Membuka Lembaran Baru Haruskah di Tahun Baru?

Opini243 Views

 

Penulis : Rizki Utami Handayani, S.ST | Pengajar di Ma’had Pengkaderan Da’i Cinta Quran Center

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Sebenarnya tidak ada yang berbeda pergantian tahun dengan pergantian bulan, minggu, bahkan hari seperti biasanya. Semua hanya soal berubahnya angka saja.

Bagi sebagian orang momentum perubahan tahun baru dirasa sebagai sesuatu yang spesial dan mesti dirayakan layaknya hari raya dengan pesta pora. Menyalakan petasan, lampu kerlap kerlip, meniup terompet, makan bersama hingga sampai berbuat kemaksiatan.

Sebagian lain memanfaatkan momentum pergantian tahun dengan bermunajat bermuhasabah secara pribadi atau bahkan secara berjamaah.

Dikutip dari laman www.rri.co.id bahwasannya pada awalnya, tahun Baru Masehi adalah perayaan bagi kaum pagan Romawi Kuno sebagai bagian dari festival Saturnalia. Festival ini diadakan untuk memperingati Dewa Saturnus sejak 17 Desember. Paus Gregorius XIII menetapkan 1 Januari sebagai tahun baru dalam kalender Masehi.

Perubahan ini juga sekaligus mengakhiri variasi dari penanggalan sebelumnya yang menyebabkan kebingungan dalam menentukan tanggal tahun baru. Sejak saat itu pula tanggal 1 Januari diperingati oleh banyak orang di seluruh dunia. Sehingga setidaknya telah berlangsung selama ratusan tahun.

Meski asal usulnya berkaitan dengan festival Pagan, perayaan ini kini lebih banyak diperingati sebagai momen untuk merayakan harapan baru dan kesempatan untuk memulai hal yang baru. Kemudian penanggalan ini kemudian diadopsi oleh Gereja pada abad ke-6 Masehi.

Asal-usul dari perayaan ini bermula dari penanggalan yang dibuat oleh bangsa Romawi kuno sekitar tahun 45 SM yang kemudian disempurnakan oleh Paus Gregorius XIII pada 1582. Penanggalan ini selanjutnya disebut penanggalan Gregorian.

Bagi umat Nasrani tahun baru adalah peringatan atas kelahiran Yesus. Sehingga perayaan Tahun Baru Masehi tidak hanya memiliki makna religius, tetapi juga melambangkan kesempatan untuk memulai hal-hal baru. Kalender gregorian yang dipakai oleh seluruh masyarakat dunia saat ini membuat perayaan tahun baru membuat setiap negara atau budaya memiliki tradisi dan cara tersendiri dalam merayakannya.

Namun secara umum tahun baru merupakan momen refleksi atas tahun lalu dan resolusi semangat di tahun yang baru. Sehingga kini tahun baru masehi kini telah menjadi perayaan sekuler yang dirayakan oleh semua orang. Perayaan tahun baru tidak lagi memandang latar belakang agama atau budaya.

Jika hendak dievaluasi ada efek-efek buruk yang terjadi akibat perayaan tahun baru ini yang melanggar hukum syariat, karena dalam ajaran Islam, kita tidak diperkenankan mengikuti kebiasan agama lain- tasyabbuh bilkuffar.

Tasyabbuh bisa dalam bentuk meniru gaya berpakaian, kebiasaan, perilaku, dan bahasa. Menurut KH.Shidiq Al-Jawi yang dinukil dari laman www.muslimahnews.net Berdasarkan manath (fakta hukum) tersebut, haram hukumnya seorang muslim ikut-ikutan merayakan Tahun Baru Masehi.

Dalil keharamannya ada 2 (dua). Pertama, dalil umum yang mengharamkan kaum muslimin menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al kuffaar). Kedua, dalil khusus yang mengharamkan kaum muslimin merayakan hari raya kaum kafir (tasyabbuh bi al kuffaar fi a’yaadihim).

Dalil umum yang mengharamkan menyerupai kaum kafir antara lain firman Allah Swt.,

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنْ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنْ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنْ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).’ Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 104).

