Memaknai Toleransi di Balik Kunjungan Paus ke Indonesia

Berita388 Views

 

Penulis: Tia Ummu Balqis | Ibu Pembelajar

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Kunjungan Paus Fransiskus, Pemimpin Gereja Katolik Dunia sekaligus Kepala Negara Vatikan telah menjadi polemik bagi masyarakat muslim di Indonesia.

Polemik itu berawal dari surat yang dilayangkan oleh panitia kunjungan Paus Fransiskus terkait permohonan dukungan kunjungan Paus Fransiskus di Indonesia 3-6 September 2024. Kemudian kementerian Agama menindaklanjutinya.

Dilansir dari Nawacita.com (04/09/2023), Kementerian Agama (Kemenag) telah mengeluarkan surat permohonan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terkait penyiaran Adzan Magrib dan Misa Akbar bersama Paus Fransiskus pada tanggal 5 September 2024.

Surat ini ditandatangani oleh Dirjen Bimas Islam Kamaruddin Amin dan Dirjen Bimas Katolik Suparman dan merupakan respons atas permintaan Panitia Kedatangan Paus Fransiskus”.

Surat yang ditandatangani oleh Dirjen Bimas Islam dan Katolik itu di antaranya berisi:

Pertama, saran agar Misa bersama Paus Fransiskus pada Kamis 5 September 2024 disiarkan secara langsung pada pukul 17.00–19.00 WIB di seluruh televisi nasional.

Kedua, agar penanda waktu maghrib di televisi nasional cukup ditunjukkan dalam bentuk running text (bukan kumandang azan seperti biasanya). Dengan itu misa bisa diikuti secara utuh oleh umat Katolik di Indonesia.

Selain itu, ada juga agenda pembacaan Injil dan al-Quran untuk menyambut Paus di Masjid Istiqlal Jakarta. Bersama Paus Fransiskus juga dilakukan penandatanganan dokumen kemanusiaan dengan tujuan untuk menguatkan opini seputar toleransi umat beragama di negeri ini.

Sangat disayangkan, banyak kaum muslimin yang tidak menyadari bahaya ini. Bahkan, kedatangan Paus disambut dengan penuh euforia dengan wajah toleransi kebablasan.

Padahal sejatinya, kunjungan Paus tidak dapat dikatakan sebagai kunjungan biasa. Ada misi politik global yang ingin dicapai dalam kunjungan ini, khususnya soal toleransi.

Hal ini bisa dilihat dari berbagai statement Paus, misalnya soal definisi politik adalah bukan perang tapi kasih sayang, kekayaan Indonesia bukan tambang emas tapi harmonisasi, dll.

Islam bukan sebuah ajaran ecek-ecek yang tidak mengenal toleransi beragama. Islam sangat jelas dalam hal ini. Toleransi yang dimaksud dalam Islam adalah membiarkan dan tidak menggangu ibadah dan kepercayaan agama lain. Toleransi sebuah keniscayaan tapi tidak berarti menggadai akidah agama sendiri.

Ketahuilah bahwa toleransi ini sudah dipraktikkan sejak negara Islam pertama berdiri di Madinah Al Munawwarah hingga berakhir kekhilafahan Utsmaniyah.

Saat itu, tiga agama besar (Islam, Yahudi, Nasrani) hidup berdampingan. Fasilitas ibadah kaum Nasrani dan Yahudi disediakan oleh negara Islam. Tidak ada paksaan yang dilakukan negara kepada Yahudi dan Nasrani untuk memeluk agama Islam.

Kesejahteraan masyarakat Yahudi dan Nasrani saat itu juga dijamin penuh, seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dll. Toleransi tersebut masih dan akan terus berjalan hingga akhir zaman.

Hal ini berbanding terbalik dengan toleransi yang berkembang dan terjadi saat ini. Seperti paham Sinkretisme (mencampuradukkan semua agama), pluralisme (semua agama sama), humanisme (menghilangkan peran agama dalam kehidupan). Semua pemahaman ini tidak paralel dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam islam.

Islam tidak membenarkan – mencampur-aduk semua agama. Islam telah menjelaskan mana yang haq dan batil. Allah SWT telah menegaskan bahwa hanya Islam agama yang benar dan harus disampaikan kepada seluruh umat manusia tanpa paksaan.

Islam selalu mengikat umatnya dalam seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu, umat harus mewaspadai paham-paham yang bertentangan dengan islam.

Umat Islam sudah semestinya bersikap kritis dengan memahami makna toleransi yang benar sesuai ajaran islam itu sendiri. Bukan toleransi kebablasan yang dapat membahayakan dan merusak aqidah. Wallahu ‘alam.[]

Comment