskan, Anda bisa mengadukan perkara pemberitaan yang merugikan itu kepada Dewan Pers.
Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada yang ditunjuk Dewan Pers sebagai Ahli Dewan Pers, Herlambang Perdana Wiratraman memberikan penjelasan tentang mekanisme pengaduan. Setiap pengaduan keberatan yang masuk ke Dewan Pers akan ditanggapi dengan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi.
Isinya adalah saran penyelesaian yang diberikan Dewan Pers. Ketentuan lebih lengkap tentang pengaduan ke Dewan Pers diatur dalam Peraturan Dewan Pers 01/2017.
Menggugat Pers dan Wartawan?
Bisakah seseorang atau badan hukum menggugat atau menuntut pers?. Jawabnya adalah apabila pihak pengadu yang tidak puas dengan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi dari Dewan Pers, maka bisa melanjutkan pada mekanisme gugatan perdata. Namun, Ahli Dewan Pers, Herlambang Perdana Wiratraman mengatakan mekanisme gugatan perdata jarang terjadi karena pengadilan sejauh ini mengikuti mekanisme Dewan Pers.
Adapun, berkaitan dengan tuntutan pidana, SEMA 13/2008 juga memberi pedoman agar pengadilan mendengar atau meminta keterangan ahli dari Dewan Pers dalam menangani delik pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers secara teori dan praktik.
Penting dicatat bahwa Dewan Pers telah memiliki nota kesepahaman dengan Polri dan Kejaksaan Agung. Isinya menegaskan kerja sama untuk menegakkan perkara hukum terkait kegiatan jurnalistik sesuai dengan UU Pers. Secara khusus disepakati bahwa laporan pidana ke kepolisian atas produk pers akan diarahkan untuk diselesaikan di Dewan Pers terlebih dahulu.
Herlambang menegaskan bahwa sejauh ini berbagai upaya pemidanaan akibat produk pemberitaan pers hampir tidak pernah ditemukan lagi di Indonesia dan dunia. Berdasarkan SEMA 13/2008 serta Nota Kesepahaman Dewan Pers dan Polri maupun Nota Kesepahaman Dewan Pers dan Kejaksaan Agung, ada indikasi bahwa aparat penegak hukum Indonesia pun mengutamakan mekanisme penyelesaian di Dewan Pers alih-alih secara hukum (pidana).
Namun, harus dipahami bahwa peluang untuk mengajukan gugatan atau tuntutan kepada pers maupun wartawan tetap ada. Hanya saja, Herlambang telah menegaskan jika berkaitan dengan produk pers yang telah memenuhi UU Pers kecil kemungkinan akan diproses oleh aparat penegak hukum.
Berkaitan dengan media online atau media elektronik yang juga terikat sebagai penyelenggara sistem elektronik berdasarkan UU ITE (dan perubahannya), Dewan Pers menilai pasal-pasal UU ITE tidak dapat digunakan terhadap produk pers sebagai karya jurnalistik yang sudah tegas dan jelas diatur dalam UU Pers. Pernyataan sikap itu disampaikan lewat Siaran Pers No. 25/SP/DP/XII/2023.
Dewan Pers merujuk pada Lampiran angka 3 huruf l SKB UU ITE bahwa untuk pemberitaan di internet yang dilakukan institusi pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan ketentuan UU Pers, diberlakukan mekanisme sesuai dengan UU Pers sebagai lex specialis bukan UU ITE. Artinya, bahwa untuk kasus terkait pers perlu melibatkan Dewan Pers. Juga perlu diketahui pula bahwa Dewan Pers sudah menerbitkan pedoman khusus untuk media online yaitu Pedoman Pemberitaan Media Siber.
Menggugat Narasumber Berita
Mengenai kemungkinan gugatan atau tuntutan kepada narasumber berita yang diperkarakan, bahwa dalam Putusan Kasasi MA No. 646 K/Pid.Sus/2019 pernah membebaskan narasumber berita yang didakwa atas penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU ITE. (dilangsir hukumonline)
Mahkamah Agung menilai bahwa (hal. 5):
…tidak dapat dinilai sebagai perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Jadi, pernyataan narasumber berita yang disiarkan media elektronik tidak bisa membuatnya dijerat delik pencemaran nama baik dan/atau penyebaran berita bohong.
Lebih lanjut, Mahkamah Agung juga menilai (hal. 6):
Bahwa hasil wawancara Terdakwa dengan beberapa media karena sudah diolah menjadi berita sehingga termasuk karya jurnalistik, maka pertanggungjawabannya ada pada pengelola media yang bersangkutan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Artinya, dugaan pencemaran nama baik dan/atau penyebaran berita bohong narasumber berita dalam hasil wawancara pemberitaan juga diakui sebagai produk pers yang tunduk pada mekanisme UU Pers.
Tulisan ini disadur dan dirangkum dari berbagai referensi. Para penggiat pers, dan wartawan, bisa membaca Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kemudian ada Peraturan Dewan Pers Nomor: 01/Peraturan-DP/VII/2017 tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers, Peraturan Dewan Pers Nomor: 9/Peraturan-DP/X/2008 tentang Pedoman Hak Jawab, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli.
Kemudian ada Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Dan Kapolri Nomor 229, 154, KB/2/VI/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi atas Pasal tertentu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana Telah Diubah dengang Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
Ada Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 01/DP/MoU/II/2019, Nomor KEP.040/A/JA/02/2019 tentang Koordinasi dalam Mendukung Penegakan Hukum, Perlindungan Kemerdekaan Pers, dan Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat serta Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia, dan Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 03/DP/MoU/III/2022, Nomor NK/4/III/2022 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan. Termasuk Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 646 K/Pid.Sus/2019.
Tentunya ini berlaku bagi Pers yang profesional. Seperti Ketua Dewan menyebutkan bahwa Pers sehat harus merdeka atau bebas dari intervensi. Jika ada pihak yang membatasi media maka bertentangan dengan prinsip kebebasan pers. Pers harus profesional dengan menganut unsur-unsur integritas, pengetahuan yang luas dan nilai-nilai kode etik yang ditaati. Dan Pers harus komitmen terhadap sifat alamiah dimana pers merupakan institusi sosial dan kedepankan kepentingan publik. Semoga bermanfaat.[]
Comment