Memperbaiki Gizi di Tengah Sulitnya Ekonomi, Sebuah Dilema

Opini112 Views

 

Penilis: Hida Muliyana, SKM | Pemerhati Kesehatan Masyarakat

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Empat sehat lima sempurna, begitu yang biasa kita dengar agar terpenuhi kebutuhan gizi yang baik. Meski slogan itu telah diubah menjadi gizi seimbang. Namun, masalah utamanya masih saja sama, yakni keterbatasan ekonomi.

Beras adalah salah satu makanan pokok yang terdapat dalam menu gizi seimbang. Satu-satunya sumber karbohidrat yang diminati oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. Konon katanya kalau tidak makan nasi artinya tidak makan.

Sayangnya beras yang menjadi primadona masyarakat ini, semakin hari kian mahal. Sebagaimana yang dikutip dari CNBCIndonesia (14/10//2023), Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) menunjukkan harga beras pada Jumat (13/10/2023) tercatat Rp14.600 per kg. Harga setingggi itu belum pernah tercatat dalam PIHPSN.

Sepanjang tahun ini, harga beras sudah terbang 15,42%. Bila melihat pergerakan, harga beras juga sudah jauh melonjak bila dibandingkan dua tahun lalu.

Pemerintah sendiri berkeyakinan akan terus mengupayakan agar stok beras aman. Namun, anehnya masih akan melakukan impor. Hal ini tentu akan berpengaruh dengan harga beras di pasaran.

Sungguh dilematis, saat masyarakat saat ini dihadapkan dengan masalah ekonomi ternyata juga harus memperbaiki gizi anak negeri. Antara kemiskinan dan kemampuan untuk memenuhi gizi tentu saling berkaitan.

Meski stok beras aman sekali pun, jika rakyat tak mampu untuk membeli beras maka ketersediaan stok menjadi percuma. Karena hal utama dalam memperbaiki gizi adalah kemampuan untuk memperoleh bahan pangan.

Sedangkan bahan pangan yang mahal tidak hanya beras. Rakyat juga perlu membeli kebutuhan pangan yang lain seperti ayam, telur, buah, sayur dan sebagainya.

Kebutuhan masyarakat tidak hanya itu. Rakyat juga perlu membeli minyak goreng dan gas sebagai pendukung dalam mengolah makanan.

Pengeluaran biaya masyarakat tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi yakni pangan semata. Dalam sistem kapitalisme hari ini apa-apa serba duit. Rakyat sendirilah yang harus memenuhi kebutuhannya sendiri.

Negara yang mestinya dapat memberikan jaminan kesehatan, jaminan pendidikan, pangan, sandang dan papan rupanya tidak berperan sungguh-sungguh. Negara hanya sebagai regulator.

Dengan menjalankan sistem kapitalisme ini negara akan senantiasa tunduk pada korporasi. Menjadikan rakyat sebagai ladang bisnis. Keuntungan hanya akan disandarkan pada pihak swasta bahkan asing.

Maka wajarlah kemiskinan di negeri ini tak kunjung selesai. Akar masalahnya adalah sistem yang dijalankan pemerintah masih menggunakan kapitalisme. Padahal jelas bahwa sistem ini gagal mensejahterakan rakyatnya.

Berbeda halnya dengan sistem Islam. Negara yang menjalankan sistem ini akan menjamin kebutuhan rakyatnya. Negara bertanggungjawab penuh agar memenuhi hak rakyat termasuk urusan pangan.

Beras yang kini menjadi makanan pokok masyarakat akan menjadi perhatian negara. Negara akan berupaya mengamankan stok beras dalam negeri sendiri, dengan beberapa mekanisme.

Pertama kedaulatan pangan harus dimiliki oleh negara. Menurut paradigma Islam dalam hal politik pangan, negara tak serta merta memberikan solusi impor. Apalagi jika SDA dan SDM negara tersebut masih sangat bisa diupayakan untuk menghasilkan beras sendiri.

Kedua, negara tidak akan membiarkan adanya tanah pertanian yang tidak berfungsi selama tiga tahun. Juga melarang adanya praktik sewa lahan pertanian.

Semua tanah yang memiliki potensi untuk digarap menjadi lahan pertanian akan difungsikan. Baik itu diserahkan kepada yang mampu menggarap ataupun negara akan memberikan modal kepada pemilik tanah jika pemilik tanah tidak memiliki modal untuk bertani.

Ketiga negara yang akan mengontrol dan memastikan langsung pendistribusian hasil pangan sampai ke masyarakat.

Keempat, pengontrolan harga tidak ditentukan langsung oleh negara sebagaimana konsep HET saat ini. Harga beras akan dikembalikan pada mekanisme permintaan dan penawaran. Berkaitan dengan praktik penimbunan, penipuan, kartel, ribawi, dan sebagainya dipahami Islam sebagai praktik haram.

Sehingga semua praktik-praktik haram itu akan dilarang dan diawasi oleh negara. Serta akan diberi sanksi bagi yang melakukannya. Hal ini akan menstabilkan harga beras yang sewajarnya.

Demikianlah cara Islam mengurus pangan termasuk beras. Tak hanya mengurusi ketersediaan pangan tapi juga memberi solusi ekonomi di tengah himpitan dan kemiskinan saat ini. Wallahu a’lam bishawab. [SP]

Comment