Oleh: Despry Nur Annisa Ahmad, ST., M.Sc*
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan ±17.508 pulau, garis pantai sepanjang ± 81.000 Km, lautan seluas ± 5.800.000 Km2, dan jumlah penduduk di peringkat ke-4 dunia, ± 270 juta jiwa.
Berdasarkan data tersebut, Indonesia kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM).
Sumber Daya Alamnya meliputi gas alam cair 35% dunia, minyak bumi 85% ASEAN, emas No.4 dunia, 550 spesies mamalia, dan lain sebagainya (Santosa, 2016).
Selain kekayaan SDA dan ketersediaan SDM yang melimpah, Indonesia juga berada dalam posisi ring of fire (cincin api) dunia yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Indo Australia.
Keberadaan lempeng tektonik ini juga dibarengi dengan munculnya titik-titik gunung api. Dengan posisi ini menjadikan Indonesia termasuk wilayah yang secara alamiah rawan terhadap bencana.
Berdasarkan kondisi geomorfologi, Indonesia memiliki bentuk lahan yang kompleks meliputi vulkanik, fluvial, aeolin, marin, solusional, struktural, denudasional, glasial (yang hanya terdapat pada puncak Gunung Jayawijaya Papua), organik, dan antropogenik.
Kontur lahan ini terbentuk dari tenaga endogen maupun eksogen yang menghasilkan formasi geologi (batuan) yang masing-masing memiliki potensi kebencanaan yang berbeda. Tatanan geomorfologi Indonesia yang beragam menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan yang hidup berdampingan dengan bencana alam.
Definisi bencana sendiri menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Tren kejadian bencana di Indonesia sepanjang 2009-2019 meliputi bencana banjir, longsor, dan puting beliung. Ketiga bencana ini merupakan bencana hidrometeorologi.
Data tersebut menunjukkan bahwa bencana hidrometeorologi masih dominan terjadi jika dibandingkan bencana geologi.
Memasuki awal 2021, negeri tercinta ini diuji dengan duka kebencanaan. Mulai dari banjir dan longsor di Manado, banjir di Kalimantan Selatan, gempabumi di Sulawesi Barat, kejadian longsor di Sumedang Jawa Barat, hingga bencana angin puting beliung di berbagai lokasi.
Banyak korban jiwa berjatuhan ketika dihantam oleh bencana karena secara teknis, tata ruang wilayah setempat kebanyakan belum berbasis dengan kajian mitigasi bencana yang kompleks. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang sudah memuat himbauan agar tata ruang suatu wilayah haruslah disertai dengan kajian mitigasi bencana.
Jika ditelisik lebih jauh lagi per jenis bencananya, terdapat permasalahan teknis dan ideologis yang terjadi. Misalnya pada kasus banjir di Kalimantan Selatan.
Secara kondisi hidrologis, Pulau Kalimantan dilalui oleh beragam aliran sungai. Proses geomorfologi di Pulau Kalimantan secara dominan terbentuk dari lahan proses fluvial yang membentuk dataran alluvial. Secara hazard kebencanaan, dataran alluvial dengan aliran sungai yang hampir tersebar merata, memiliki potensi bencana banjir secara alami.
Ini adalah ranah teknisnya. Ranah ideologisnya ada pada kebijakan politik yang mengatur tentang mitigasi bencana di lokasi tersebut.
Pada realitasya, kebijakan politik mitigasi di Kalimantan Selatan justru tidak serius dalam menciptakan ruang yang aman terhadap bencana. Hal tersebut dapat dijustifikasi berdasarkan pernyataan KLHK (2021) yang menyatakan bahwa terjadi penurunan luas hutan alam di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito di Kalimantan Selatan mencapai 62,8% selama periode 1990-2019.
Penurunan terbesar terjadi pada tahun 1990-2000 sebanyak 55,5%. Sebelumnya, tim tanggap darurat bencana di LAPAN menyebut penyebab banjir terbesar itu adalah berkurangnya hutan primer dan sekunder dalam 10 tahun terakhir di keseluruhan provinsi tersebut.
Data versi WALHI juga menyebutkan, dari 3,7 juta hektar total luas lahan di Kalimantan Selatan, nyaris 50% di antaranya sudah dikuasai oleh perizinan tambang dan kelapa sawit. Ditambah wilayah permukiman (yang rumah-rumahnya bukan lagi rumah panggung) dan berbagai fasilitas umum, semua itu mengurangi tutupan lahan di Kalimantan Selatan.
Data-data ini menunjukkan bahwa pemerintah masih terbilang kurang serius dalam membangun wilayah Kalimantan Selatan berbasis mitigasi bencana. Seandainya pemerintah serius dalam membangun wilayah berbasis mitigasi bencana, maka tentu tidak akan memberikan perizinan untuk alih fungsi guna lahan hutan menjadi kawasan tambang dan kelapa sawit.
