Meitha, Kesadaran Usia, dan Cinta Kepada-Nya

Sastra158 Views

 

 

Penulis : Anto Narasoma | Penyair

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — MENULIS puisi tak sekadar mengangkat ide dan gagasan. Namun bagaimana upaya agar larik-larik puisi dapat disajikan sebagai karya yang mampu mengungkap isi secara estetika.

Memahami puisi yang ditulis penyair Meitha KH bertajuk Puisi Hari Lahir dilandasi keraguan yang begitu kental dirasakan penulisnya.

Sebab dari nilai feel (rasa) yang diungkapnya, terdapat pendekatan kejiwaaan dan pendekatan falsafah. Sudah tentu, dikotomi semacam ini menjelaskan “keraguan” estetis, apakah aku (lirik) masih mampu menerjemahkan rasa dari sisi hakikat dan metode?

Menurut IA Richard, setiap puisi harus memiliki satu pokok persoalan yang harus dikemukakan. Meski isi dan gagasan itu tersembunyi nilai keragu-raguan, isi puisi di dalam kalimatnya harus tersampaikan secara utuh.

Coba kita perhatikan tampilan puisi yang ia tulis dengan segenap rasa.

PUISI HARI LAHIR

Puisi Meitha KH

Aku kembali menulis puisi
Setelah raga dihantam usia
Terombang-ambing dalam lautan kehidupan

Aku kembali menulis puisi
Setelah reda dari euforia percintaan
Lelah mengumpulkan pasir kenangan
Surut di tepi pantai kesunyian

Aku kembali menulis puisi
Ketika nama-Mu menjadi angin
Ketika salatku bukan dari rasa ingin

Ya Allah ya Karim
Mengapa mengingat-Mu
Tidak melebihi ingatanku kepadanya

*Sukabumi, 2024*
———–

Bisa jadi Meitha sudah lama tak menulis puisi, tapi dari pengalamannya sebagai penyair, ia tetap konsisten menyajikan hasrat imajinasinya secara intensif (tujuan puisi)

Bagi sastrawan Korrie Layun Rampan, keragu-raguan dalam hal penyajian isi puisi adalah hal yang wajar. Siapa saja, apabila mengawali karyanya, ada sisi keraguan, meski persentasenya akan mewarnai dirinya.

Hanya saja, secara tematis, setiap penyair harus berusaha mengabaikan keraguannya untuk memahami dan menjelaskan kemungkinan warga pribadinya yang perlu dimunculkan.

Seperti pada bait awal Puisi Hari Lahir ini menjelaskan, …_Aku kembali menulis puisi//Setelah raga dihantam usia//Terombang-ambing dalam lautan kehidupan..

Jika ditelisik, keinginan penyair begitu kuat untuk mengungkap ide dan gagasannya di dalam puisi ini. _Aku kembali menulis puisi_…

Dari semangat awalnya begitu percaya diri meski dihinggapi “keraguan” apakah penyair mampu melukiskan isi puisinya sebagai tujuan bagi pembaca?

Memang, setelah lama Meitha KH tak menulis puisi, namun pada akhirnya tanpa ragu ia menulis._Aku kembali menulis puisi_.

Dari kalimat awal, si Aku (lirik) memperlihatkan kemampuannya menjelaskan secara estetik. Namun di kalimat kedua, penyair menjelaskan kematangan usianya.._Setelah raga dihantam usia_. Tentu saja, ini menekankan secara pribadi bahwa di usia matang inilah ia menepiskan segala keraguan hatinya tentang bagus atau tidaknya puisi yang ia tulis.

Justru setelah banyak mengenyam pengalaman hidup, ia berusaha sekuatnya menampilkan.warna pribadinya.

Seperti yang dikemukakan Sapardi Djoko Damono, puisi itu merupakan terjemahan sikap pribadi ketika mengalami berbagai persoalan. Karena itu Meitha KH menjelaskan sikapnya yang teguh setelah ._Terombang-ambing dalam lautan kehidupan_

Bahkan dalam gelutan pengalaman hidupnya, penyair menyadari tunrunnya frakuensi percintaan (.._Setelah reda dari euforia percintaan_) setelah usianya melampui garis batas.

Dalam stilistis puitika, penyair berusaha memahami dirinya (sudah berumur matang) untuk menjelaskan lapis arti dengan gaya bahasa yang Meitha tampilkan.

Karena itu tampaknya Meitha melakukan teori dikotomi yang memandang puisinya dari sudut bentuk dan isi. Bentuk reliji (Allah), bentuk rasa (percintaan), dan bentuk suasana, mengitari corak ide dan gagasan awalnya.

Dari bait ketiga dan terakhir (bait keempat), penyair begitu khusuk menjelaskan tentang kecintaannya kepada Allah SWT (.._Ketika nama-Mu menjadi angin//Ketika salatku bukan dari rasa ingin_).

Pengucapan salat yang ia paparkan itu bukan hanya bentuk keinginan semata, tapi hakikat nalurinya yang menyungkurkan dahinya sebagai hamba.

Meski corak *Puisi Hari Lahir* bulan puisi keagamaan (religi) namun penyair Polandia Roman Ingarden menyatakan bahwa hakikat keyakinan di dalam diri seseorang akan meletup ke luar, memperlihatkan bentuk _feel of human_ lewat karya tulisnya.

Jujur saja, meski jiwanya sudah “tidak” memanjakan ikhwal percintaan (kalimat kedua bait dua : _Setelah reda dari euforia percintaan_) namun ingatannya bagi seseorang (laki-laki) tidak melebihi ingatan kepada Tuhannya (kalimat terakhir : _Tidak melebihi ingatanku kepadanya_).

Kalimat ini bentuk harga diri yang sulit melupakan seseorang (barangkali yang dicintainya), meski ia juga sangat dekat kepada Allah (_Ya Allah ya Karim//Mengapa mengingat-Mu//Tidak melebihi ingatanku kepada_).

Memang, ketika kita sudah terbelenggu dengan masalah cinta, tentu sulit untuk melupakan (“kekasih”) yang kita cintai, walaupun kita juga dekat kepada-Nya.

Puisi ini sangat memaparkan tentang kreativitas, kesadaran tentang kematangan usia, serta cinta kepada Allah SWT dan seorang yang menjadi kenangan abadi. (*)

*Palembang*
17 Agustus 2024

Comment