Oleh: Irnawati, Mahasiswi
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pelecehan seksual bukan hal baru yang terjadi di Indonesia, sudah banyak berita terkait pelecehan seksual yang menghiasi layar kaca dan memenuhi beranda sosial media. Baru-baru ini terungkap kembali kasus pelecehan seksual yang dilakukan beramai-ramai oleh karyawan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Dilansir dari republika.co.id (02/09/21) seorang pria pegawai KPI Pusat mengaku sebagai korban perundungan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh tujuh pegawai di kantor KPI Pusat selama periode 2011 hingga 2020.
Kasus yang menimpa pegawai KPI Pusat ini pun baru diproses secara hukum setelah korban speak up melalui siaran tertulis yang diterima oleh sejumlah media nasional di Jakarta, desakan yang kuat pun muncul dari publik untuk memproses masalah yang dialami korban.
Sebelumnya korban sempat melapor ke Komnas HAM dan kepolisian, namun penyelesaian masalah hanya diselesaikan di internal kantor dan hanya berujung pada pemindahan divisi kerja dan pelaku tidak mendapat hukuman.
Adapun kasus lain berupa sikap toleran KPI atas tampilnya artis mantan pelaku kekerasan seksual di televisi swasta. Setelah sang artis menyelesaikan masa tahanan kurang lebih lima tahun sudah banyak job yang menanti penyanyi tersebut. Sontak sikap beberapa stasiun televisi swasta ini ditolak oleh masyarakat bahkan seruan boikot ramai ditujukan untuk sang artis.
Publik menilai bahwa public figure yang berstatus mantan narapidana pencabulan tidak sepantasnya diberikan panggung untuk menyiarkan kebebasan atau glorifikasi.
Karena di sisi lain, saat korban masih berjuang melepas trauma, sang artis masih diundang di stasiun televisi dan disambut meriah di hari kebebasannya seperti seorang pahlawan.
Hal ini pun menegaskan bahwa lembaga KPI begitu lunak memperlakukan pelaku kekerasan seksual berbanding terbalik dengan kampanye nasional anti kekerasan seksual yang pernah dilakukan.
Kekerasan Seksual Tetap Menjadi Wabah Tak Tertuntaskan Dalam Sistem Sekuler
Kasus yang menimpa pegawai KPI Pusat sejatinya telah menjadi alarm keras bagi penyelenggara negara. Jaminan keamanan dan perlindungan bagi individu, baik di tempat kerja ataupun di tempat lainnya sangat minim. Perundungan dan pelecehan seksual tak hanya menimpa perempuan, tetapi juga laki-laki.
Berdasarkan studi kasus kuantitatif yang dilakukan _International NGO Forum on Indonesian Development_ (INFID) 33,3% laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual.
Sementara 66,7% kekerasan seksual dialami oleh perempuan (kompas.com, 02/02/21). Begitu banyak kasus kekerasan seksual yang terungkap menjadikan Indonesia darurat kekerasan seksual. Itu baru kasus yang terlapor, bagaimana dengan kekerasan seksual yang tidak terlapor? Bisa jadi angkanya lebih banyak.
Maraknya kasus kekerasan, kejahatan, penyimpangan, dan pelecehan seksual bukan hanya masalah individu yang tidak mampu menjaga diri. Bukan pula persoalan budaya patriarki. Bukan juga masalah kesetaraan dan ketimpangan gender.
Namun, karena penerapan sistem sekularisme liberal. Sistem sekuler menjauhkan agama dari kehidupan, telah membentuk manusia-manusia bejat dan nirempati. Agama tidak lagi dijadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat. Mudah bagi siapa pun melakukan perundungan dan pelecehan tanpa ampun. Benteng keimanan dan ketakwaan yang mestinya menjadi pencegah perundungan dan pelecehan telah runtuh.