Karena secara ilmiah, area hulu DAS merupakan tempat yang digunakan untuk menyimpan air hujan, area tengah DAS berfungsi sebagai tempat untuk penampungan hingga pengaliran air ke muara di area hilir DAS.
Begitupun ketika kita berbicara terkait bencana geologi seperti gempabumi. Secara teknis, database terkait peta geologi maupun peta geomorfologi skala detail belum tersedia dan ini dipikirkan secara maksimal. Padahal, inilah yang justru lebih urgent disediakan karena pembuatan rencana tata ruang suatu wilayah yang resisten terhadap bencana harus berbasis pada geomorfologi maupun geologi wilayah tersebut. Bukan menjadikan kajian aspek geologi maupun aspek geomorfologi sebagai data penunjang.
Valeda, dkk (2016) membuktikan dalam penelitiannya bahwa keberadaan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTWR) belum efektif dalam mereduksi bencana. Kemudian Muta’ali (2014) membahas lebih lanjut bahwa keberadaan Rencana Tata Ruang Wilayah masih dinilai belum efektif dalam mereduksi bencana karena deliniasi atau penetapan batas kawasan rawan bencananya kurang memiliki indikator penetapan kawasan rawan bencana yang tepat.
Kebanyakan produk tata ruang dalam melakukan justifikasi kawasan rawan bencana hanya berdasar kondisi eksisting. Padahal idealnya, kajian bencana dan upaya pengurangan risikonya itu butuh kajian ilmiah yang mendalam juga.
Selain itu, alasan lain dari tidak terselenggaranya produk tata ruang yang berbasis mitigasi bencana karena sejauh ini produk RTRW seringkali berorientasi pada nilai ekonomi yang sifatnya jangka pendek. Hal ini yang kemudian menjadikan level pemerintahan selaku pemangku kebijakan tidak lagi melihat kemampuan lahannya terhadap bencana seperti apa. Padahal menjaga kelestarian lingkungan itu adalah investasi terbaik dan sifatnya jangka panjang.
Hal ini sejalan dengan apa yang telah disampaikan oleh Mardiatno (2014) selaku Kepala Pusat Studi Bencana Alam di Universitas Gadjah Mada pernah beropini dalam Kompas, 16 Juni 2014. Beliau menyatakan bahwa, “Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) seharusnya bisa menjadi kendali untuk mengurangi dampak bencana, apabila dalam pelaksanaannya memperhitungkan kajian-kajian tentang risiko.
Masalahnya, RTRW kebanyakan hanya berorientasi ekonomi. Bahkan, sejumlah infrastruktur baru, misalnya Bandara Yogyakarta juga dibangun di daerah rentan gempa dan tsunami, selain juga banjir”.
Terjadinya tumpang tindih kebijakan teknis ini terjadi karena orientasi pembangunan hari ini memang masih dititikberatkan pada orientasi ekonomi. Bahkan bisa dikatakan, demi investasi, nyawa rakyat hampir sering menjadi taruhannya.
Sebenarnya investasi itu tidak mutlak salah. Namun jika hasil dari pola kegiatan investasi itu menyengsarakan rakyat secara dominan, maka tentu ini perlu dievaluasi. Karena bagaimanapun, fungsi pemerintah itu adalah memberikan pelayanan dalam hal keamanan, kenyamanan, produktivitas, dan keberlanjutan kehidupan rakyat.
Sebagaimana dijabarkan dengan jelas pada tujuan penataan ruang dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007. Berdasarkan hal ini, maka seyogyanyalah pemerintah selaku elemen yang paling memiliki andil untuk melahirkan keputusan politik mitigasi bencana agar lebih serius lagi dalam mempersiapkan wilayah-wilayah di negeri ini agar tangguh terhadap bencana.
Pemerintah juga harus lebih matang dan teliti lagi dalam memberikan perizinan terkait pemanfaatan lahan.
Mitigasi bencana menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Mitigasi bencana merupakan suatu aktivitas yang berperan sebagai tindakan pengurangan dampak bencana, atau usaha-usaha yang dilakukan untuk megurangi korban ketika bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta.
Langkah awal yang dapat dilakukan ialah melakukan kajian risiko bencana terhadap kawasan tersebut. Jika ingin menghitung risiko bencana suatu wilayah, perlu dikaji terlebih dahulu terkait tingkat bahaya (hazard), tingkat kerentanan (vulnerability) dan tingkat kapasitas (capacity) per masing-masing jenis bencana suatu wilayah.
