Penulis: Dr. M. Imam Syamsi Ali, Lc., M.A., Ph.D | Direktur Jamaica Muslim Center, New York, Amerika Serikat
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pada catatan sebelumnya disebutkan bahwa hidayah itu merupakan nikmat (karunia) terbesar dan terpenting dalam kehidupan seorang insan. Dengan hidayah itulah seseorang hidup dengan sesungguhnya. Tanpa hidayah seseorang akan hidup dalam kepura-puraan dan penuh kebohongan.
Hidayah diartikan sebagai “petunjuk” jalan kebenaran. Namun secara literal dimaknai sebagai karunia batin (non fisikal) yang berkarakter keindahan (beauty), kelembutan (gentleness) dan tanpa pamrih.
Intinya hidayah itu adalah karunia yang indah, lembut dan memilki daya tarik tinggi. Dan yang terpenting adalah bahwa hidayah itu adalah karunia yang tidak memilki nuansa “pengembalian” (gratis sifatnya).
Pada tataran inilah kita bisa memahami kenapa kata hidayah itu memiliki akar kata yang sama dengan kata “hadiah”. Akan tetapi walaupun sama pada substansi makna, kata “hadiah” lebih berkonotasi dengan sesuatu yang bersifat fisikal-material.
Sementara kata “hidayah” lebih bernuansa makna batin/spiritual (ruhiyah). Tapi keduanya memiliki makna pemberian (karunia) yang menarik (attractive) dan tidak diniatkan untuk dikembalikan.
Dalam agama, secara umum hidayah dipahami dengan dua kategori. Pertama, Hidayah dalam arti “pengajaran” (ta’lim) “ajakan” (da’wah), “peringatan” (tadzkirah), dan “arahan” (irsyaad). Kedua, hidayah dalam arti “petunjuk hati untuk menerima kebenaran”.
Definisi pertama lebih dikenal dengan istilah “hidayatul irsyaad” dan yang kedua lebih populer dengan sebutan “hidayat at-Taufiiq.”
Empat kategori hidayah
Dalam bukunya yang fenomenal berjudul “Ghoraaib mufradaat al-Qur’an” seorang ulama Persia bernama Allama Raghib al-Asfahani menuliskan empat kategori hidayah dalam pandangan Islam.
Pertama, hidayatul khalq (hidayah melalui ciptaan).
Hidayah atau petunjuk melalui penciptaan ini lebih populer dalam Islam sebagai “kefitrahan” (kesucian). Allah sendiri menekankan bahwa semua manusia itu diciptakan dengan dasar fitrah ini. Kefitrahan ini tidak akan berubah dan hilang (lihat S. Ar-Rum: 30).
Rasulullah SAW juga menyampaikan bahwa semua anak yang terlahir itu terlahirkan di atas kefitrahan. (hadits).
Dalam bahasa umum di Indonesia hidayah penciptaan ini lebih populer disebut dengan “hati nurani” atau dalam bahasa yang lebih umum biasa disebut sebagai “moral compass” (petunjuk moral).
Apapun penamaan itu hidayah penciptaan ini dimaknai sebagai adanya kesadaran batin manusia yang bersifat alami untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, bahkan mana yang benar dan mana yang salah dalam kehidupan ini.
Kesadaran batin ini takkan pernah hilang (laa tandiila likhalqillah) dari manusia. Karena hal ini memang bagian integral dari penciptaannya. Hanya saja “nurani” (cahaya batin) manusia ini seringkali tertutupi atau tersembunyikan oleh hawa nafsu dan keangkuhannya.
Semua orang tahu bahwa meminum khamar, mencuri, berzinah, dan berbagai dosa itu tidak baik dan salah. Nurani manusia tidak akan bisa didustai dalam hal ini. Akan tetapi manusia menjadi buta. Bukan buta pada mata fisiknya tapi hati nurani yang ada dalam dada terbutakan oleh hawa nafsu dan keangkuhan itu.
Itulah makna sejati dari hidayah melalui penciptaan manusia. Allah melengkapi ciptaan manusia itu dengan kesadaran batin tadi. Bahkan lebih dari itu manusia dilengkapi pula dengan ragam fasilitas jasad untuk sampai kepada hakikat hidayah batin tadi.
Dengan mata untuk melihat, dengan telinga untuk mendengar, dan dengan akal untuk berfikir. Sayangnya banyak manusia yang gagal mensyukuri semua itu maka tertutuplah “kefitrahannya”.
Allah menyebutkan: “sungguh kami telah persiapkan jahannam untuk banyak jin dan manusia. Mereka memilki hati tapi tidak memahami dengannya, memilki mata tapi tidak melihat dengannya, dan memilki telinga tapi tidak mendengar dengannya”. Maka mereka itu seperti binatang bahkan lebih sesat (dati binatang).
Dalam kenyataan hidup manusia petunjuk melalui penciptaan (hidayatul khalq) ini selalu menggelitik. Kesadaran yang akan tetap ada dan tak akan tergantikan (laa tabdiil). Sehingga kalaupun karena keangkuhan dan dorongan hawa nafsunya manusia menyalahinya (melanggar) seolah biasa saja.
Namun petunjuk penciptaan (hati nurani) itu akan menggelitiknya. Sehingga kesalahan atau pelanggaran (dosa-dosa) yang dia lakukan itu akan menghantuinya.
Orang yang melakukan dosa-dosa, bahkan tanpa diketahui oleh siapapun, akan tetap merasakan beban berat dari perbuatan dosa itu. Perasaan bersalah (guilt) akan menghantuinya karena ada kejujuran batin yang diingkari akibat hawa nafsu dan keangkuhan tadi. Sehingga bagaimana pun dan dengan cara apapun menyembunyikan kesalahan itu dia akan merasa terkejar-kejar.
Pencuri dan penipu bahkan tanpa diketahui oleh siapapun dalam aksinya akan merasa dikejar-kejar dan takkan pernah tenang dalam hidupnya. Kesalahan dan dosa itu menjadi beban berat yang menjadikannya kehilangan ketenangan batin dalam hidupnya.
Inilah yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya: “dosa itu adalah apa yang terasa di dadamu dan engkau takut jika manusia mengetahuinya”.
Ini pulalah dasarnya sehingga Rasulullah pernah mengingatkan umatnya: “istafti qalbaka” (tanya hati nuranimu). Beliau mengingatkan bahwa anda bisa menipu dan membohongi banyak orang. Tapi satu hal yang paling pasti yang anda harus sadari “jangan membohongi diri sendiri”. Hati nurani tidak akan bisa didustai! (Bersambung).
Comment