Mencari Solusi Dan Sanksi Akhiri Korupsi

Opini694 Views

Oleh: Farah Sari, A.Md, Aktivis Dakwah Islam

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Berulangnya tindak korupsi sungguh miris dan menyedihkan, apalagiterjadi di tengah pandemi yang melanda negeri ini. Di saat rakyat berjuang menghadapi ancaman kematian covid 19 dan kematian perekonomian.

Pejabat berdasi yang tidak amanah sampai hati melakukan korupsi. Hal ini tentu akan menambah beban berat bagi rakyat. Bukankah pada hakikatnya kekuasaan yang diamanahkan kepada mereka itu sebagai alat untuk mengelola kekayaan negeri demi kesejahteraan rakyat?

Sebagaimana dikutip laman detiknews.com (8/8/21), Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei nasional mengenai persepsi publik atas pengelolaan dan potensi korupsi sektor sumber daya alam. Hasilnya, 60 persen publik menilai tingkat korupsi di Indonesia meningkat dalam dua tahun terakhir.

“Mayoritas publik nasional 60 persen menilai bahwa tingkat korupsi di Indonesia dalam dua tahun terakhir meningkat,” kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan dalam konferensi pers secara daring, Minggu (8/8/2021).

Lebih miris lagi, terlibat korupsi di negeri ini tidak lantas menghalangi seseorang untuk menduduki jabatan kembali sekalipun posisi penting di Badan Usaha Milik Negara. Mampukah sanksi yang diterima membuat jera sehingga pelaku tidak akan kembali berulah?

Miris sekali bagaimana seorang mantan terpidana kasus korupsi Emir Moeis bisa ditunjuk sebagai salah satu komisaris di PT Pupuk Iskandar Muda (PIM). PIM merupakan anak usaha PT Pupuk Indonesia (BUMN). Dilansir kompas.com (6/8/21), ia diangkat menjadi komisaris sejak 18 Febuari 2021 dan ditunjuk oleh para pemegang saham PT PIM.

Tindakan korupsi yang terus berulang menunjukkan bahwa penerapan sistem yang ada saat ini tidak mampu mencegah dan tetap memiliki celah korupsi. Sanksi hukum pun tidak memberi efek jera pada pelaku. Mustahil jera, jika hukumannya ringan, masa tahanan dikorting dan setelah keluar kembali bisa menjabat.

Aturan yang ada saat ini lahir dari sistem sekuler dan demokrasi semu yang menjadikan perwakilan rakyat sebagai pembuat hukum. Padahal akal manusia terbatas, dipengaruhi kepentingan, tidak mengetahui hakikat baik dan buruk untuk kehidupan sesungguhnya.

Untuk menghentikan tindak korupsi ada dua unsur yang harus baik dan benar (orangnya dan sistemnya). Sangat sulit berharap lahir individu baik dalam sistem yang tidak baik. Sangat mungkin lahir individu baik dalam sistem yang baik. Pengaruh dari sistem terhadap orang-orang di dalamnya sangat besar. Lalu, apa sistem yang baik itu? Sistem itu harus berasal dari pencipta manusia yaitu Allah Swt.

Sehingga, untuk menghentikan korupsi yang menggurita dibutuhkan pengkajian tentang apa akar masalah dan mengapa korupsi itu muncul. Setelah itu disusul dengan langkah dan menetapkan solusi tuntas dengan mengambil sistem yang benar, yaitu sistem Islam.

Syariat Islam memiliki seperangkat konsep pencegahan dan penanganan terhadap tindak korupsi. Lantas bagaimana korupsi dalam pandangan Islam?

Korupsi dalam Pandangan Syariat Islam

Korupsi dalam Syariah Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in, termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang.

Tindakan khaa`in ini tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) dalam Syariah Islam, sebab definisi mencuri (sariqah) adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa` wal istitar). Sedangkan khianat ini bukan tindakan mengambil harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu. (Lihat Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).

Sanksinya disebut ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya mulai dari yang paling ringan, seperti nasihat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati.

Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).

Kesempurnaan Islam menjadikannya mampu mencegah lahirnya korupsi sejak awal. Berikut cara syariat menutup pintu korupsi.

Islam Mencegah Munculnya Korupsi

Setidaknya ada 6 langkah pencegahan dalam Islam terhadap munculnya tindakan korupsi. Hal ini tidak dimiliki oleh sistem sekuler dan demokrasi semu.

Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Nabi SAW pernah bersabda, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.” (HR Bukhari).

Bila rekrutmen para pejabat bukan berdasarkan profesionalitas serta integritas tetapi karena koneksi, materi bahkan hutang budi,  mereka akan sulit menjalankan tugas.

Tugas itu membutuhkan kemampuan dan keahlian. Sehingga sangat berbahaya menyerahkan urusan rakyat kepada orang yang bukan ahlinya.

Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin Khaththab selalu memberikan arahan dan nasihat kepada bawahannya.

Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari, “Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya, pekerjaanmu akan menumpuk….”

Pemimpin adalah pihak yang paling bertanggung jawab mengurusi kepentingan rakyat. Pemimpin memastikan pembinaan melalui penguatan akidah bagi para pegawai. Ini bisa menjadi benteng sehingga mereka tidak terjebak pada kelalaian amanah bahkan tindak korupsi.

Mereka menyadari amanah akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. Ketika sikap dan karakter pemimpin seperti ini hilang, maka wajarlah para pegawai pun tidak amanah dengan tanggungjawabnya.

Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi SAW,”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya isteri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad).

Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi SAW bersabda, “Barang siapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud).

Kelima, islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.

Keenam, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Umar bin Khaththab langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengkritik itu berkata, “Engkau tak berhak menetapkan itu, hai Umar.”

Demikianlah bentuk kesempurnaan syariat Islam saat diterapkan oleh negara. Sejak awal akan mampu menutup pintu korupsi. Jikapun terjadi, maka pelaku akan menerima efek jera. Bukankah kita ingin menghentikan korupsi? Maka jawabannya ada pada penerapan Islam yang datang dari Allah Swt.[]

Comment