Karena tiap jenis bencana, punya parameter hazard yang berbeda. Semakin banyak parameter yang terukur, maka semakin tinggi pula tingkat akurasinya.
Hasil dari pemetaan risiko bencana ini bisa dijadikan acuan dalam penentuan titik lokasi untuk pemasangan early warning system (sistem peringatan dini), jalur evakuasi, tempat evakuasi sementara, dan pembentukan tim-tim SAR.
Setelah itu, dilakukanlah sosialisasi masif untuk mempersiapkan masyarakat yang tangguh terhadap bencana. Jangan sampai terjadi hasil kajian diperbanyak namun minim dalam proses sosialisasi.
Rangkaian kegiatan seperti ini seharusnya dipersiapkan sejak pra-bencana itu sendiri. Sehingga pada saat terjadi bencana, jumlah korban akibat bencana bisa minimalisir. Sehingga pada saat terjadi bencana, masyarakat sudah punya referensi untuk menyelamatkan diri sesuai mekanisme yang telah disosialisasikan.
Kurang lebih, inilah gambaran singkat bagaimana proses mekanisme penanggulangan bencana itu.
Sebenarnya jika kita mau berkaca pada peradaban islam dulu, rangkaian kegiatan penanggulangan bencana yang ideal ini telah dicontohkan. An Nawiy (2018) memaparkan bahwa manajemen bencana model Islam tegak di atas aqidah Islamiyah.
Prinsip-prinsip pengaturannya didasarkan pada syariat Islam, ditujukan untuk kemashlahatan rakyat, sehingga kebijakan teknis di lapangan tidak tumpang tindih.
Manajemen bencana dalam Islami meliputi penanganan pra bencana, ketika, dan sesudah bencana.
Penanggulangan pra bencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mencegah penduduk dari bencana. Kegiatan ini meliputi pembangunan sarana-sarana fisik untuk mencegah bencana, seperti pembangunan kanal, bendungan, pemecah ombak, tanggul, dan lain sebagainya.
Reboisasi (penanaman kembali), pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan, relokasi, tata kota yang berbasis pada amdal, memelihara kebersihan lingkungan, dan lain-lain.
Kegiatan lain yang tidak kalah penting adalah membangun mindset dan kepedulian masyarakat, agar mereka memiliki persepsi yang benar terhadap bencana; dan agar mereka memiliki perhatian terhadap lingkungan hidup, peka terhadap bencana, dan mampu melakukan tindakan-tindakan yang benar ketika dan sesudah bencana.
Untuk merealisasikan hal ini, khalifah akan melakukan edukasi terus-menerus, khususnya warga negara yang bertempat tinggal di daerah-daerah rawan bencana alam; seperti lereng gunung berapi, pinggir sungai, laut dan lokasi rawan lainnya.
Edukasi meliputi pembentukan dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap penjagaan dan perlindungan lingkungan serta peningkatan pengetahuan mereka terhadap penanganan ketika dan pasca bencana.
Harapannya, masyarakat terbiasa peduli terhadap lingkungan dan mengetahui bagaimana cara mengantisipasi, menangani bencana, dan me-recovery lingkungan yang rusak akibat bencana agar kembali berfungsi, normal seperti semula.
Mitigasi bencana dalam Islam juga membentuk tim-tim SAR yang memiliki kemampuan teknis dan non teknis dalam menangani bencana. Tim ini dibentuk secara khusus dan dibekali dengan kemampuan dan peralatan yang canggih–seperti alat telekomunikasi, alat berat, serta alat-alat evakuasi korban bencana, dan lain-lain, sehingga mereka selalu siap sedia (ready for use) diterjunkan di daerah-daerah bencana.
Tim ini juga bergerak secara aktif melakukan edukasi terus-menerus kepada masyarakat, hingga masyarakat memiliki kemampuan untuk mengantisipasi, menangani, dan me-recovery diri dari bencana.
Serangkaian upaya manajemen penanggulangan tersebut telah dicontohkan pada saat terjadinya bencana paceklik yang menimpa Jazirah Arab di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu.
Pada saat itu, orang-orang mendatangi Kota Madinah sebagai pusat pemerintahan untuk meminta bantuan pangan. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu segera membentuk tim yang terdiri dari beberapa orang sahabat, seperti Yazid bin Ukhtinnamur, Abdurrahman bin al-Qari, Miswar bin Makhramah, dan Abdullah bin Uthbah bin Mas’ud radhiyallahu anhu.
Setiap hari, keempat orang sahabat yang mulia ini melaporkan seluruh kegiatan mereka kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu, sekaligus merancang apa yang akan dilakukan besok harinya. Umar bin Khaththab ra menempatkan mereka di perbatasan Kota Madinah dan memerintahkan mereka untuk menghitung orang-orang yang memasuki Kota Madinah.
