Oleh: Siti Aisah, S. Pd, Praktisi Pendidikan Kabupaten Subang
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Adat istiadat yang menjadi warisan budaya adalah proses kebiasaan yang tak lekang oleh waktu. Kebiasaan masyarakat Indonesia khususnya wilayah pedesaan yang bergotong royong dalam menyelesaikan permasalahannya. Namun sayangnya, kondisi semacam ini sudah bergeser ke arah komersial dan materialisme.
Di wilayah Kabupaten Subang Kecamatan Cipunagara Desa Jati, ada tradisi hajatan saat panen raya tiba.
Pada awalnya hajatan ini adalah wujud syukur masyarakat, yaitu, syukuran pernikahan dan khitanan anak namun, kini tujuan hajatan bervariasi yaitu di antaranya : diperuntukkan modal usaha, pembangunan rumah, biaya sekolah atau bahkan pembelian roda transportasi.
Ada beberapa istilah yang menunjukkan adat istiadat ini yaitu gantangan atau gintingan.
Dikutip dari situs Kemendikbud, Gantangan itu sendiri adalah pola sosial masyarakat yang bergerak di bidang perekonomian. Gantangan (baca juga : hajatan) khususnya di kawasan Subang Jawa Barat.
Konsep awalnya sendiri hampir sama dengan konsep hajatan, yaitu ekspresi kegembiraan yang dicerminkan dengan saling memberi sumbangan (baca: nyumbang) dalam acara pernikahan, sunatan, ataupun lahiran.
Kemungkinan munculnya tradisi ini adalah pada awal tahun 1960-an, akan tetapi konsepnya adalah benar-benar ‘nyumbang’ artinya masyarakat sukarela secara kolektif tanpa adanya komando menyumbang masyarakat lainnya yang akan melakukan acara syukuran tertentu.
Awalnya hanya 2 liter per orang tanpa adanya catat-mencatat. Namun sekarang, konsep itu tidak berlaku lagi. Selain karena kondisi masyarakat yang berubah, yaitu dari masyarakat pedesaan yang kolektif-idealistik menjadi individual-materialistik.
Berikut ini ulasan tahapan hajatan :
1. Sebelum hajatan
Acara ini diawali dengan rundingan menentukan hari ‘baik’ dengan keluarga dan tokoh masyarakat, tak lupa mencari dan mengumpulkan modal hajatan.
Panitia hajatan biasanya terdiri dari tokoh masyarakat dan keluarga terdekat pemangku hajat. Menyewa berbagai perlengkapan hajat, mulai dari alat-alat masak, dekorasi dan tenda.
Dalam kondisi saat ini, pandemi perizinan mengadakan acara harus dua, yaitu dari desa dan dari kepolisian. Jika ingin ada hiburan seperti khitanan (baca : istilah untuk anak laki-laki yang akan naik kuda) dan rasulan (baca: istilah untuk anak perempuan yang akan naik kuda).
Lalu dilanjutkan mencetak undangan dan membagikannya. Ada istilah melekan (baca : begadang) semalam suntuk ini biasanya dilakukan satu bulan sebelum hajatan hingga hari H, tergantung kemampuan pemangku hajat dalam penyiapan jamuannya.
Jika syukuran khitanan ataupun rasulan anak, yang terbayang bukan naik kuda secara nyata. Namun kuda disini digunakan untuk istilah patung berupa singa atau burung yang digotong oleh 4 orang laki-laki dewasa.
Anak-anak di sini lebih menyukai patung berbentuk burung, karena dari bentuk ataupun warnanya lebih mencolok serta terlihat megah dan gagah. Jika anak naik itu, terlihat seperti raja ataupun ratu sehari yang diarak keliling kampung.
Perlu diketahui, tradisi pembagian undangan hajatan ini yaitu dalam memilah catatan ‘nyumbang’ menggunakan ‘siliwir’.
Seminggu sebelum acara, pemangku hajat mempersiapkan sabun cuci untuk ditempelkan kertas ‘siliwir’. Siliwir ini berisi, tanggal, alamat, nama pemangku hajat dan yang terpenting adalah catatan ‘nyumbang’ pemangku hajat kepada para tetangga dan masyarakat sekitarnya.
Anggaran untuk ini diperkirakan dua kali lipat dari catatan ‘nyumbang’. Misalnya pemangku hajat memiliki catatan ‘nyumbang’ kepada sekitar 400 orang, maka setidaknya harus menyiapkan 800 pcs sabun cuci yang bertempelkan siliwir.
