Oleh: Putri Hanifah, CHt., C.NNLP, Life Coach, Mahasiswi Universitas Negeri Malang
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Diskursus terkait kampus merdeka rasanya sudah tidak asing lagi di kalangan mahasiswa manapun, bahkan setiap akun official kampus tak pernah absen membubuhkan logo kampus merdeka di setiap postingannya.
Siapa di antara kawan-kawan yang sudah mencicipi program merdeka belajar kampus merdeka? Gimana rasanya tuh seru nggak?
Merdeka belajar kampus merdeka (MBKM) sendiri kata Nadiem Makariem, merupakan program yang memberikan kebebasan dan otonomi kepada lembaga pendidikan, dan merdeka dari birokratisasi, dosen dibebaskan dari birokrasi yang berbelit, serta mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih bidang yang mereka sukai.
Merdeka belajar hari ini seakan menjadi angin segar di tengah penatnya pembelajaran yang menurut sebagian orang kebanyakan teori. Sampai detik ini setidaknya kampus merdeka sudah memasuki sebelas episode dengan berbagai program yang dikembangkan.
Melalui program MBKM mahasiswa dapat mengklaim SKS yang biasanya harus ditempuh dalam waktu satu sampai dua semester.
Terdapat delapan pilihan kegiatan pembelajaran di luar kampus antara lain ; pertukaran pelajar, magang atau praktik kerja, asistensi mengajar di satuan pendidikan, penelitian atau riset, proyek kemanusiaan, kegiatan wirausaha, studi atau proyek independen, membangun desa atau kuliah kerja nyata tematik.
Menilik program-program yang digelar oleh kampus merdeka rasanya sangat menjanjikan masa depan dan pengalaman sebelum memasuki dunia kerja. Siapa yang tidak mau diberikan kesempatan untuk bertukar pengalaman lewat pertukaran pelajar?
Mahasiswa berjiwa sosial mana yang tidak mau berkiprah pada proyek kemanusiaan? Intelektual mana yang tidak mau diberikan kesempatan untuk terjun riset? Ah, rasanya tidak ada, karena itu adalah bagian dari proses dan progress belajar mereka ketika duduk di bangku sarjana.
Bila kita flashback kembali ke definisi program merdeka belajar kampus merdeka dengan program kebebasan dan otonomi kepada lembaga pendidikan, merdeka dari birokratisasi, dosen dibebaskan dari birokrasi yang berbelit, serta mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih bidang yang mereka sukai, maka kita dapati bahwa hari ini negara bukan lagi menjadi penanggung jawab perguruan tinggi melainkan hanya sebagai regulator yang menjembatani.
Apakah tidak ada kekhawatiran setelah kampus-kampus negeri digenjot untuk berubah status menjadi PTN-BH (Perguruan Tinggi Berbadan Hukum)?
Program ini dilanjutkan dengan membebaskan mahasiswa untuk memilih salah satu dari delapan kegiatan yang bisa ditukarkan dengan SKS yang awalnya harus ditempuh selama satu sampai dua semester lamanya?
Memang, Merdeka Belajar Kampus Merdeka sendiri hadir di tengah kita akibat krisis ekonomi dunia. Sejak lima tahun yang lalu ekonomi dunia tidak bergerak meningat secara signifikan. Berbeda dengan Asia, ekonomi bergerak melesat di atas angka lima.
Harapannya dengan program ini, Asia dapat menjadi pendobrak ekonomi dunia yang sedang lungkrah. Terlebih populasi penduduk Asia, khususnya Indonesia juga sedang mengalami bonus demografi.
Masalahnya, banyak pemuda berusia 19-25 tahun dijadikan pangsa pasar potensial bagi industri pendidikan. World Trade Organisation (WTO) sendiri bahkan memasukkan pendidikan sebagai salah satu program yang wajib dikomersilkan.
Kalau sudah begitu, Perguruan Tinggi yang sudah berbadan hukum halal hukumnya untuk berkolaborasi dengan industri ternama karena sudah ada payung hukum.
Perguruan Tinggi memiliki penelitian terupdate, industri memiliki dana dengan jumlah yang banyak terbangunlah sebuah kolaborasi yang luar biasa.
Persoalan ya adalah siapa di balik industri ternama tersebut? Bagaimana jika yang berdiri di balik industri ternama tersebut adalah asing? Penelitian yang sudah dilakukan oleh dosen dan mahasiswa diberikan kepada asing secara cuma-cuma lewat agenda kolaborasi antara kampus dengan industri ternana.
Kekhawatiran ini boleh saja muncul dan mendorong kita untuk mencari dan mencari.
Lalu apa akar masalah pendidikan hari ini? Semua orang mengharapkan pendidikan tentunya demi memperbaiki bagaimana wajah negeri ini.
Tersingkirnya pemerintah dalam hal pendidikan dan terjadinya komersialisasi pendidikan merupakan dampak penerapan sistem kapitalisme di negeri ini.
Ide dasar kapitalisme dengan pemisahan agama dengan kehidupan, mengizinkan sektor apapun bisa dikomersilkan dan halal-halal saja hukumnya.
Hal ini berbeda sekali dengan pendidikan Islam dengan visi dan misi yang jelas Negara yang memiliki visi dan misi yang jelas tidak akan beralih profesi menjadi regulator saja, apalagi mengadopsi setiap ide yang sifatnya untung rugi. Ia akan selektif mengelola pendidikan tinggi. Sebab pendidikan tinggi hadir untuk mencetak intelektual yang dapat mengabdi pada masyarakat dan negeri.
Dalam buku Muqaddimah Ad-Dustur Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan landasan, kurikulum, strategi dan tujuan pendidikan yang sangat fundamental.
Negara menyediakan perpustakaan, laboratorium, sarana ilmu pengetahuan untuk memberi kesempatan bagi warganya yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dll.
Hanya saja konsep pendidikan Islam yang luar biasa ini, tidak akan bisa berjalan dengan lancar, ketika tidak ada support dari sistem-sistem yang lain. Pendidikan Islam disupport oleh sistem politik Islam, sistem ekonomi Islam dan aturan-aturan yang lain.
Oleh karenanya untuk mengubah wajah pendidikan hari ini butuh penerapan Islam secara sempurna. Secara hisoris, Islam terbukti mampu mencetak ilmuwan-ilmuwan hebat seperti Ibnu Sina, Ibnu Nafis, Al Khawarizmi, Abbas Ibnu Firnas, Maryam Al Astrolob, Fatimah Al Fihri dll.
Mereka semualah peletak dasar ilmu pengetahuan modern hari ini atas izin Allah. Bukankah sebagai muslim semestinya kita juga mengikuti jejak mereka?[]
Comment