Jumlah pengungsi yang mereka catat jumlahnya terus meningkat. Pada suatu hari, jumlah orang yang makan di rumah Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berjumlah 10 ribu orang, sedangkan orang yang tidak hadir di rumahnya, diperkirakan berjumlah 50 ribu orang.
Pengungsi-pengungsi itu tinggal di Kota Madinah selama musim paceklik. Selama itu pula mereka mendapatkan pelayanan yang terbaik dari Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu.
Setelah musim paceklik berakhir, Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu memerintahkan agar pengungsi-pengungsi itu diantarkan kembali ke kampung halaman masing-masing. Setiap pengungsi dan keluarganya dibekali dengan bahan makanan dan akomodasi lainnya, sehingga mereka kembali ke kampung halaman dengan tenang dan penuh kegembiraan.
Manajemen bencana tersebut disusun karena dorongan aqidah islam untuk melaksanakan syariah “wajibnya seorang Khalifah melakukan ri’ayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya”.
Jikalau pemimpin negeri saat ini juga menggunakan prinsip Islam dalam hal memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, tentunya pemimpin hari ini tidak begitu menyepelekan kajian kemampuan lahan, penyediaan peta geologi dan peta geomorfologi dalam skala detail untuk dokumen tata ruang dan serius dalam mengimplementasikan hasil kajian teknis tersebut.
Ekonomi juga bukan dijadikan basis orientasi pembangunan. Ridho Allah-lah yang menjadi basis pembangunan yang dilaksanakan agar di bawah kekuasaannya, rakyat tidak mengalami penderitaan. Sebagaimana dalam QS Al Maidah Ayat 32, Allah SWT dengan terang berfirman:
“…Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.”
Jadi mempersiapkan wilayah atau bahkan negara yang tangguh terhadap bencana itu juga merupakan perintah syariatNya. Memang benar, bahwa bencana gempa bumi, tsunami, banjir, ataupun bencana lainnya merupakan musibah dan Qadha Allah.
Kita sebagai manusia normal tidak memiliki ilmu gaib yang bisa memprediksi kapan terjadinya. Namun, terdapat area ikhtiar kita sebagai manusia dalam melakukan upaya pengurangan risiko bencana.
Realitas secara objektif menunjukkan bahwa pembangunan-pembangunan atau dokumen tata ruang yang ada kebanyakan memang belum berbasis pada kajian resiko bencana. Sehingga, menjadi tanggung jawab pemerintah pusatlah yang seharusnya menghadirkan Ruh Ilahi (Semangat ketuhanan) dalam menciptakan ruang yang aman, nyaman produktif dan berkelanjutan bagi masyarakatnya.
Karena bagaimanapun, segala kebijakan sektoral pasti lahir dari arahan pemerintah pusat. Hanya pemimpin yang memiliki kesadaran aqidah islam yang mengkristal-lah, yang pasti akan menerapkan jaring-jaring syariah secara sempurna dan paripurna. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al-A’raf: 96).[]
*Founder Panrita Studio
Referensi
Referensi:
Santosa, Langgeng Wahyu. 2016. Ekosistem Daerah Aliran Sungai dan Pesisir.
Materi Kuliah Magister Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai. Program S2 Geografi. Program Pascasarjana, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada.
Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Valeda, Hogi Prima., Bakti Setiawan, Djati Mardiatno. 2016. Evaluasi Efektifitas Rencana Tata Ruang Dalam Mengurangi Risiko Kekeringan Di Kawasan Karst Dengan Analisis Berbasis Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus: Rencana Tata Ruang Kawasan Koridor Yogyakarta-Sadeng).
Majalah Geografi Indonesia. MGI Vo. 30, No. 1 2016
Muta’ali, Lutfi. 2014. Perencanaan Pengembangan Wilayah Berbasis Pengurangan Risiko Bencana. Yogyakarta: Graha Ilmu
An Nawiy, Syamsuddin Ramadhan. 2018. Manajemen Bencana Model Khilafah Islamiyyah. Diakses online melalui https://www.muslimahnews.com/2018/08/27/manajemen-bencana-model-khilafah-islamiyyah/
_____
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat menyampaikan opini dan pendapat yang dituangkan dalam bentuk tulisan.
Setiap Opini yang ditulis oleh penulis menjadi tanggung jawab penulis dan Radar Indonesia News terbebas dari segala macam bentuk tuntutan.
Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan dalam opini ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawab terhadap tulisan opini tersebut.
Sebagai upaya menegakkan independensi dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Redaksi Radar Indonesia News akan menayangkan hak jawab tersebut secara berimbang
Comment