Menakar Arah Kebangkitan Umat

Opini821 Views

 

 

Oleh Lulu Nugroho*

RADARINDONESIANEWS.COM — Seluruh komponen masyarakat berusaha  menyelamatkan bangsa, baik ulama MUI (Majelis Ulama Indonesia), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan ormas lain, serta tokoh-tokoh agama dari provinsi dan daerah, ketika menyaksikan umat diposisikan pada sebuah kondisi yang sangat riskan. Hal ini patut mendapat apresiasi, sebab seluruhnya berpadu menyuarakan penolakan terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh negara.

Akhirnya upaya ini pun membuahkan hasil, sebab di awal Maret, lampiran Peraturan Presiden (Perpres) No. 10/2021 terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras (miras) yang mengandung alkohol, dicabut. (Antaranews.com, 3/3/2021).

Namun ini bukanlah akhir dari perjuangan,  jalannya roda pemerintahan harus terus dalam pengawalan umat, sebab peredaran miras masih terjadi.

Motif ekonomi, menjadi alasan utama. Padahal pemasukan yang didapat dari cukai miras tak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkannya. Belum lagi mata rantai korupsi  terus menggelayut dan mengganggu laju pertumbuhan ekonomi. Karenanya wajar jika kebijakan ini menjadi tidak relevan, sebab demi pemasukan yang minim, rela menerima bahaya yang sangat besar.

Tidak hanya itu, meski investasi minuman beralkohol atau miras di Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua resmi diperbolehkan karena alasan budaya dan kearifan lokal, tapi ternyata itu pun tidak bisa diterima. Bahkan Dewan Adat atau Majelis Papua dan Sulawesi Utara justru menolak miras.

Faktanya  lebih dari 27% kerusakan di tempat tersebut terjadi akibat minuman keras. World Health Organization (WHO) bahkan menyatakan, lebih dari 60 jenis penyakit dipicu oleh miras. Bukti bahwa tanpa melalui kaca mata agamapun, miras menimbulkan dharar.

Sungguh tampak warna sekularisme  menyelimuti negeri ini. Dengan berlandaskan fashludin anil hayah atau memisahkan agama dari kehidupan, terbentuk ekonomi ribawi dan koruptif yang menggerogoti tubuh umat. Karenanya tidak heran muncul aturan yang jauh dari syariat, menghalalkan barang haram dan pendapatan yang dihasilkan dari perkara haram.

Perlahan tapi pasti, sekularisme menggiring umat menjauh dari agamanya. Padahal hanya dengan tiga ayat saja yaitu Quran surat Al Baqarah ayat 219, Annisaa ayat 43 dan Al Maidah ayat 90, telah cukup mendorong kaum muslim menjauhi khamr. Dari hulu sampai hilir, khamr tidak akan pernah mendatangkan kebaikan. Tidak bagi penguasa, begitu pula rakyatnya.

Dalam Islam, setiap minuman yang sifatnya memabukkan atau mushkir, disebut sebagai khamr, berapapun jumlahnya atau persentasenya. Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram, serta haram pula keberadaan industrinya.

Status hukum produksi tersebut sesuai apa yg diproduksinya. Jika yang diproduksi haram, maka produksi tersebut haram, yang menginvestasikan uangnya pun haram. Maka yang membuka ruang investasi, atau mengizinkan akan terkena dosa besar.

Menelisik Perpres yang lahir di tengah pandemi, semakin menunjukkan, hanya oligarki dari segelintir elit yang mendapat keuntungan. Diterbitkannya peraturan adalah demi  menyokong terbukanya keran investasi dan distribusi miras yang sudah berjalan sebelumnya.

Karenanya umat harus peduli, untuk melakukan pengawasan dan koreksi dalam bentuk amr maruf nahi munkar. Khamr tidak boleh dibiarkan, tidak di 4 provinsi yang dimaksud tadi, tidak juga di mana pun. Sikap kritis umat akan menyelamatkan seluruh manusia termasuk penguasa, di dunia maupun di akhirat.

Miras atau khamr adalah ummul khobaits, atau induknya kerusakan. Tazir, 40-80 kali dikenakan bagi peminum khamr. Karenanya, sungguh sulit diterima nalar jika sebuah negeri dengan mayoritas muslim, membiarkan khamr melenggang di sana.

Tatkala penguasa tidak lagi berpihak pada umat, tetapi  tunduk pada pemilik modal, maka terjadi jalin berkelindan. Para kapital yang berkumpul dalam oligarki akan  mengendalikan kekuasaan dan membuat berbagai ketetapan yang menyakiti hati umat dan mengoyak rasa keadilan. Inilah yang mengakibatkan negara kehilangan arah, sebab semakin jauh dari kebenaran.

Dalam pemerintahan ala sekularisme, sesuatu yang terang benderang membawa kerusakan, bisa saja dilegalkan, dan umat tidak bisa melakukan koreksi. Berbeda dengan sistem Islam, ada mahkamah mazholim yang akan mengurus pelanggaran yang dilakukan  penguasa.

Ketika Islam mengharamkan khamr, sebenarnya Allah sedang menjaga seluruh manusia, bukan kaum  muslim saja. Karena seseorang yang mabuk akan mengganggu dan bisa melakukan banyak kemungkaran. Pun tidak boleh ada kekhususan bagi kemaksiatan. Kebiasaan daerah atau masyarakat tertentu yang tidak melanggar Islam, boleh digunakan atas dasar Islam, bukan karena kearifan lokal atau budaya setempat.

Khamr adalah induk kejahatan dan termasuk dosa besar. Ini adalah perkara mujma di kalangan umat. Tidak ada satupun maslahat di dalam khamr. Orang yang meminum khamr bisa melakukan kejahatan atau dosa-dosa besar lainnya seperti zina atau pembunuhan, akibat lumpuhnya akal.

Dalam hal ini sangat besar peran negara untuk menjaga akal warganya. Salah satunya dengan melarang peredaran bahkan industri khamr. Kemudian menegakkan persanksian sebagaimana yang ditetapkan syariat. Sebab masyarakat yang lemah dan rusak akalnya, sulit diajak berpikir bangkit.

Karenanya agama adalah nasihat, bagi penguasa juga seluruh kaum muslim. Maka  kedudukan ulama harus selalu di atas penguasa, menjadi  harisuddin atau penjaga agama untuk  menyuarakan kebenaran dan menawarkan solusi Islam. Sebab hanya Islam sistem sahih yang mampu menjaga umat dari berbagai keburukan, serta menggiringnya ke arah kebangkitan. Allahumanshurnaa bil islaam.

 

* Pengemban dakwah dari Cirebon

____

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat menyampaikan opini dan pendapat yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Setiap Opini yang ditulis oleh penulis menjadi tanggung jawab penulis dan Radar Indonesia News terbebas dari segala macam bentuk tuntutan.

Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan dalam opini ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawab terhadap tulisan opini tersebut.

Sebagai upaya menegakkan independensi dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Redaksi Radar Indonesia News akan menayangkan hak jawab tersebut secara berimbang.

Comment