Setelah itu para tetangga pemangku hajat yang biasanya ibu-ibu berkeliling desa membagi-bagikan sabun cuci ‘mahal’.
Ketika seseorang menerima sabun siliwir itu, jika tidak ada catatan ‘nyumbang’ maka kewajibannya untuk nyumbang. Nah, dengan adanya sistem pencatatan ini menjadi tradisi hajatan ‘utang-piutang’ tanpa batas waktu.
2. Pelaksanaan hajatan
H-1 hajatan para tetangga akan berduyun-duyun datang ke rumah pemangku hajat untuk menyiapkan jamuan makan untuk hari H.
Di antaranya ada persiapan sesajen, lalu menentukan tempat untuk mencatat sumbangan, menyiapkan pulangan atau kembalian berupa makanan ringan (baca: snack) seperti opak, ranginang, wajik dan dodol. Namun jika snack yang disiapkan sudah habis maka penggunaan kerupuk jajanan warung pun dipersiapkan untuk kembalian sumbangan yang diberikan. Tak lupa pengelolaan penempatan parkir, lalu dokumentasi acara dan penjagaan keamanan.
3. Sesudah hajatan
Acara hajatan bisa disebut berhasil jika hasil dari hajatan ini lebih besar dari modal yang dikeluarkan. Menghitung uang dan menjual beras yang sudah terkumpul menjadi acara penting dalam setiap hajatan.
Selanjutnya membereskan (baca: melunasi) utang yang digunakan untuk modal hajatan. Sisa dari pembayaran utang itulah yang dijadikan patokan hajatan itu meraih keuntungan.
Pada dasarnya nilai yang terkandung dari tradisi hajatan ini adalah kekompakan bahu-membahu dalam membantu keperluan anggota masyarakat.
Namun nilai ini belakangan berubah menjadi hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antar anggota masyarakat secara berkelompok/individual (baca : resiporsitas).
Hal ini karena ada kewajiban pemangku hajat sebelumnya untuk nyumbang kepada si penyumbang dengan jenis, kuantitas dan kualitas yang diharapkan sama, akan tetapi bisa saja berbeda sesuai kesepakatan.
Tradisi ini tanpa batas waktu, artinya tidak ada kejelasan. Jadi, ketika sang pemangku hajat yakin akan mendapatkan keuntungan maka ia akan segera melaksanakan hajatan.
Namun, jika dinilai masih belum mencukupi maka tidak akan mengadakan hajatan. Perlu diketahui tradisi ‘nyumbang’ ini adalah konsep ‘utang-piutang’ tanpa batas waktu pengembalian.
Setelah ditelisik lebih dalam, konsep ini pada praktiknya bukan lagi konsep ta’awun (baca : tolong menolong) dalam Islam. Konsep ini lebih ke arah qiradh (baca : utang-piutang).
Sedangkan Islam memandang bahwa seseorang akan terhalangi masuk surga dikarenakan utangnya belum terbayar. Terkadang manusia pada umumnya yang berhutang bukan karena kebutuhan hidupnya yang mendesak tapi lebih kepada kepuasan atau mewujudkan keinginan diluar batas kemampuannya.
Dengan demikian, hutang sendiri bukan menjadi solusi, namun menambah masalah yang ada. Hutang sejatinya membuat manusia itu sendiri menjadi lebih terpuruk tidak berdaya. Gaji ataupun penghasilan yang didapat tidak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, namun digunakan untuk membayar hutang.
Jika hutang sendiri berkaitan dengan riba maka dosa pun tidak terhindarkan lagi. Beban hutang ini bukan berat di dunia saja, namun lebih berat di akhirat. Dosa besar riba pun menghantui dan menjadi penyesalan jika tidak segera bertaubat.
Bersyukur dengan apa yang ada adalah salah satu cara terbaik yang bisa dilakukan manusia. Allah SWT pun akan menambah nikmatnya kepada hambanya yang selalu bersyukur. Sebaliknya hidup akan terasa lebih sempit jika masih selalu menengadah dunia.
Lihatlah dunia dari bawah, agar terasa indah. Sungguh sebuah kebodohan jika manusia selalu menuruti keinginan hawa nafsunya sehingga rela terbelit dan terjerat hutang riba, yang salah satu dosanya diibaratkan seperti menzinahi ibunya sendiri. Nauzubillah.Wallahu a’lam bishshowab.[]
Comment