Oleh: dr. Airah Amir, Dokter RSUD Kota Makassar
_________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — World TB day atau hari Tuberkulosis (TBC) sedunia biasanya diperingati untuk meningkatkan pengetahuan, kepedulian, dan kesadaran masyarakat tentang penyakit TBC.
Diperingati setiap bulan Maret, hari TBC sedunia tahun 2023 mengambil tema ‘Ayo Bersama Akhiri TBC, Indonesia Bisa’. Tanggal 24 Maret 1882 adalah hari di mana Robert Koch, seorang ilmuwan Jerman, menemukan bakteri Mycobacterium tuberculosis penyebab TBC yang menjadi langkah dalam diagnosis dan penyembuhan penyakit ini.
TBC merupakan salah satu penyakit menular dan mematikan yang disebabkan oleh bakteri yang menyerang organ paru manusia dan dapat pula menyerang organ selain paru atau disebut TBC ekstra paru. TBC telah menyebabkan kematian pada sepertiga penduduk dunia sejak bakteri penyebab TBC ini ditemukan.
TBC masih menjadi momok, sebab kasus masih ditemukan dalam jumlah yang tidak sedikit. Apalagi Indonesia saat ini berada pada peringkat kedua penderita TBC terbanyak di dunia.
Dalam konferensi pers secara daring, kemenkes melaporkan pada tahun 2022 berdasarkan data Global TB report (GTR) perkiraan kasus TBC sebanyak 969.000 dengan incidence rate atau temuan kasus sebanyak 354 per 100.000 penduduk.
Sedangkan pada anak, angka TBC meningkat hingga 200 persen yaitu 42.187 kasus pada tahun 2021 meningkat menjadi 100.726 kasus pada tahun 2022 dan 18.144 kasus pada tahun 2023.
Secara global, WHO melaporkan setiap hari lebih dari 4100 orang kehilangan nyawa akibat TBC dan terdapat 28.000 orang menderita penyakit ini yang sebenarnya dapat dicegah dan disembuhkan.
Penyakit ini menular melalui udara sebagai medianya. TBC dapat menular dengan mudah melalui droplet yang terbawa ke udara dan orang yang kontak langsung dengan pengidaplah yang berisiko tinggi untuk tertular TBC.
Apalagi tingkat kesadaran masyarakat terhadap gejala TBC masih rendah sebab masih banyak masyarakat yang belum memahami gejala umum TBC yaitu batuk berkepanjangan hingga 14 hari atau lebih, berkeringat di malam hari, demam, dan penurunan berat badan.
Akibat ketidakpahaman ini, banyak yang beranggapan bahwa batuk yang dialaminya merupakan batuk biasa yang dapat disembuhkan dengan obat batuk yang dapat dibeli bebas. Ditambah lagi rasa takut dan malu akan diagnosis TBC sebab stigma negatif yang melekat pada penderita TBC dan minimnya dukungan keluarga terhadap penderita TBC.
Sebab pengobatan TBC memerlukan waktu yang tidak sedikit yaitu sekitar 6 bulan bahkan hingga 12 bulan secara tuntas yang jika penderita TBC melakukan penghentian konsumsi obat sebelum waktu tersebut akan berdampak pada infeksi berulang dari Mycobacterium tuberculosis sehingga support dari keluarga sangat diperlukan sebagai Pengawas Minum Obat (PMO) dari pasien tersebut.
Kendala lainnya adalah meskipun biaya pengobatan ditanggung pemerintah, jarak yang jauh menuju fasilitas kesehatan juga menjadi masalah yang cukup serius sebab mereka tetap harus mengeluarkan biaya untuk keperluan transportasi untuk menjangkau fasilitas kesehatan tersebut.
Persepsi pasien terhadap penyakit yang dideritanya juga menjadi kendala dalam pengobatan tuntas penyakit TBC. Persepsi negatif terhadap diri sendiri terkadang akibat pemahaman salah terhadap penyakit TBC yaitu menganggap TBC penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
Kedisiplinan dalam terapi TBC dalam jangka waktu yang tidak sedikit juga menyebabkan kebosanan dan juga efek samping yang ditimbulkan dari pengobatan TBC terkadang menyebabkan pasien TBC memutuskan untuk menghentikan pengobatan.
Pemahaman yang benar tentang TBC dapat mendukung upaya penyembuhan TBC bagi individu penderitanya yaitu bahwa TBC merupakan penyakit yang harus ditangani dengan tepat agar dapat sembuh dengan tuntas.
Jika pasien TBC menunda pengobatan atau pengobatan terputus maka risiko tinggi penularan dapat terjadi terutama pada kelompok rentan seperti anak-anak, orang lanjut usia, dan pada orang dengan penyakit kronis seperti diabetes mellitus, HIV, gagal ginjal kronis, kanker dan lainnya.
Terdapat dua jenis tuberkulosis yaitu TBC sensitif obat (TBC SO) dan TBC resisten Obat (TBC RO). Jika TBC sensitif obat dapat diobati dengan empat antibiotik standar yang efektif maka pada TBC resisten obat membutuhkan obat yang lebih banyak dan pengobatan yang lebih lama, mahal dan kompleks. TBC resisten obat terjadi akibat pasien yang menjalani pengobatan yang tidak tuntas atau gagal dan penyebab lainnya adalah tertular dari pasien TBC resisten obat secara langsung.
Melihat fakta di atas,menjadi penting untuk melakukan pencegahan yang dilakukan pada semua aspek kehidupan. Mulai dari keluarga, masyarakat dan ada pula peran negara didalamnya.
Deteksi dini serta penemuan kasus serta pengobatan yang tepat dan keteraturan pasien dalam terapi obat TBC mendukung pemutusan rantai penularan TBC di masyarakat.
Menciptakan lingkungan dan sanitasi yang selalu bersih serta mengupayakan agar rumah memiliki ventilasi yang cukup agar sinar matahari dapat masuk dan sirkulasi udara menjadi lancar.
Hal lain adalah terpenuhinya kebutuhan dasar individu yaitu pemenuhan gizi yang baik yang mensupport sistem kekebalan tubuh agar tidak mudah tertular. Pada pasien TBC pemberian nutrisi yang tinggi kalori dan tinggi protein diperlukan untuk mendukung proses penyembuhan.
Peran negara menjadi penting dengan memaksimalkan upaya dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Juga memberikan layanan pendidikan dan kesehatan gratis yang dengan kemudahan tersebut mudah bagi masyarakat untuk menciptakan sanitasi yang bersih dan menyediakan makanan dengan gizi yang mencukupi bagi keluarga.[]
Comment