Ayat ini dengan jelas melarang kaum muslimin mengikuti agama mereka (orang Yahudi dan Nasrani), atau dengan kata lain, melarang kaum muslimin menyerupai orang-orang kafir (tasyabbuh bi al kuffaar). Sebagai seorang muslim, membuat resolusi atau membuka lembaran baru tidaklah selalu harus menunggu tahun baru sebagai momentum.

Muhasabah dan perbaikan bahkan perlu dilakukan saat dibutuhkan. Lagipula kaum muslimin memiliki Muharam sebagai awal bulan baru di tahun hijriyah, yang menjadi tonggak baru tahun baru Islam.

Islam adalah agama yang khas, memiliki peradaban yang khas pula, juga memiliki hari raya yang memang telah disyariatkan untuk kita rayakan, dan peringatan-peringatan hari raya besar umat Islam yang memang udah selayaknya dijadikan momentum muhasabah bagi kaum muslimin, seperti peringatan Maulid Nabi dan Peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

Sangatlah ironis, di tengah-tengah persoalan kaum muslimin di Gaza yang masih membara. Justru banyak kaum muslimin yang terlena dalam euforia Happy New Year. Suara, tenaga dan perhatian yang seharusnya membela sepenuh hati, berempati namun nyatanya itu semua tidak terjadi.

Padahal di saat yang sama terjadi pengusiran pengungsi Rohingya oleh mahasiswa di Aceh, menyisakan trauma dan ketakutan. Kaum muslimin Uyghur di Xinjiang China sulit menjalankan ibadah seperti sholat, puasa dan makan makanan halal. Betapa banyak masjid yang dihancurkan. Simbol-simbol Islam seperti kubah, minaret, bahkan belajar bahasa Arab dilarang.

Umat Islam ibarat satu tubuh. Namun di pergantian tahun ini nampak nyata paradoks kaum muslim dalam bersikap. Pesta kembang api di tengah berkecamuknya perang di Gaza, jumlah korban perang meningkat dan penderitaaan muslim Rohingya, ketidakpedulian terhadap kaum muslimin di Uyghur adalah satu bentuk lemahnya nilai nilai ruhiyah kaum muslim terhadap urusan umat.

Di sisi lain, seiring waktu, sikap umat mulai kendur menyuarakan pembelaan terhadap palestina, juga pemboikotan produk mulai melonggar. Umat terpecah dalam menyikapi muslim Rohingya. Apalagi makin kuatnya pembungkaman oleh Meta pada akun yang menunjukkan pembelaan terhadap Palestina.

Ini lah buah nasionalisme yang memupus ukhuwah. Kaum muslim harus menyadari bahwan Umat Islam adalah satu tubuh, sehingga wajib menunjukkan pembelan, empati, pertolongan dan sikap yang nyata.

Persatuan kaum muslimin, rasa satu tubuh dan ukhuwah Islamiyah perlu dimulai dari kesadaran yang benar, bukan hanya dari perasaan semata. Kesadaran bahwa seharusnya kepedulian terhadap sesama kaum muslimin itu adalah sebuah keharusan yang perlu diimplementasikan.

Sikap yang lahir dari akidah sebagai seorang muslim, sikap empati, sikap tepa selira, sikap kepedulian bukan hanya muncul dari rasa iba. Maka dari itu penting sebagai seorang muslim memahami bagaimana seharusnya berpikir dan bersikap yang benar terhadap persoalan kaum muslimin.

Jika kita menilik sejarah, dulu kaum muslimin disatukan oleh kepemimpinan adidaya Kekhilafahan Islam yang membentang hingga dua pertiga bagian dunia, mulai dari kepemimpian Rasulullah SAW di Madinah hingga Kekhilafahan Usmaniyah di Istambul Turki yang diruntuhkan oleh musuh-musuh Islam di bawah konspirasi Kemal Attaturk di tahun 1924.

Selama kurun waktu yang panjang itu (13 abad)  pernah ada sebuah peradaban yang terdiri dari berbagai macam ras bahkan agama yang berbeda tapi bisa hidup berdampingan.

Semoga slogan rahmat bagi seluruh alam segera terwujud dengan kembalinya kesadaran bahwa Islamlah satu-satunya yang menjadi harapan untuk peradaban manusia yang lebih baik. Wallahu’alam bishowab.[]

Comment