Penanganan kasus pegawai KPI Pusat yang diproses sangat lambat dan glorifikasi yang dilakukan artis mantan narapidana pencabulan membuktikan begitu lunaknya pemerintah dalam memberikan sanksi kepada pelaku kekerasan seksual dan tidak memberikan efek jera atas tindakan yang telah mereka lakukan.
Atas kejadian ini desakan untuk segera disahkannya RUU PKS kembali menggema. Namun pengesahannya berjalan alot karena publik mempertanyakan definisi kekerasan yang masih bias.
Setelah beberapa klausul diubah, masih ada ketidakpuasan beberapa pihak terhadap RUU PKS. Perubahan tersebut dianggap menghilangkan asas, arah, dan tujuan penghapusan kekerasan seksual.
Seperti hilangnya pasal tentang pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, tidak dimuatnya tindak pidana kekerasan gender berbasis online, dan hilangnya kewajiban negara memenuhi hak korban. Bagaimana negara bisa memberikan sanksi tegas sedangkan untuk mendefinisikan kekerasan seksual saja masih terus mengalami perubahan.
Masalah kekerasan seksual tidak akan selesai meski memiliki payung hukum sekalipun, sebab masalah utama banyaknya kekerasan belum dituntaskan secara fundamental. Sebanyak apa pun UU yang dibuat, itu hanya peredam sesaat dan sekedar tambal sulam.
Selain itu, aturan yang diterapkan dalam sistem sekuler notabene berasal dari pikiran manusia yang lemah dan terbatas, sehingga kekerasan seksual akan tetap menjadi wabah menjijikan di negeri mayoritas muslim apabila nilai dan sistem sekuler yang dipraktikkan.
Islam Mencegah Kejahatan Seksual
Berbeda dengan sistem sekuler, Islam bukan hanya agama ritual saja tetapi Islam pun memiliki seperangkat aturan lengkap yang mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai dari memandu kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara.
Terkait kekerasan atau penyimpangan seksual pun Islam telah memiliki aturan yang dapat mencegah tindakan tersebut, mulai dari upaya preventif hingga upaya kuratif.
Mekanisme pertama yang dilakukan oleh negara dalam sistem Islam yaitu dengan menerapkan upaya preventif dengan mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan, baik di ranah sosial maupun privat.
Islam memerintahkan menutup aurat atau segala sesuatu yang merangsang sensualitas, karena pada umumnya kejahatan seksual dipicu rangsangan dari luar yang dapat mempengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau).
Islam menempatkan penyaluran naluri seksual hanya pada hubungan pernikahan. Islam membatasi interaksi antara laki-laki dan perempuan, kecuali dalam beberapa aktivitas yang memang membutuhkan interaksi tersebut, seperti pendidikan, muamalah dan kesehatan.
Islam juga memiliki sistem kontrol sosial berupa perintah amar ma’ruf nahi munnkar, saling menasehati dalam kebaikan dan ketakwaan, juga menyelisihi terhadap segala bentuk kemaksiatan.
Jika aturan preventif telah diterapkan tetapi masih saja terjadi pelanggaran, maka akan ada sanksi tegas bagi para pelaku. Penegakan sistem sanksi dalam Islam tidak pandang bulu.
Siapa pun dia, jika terzalimi atau teraniaya, pasti mendapat perlindungan dari negara. Islam memiliki sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Bagi pelaku tindak pemerkosaan berupa had zina, yaitu dirajam hingga mati jika pelakunya telah menikah, dan dijilid (dicambuk) seratus kali dan diasingkan selama setahun jika pelakunya belum menikah.
Hukuman rajam bagi pelaku kemaksiatan tidak dilakukan secara sembarangan, harus didetailkan kasusnya oleh hakim yang berwenang, harus ada saksi dan sebagainya. Hukum Islam yang tegas akan memberikan efek jera bagi pelaku dan sebagai penebus dosa bagi dirinya di Yaumil Hisab.
Semua aturan ini hanya dapat diberlakukan dengan penegakan sistem syariat Islam bukan institusi sekuler yang malah melanggengkan kemaksiatan.[]
Comment