RADARINDONWSIANEWS.COM, JAKARTA – Omnibus law kini ramai dibicarakan masyarakat, salah satunya terkait rencana penghapusan kewajiban sertifikasi halal. Aturan ini tercantum dalam Pasal 552 RUU Cipta Lapangan Kerja yang akan menghapus pasal 4, 29, 42, dan 44 UU Jaminan Halal.
Terlepas dari aturan sertifikasi, konsumsi sesuatu yang halal adalah wajib bagi seorang muslim. Halal juga meliputi cara dan proses sebelum mengkonsumsi suatu materi, serta berbagai aspek dalam kehidupan seseorang yang beragama Islam.
Draf Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja menghapus kewajiban makanan harus bersertifikat halal. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bicara mengenai politik dan ekonomi yang tak boleh bertentangan dengan ajaran agama.
“Di dalam Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 dikatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini artinya apa saja yang kita lakukan dan kebijakan apa saja yang kita buat apakah itu dalam bidang politik dan atau ekonomi dia tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama dan bahkan ia harus mendukung bagi tegaknya ajaran agama itu sendiri, terutama agama Islam yang merupakan agama mayoritas dari penduduk di negeri ini (87,17%),” kata Sekjen MUI Anwar Abbas kepada wartawan, Selasa (21/1/2020).
Majelis Ulama Indonesia seperti dilansir tempo.co, menyatakan Indonesia tidak mempersoalkan jika nantinya dalam Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Penciptaan Lapangan Kerja tak lagi mewajibkan sertifikasi halal (mandatory) atau sifatnya menjadi sukarela (voluntary).
“Kami posisinya, skema apapun itu siap. Skema mandatory kita siap dan skema voluntary, ya, sekarang kita sudah jalankan,” kata Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim di Gedung MUI Pusat, Jakarta, Selasa, 21 Januari 2020.
Pernyataan Lukmanul menanggapi beredarnya draf Omnibus Law yang pada pasal 552 menyebutkan bahwa sejumlah pasal dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dicabut dan dinyatakan tak berlaku. Sejumlah pasal yang dimaksud adalah: pasal 4, pasal 29, pasal 44, dan pasal 42.
“Kalau skema mandatory, berarti kesempurnaannya dan kalau voluntary berarti tidak sesempurna yang kita harapkan,” kata Lukmanul.
Ia pribadi menyebutkan mandatory sertifikasi halal lebih memperkuat jaminan produk halal dalam negeri ketimbang sertifikasi jika dijadikan sifatnya sukarela.
Rencana penghapusan kewajiban makanan harus bersertifikat halal menandakan ketidak hadiran negara. Ini dianggap tidak baik bagi hubungan pemerintah dengan rakyat.
Maka tentu hal ini akan menyeret dan akan menimbulkan ketegangan hubungan antara rakyat dalam hal ini umat Islam dengan pemerintah dan itu jelas tidak baik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini ke depannya.
Oleh karena itu, mengembangkan pemikiran untuk menghapus sertifikat halal dalam kehidupan ekonomi dan bisnis, ini tentu jelas-jelas akan sangat potensial untuk memancing kekeruhan dan kegaduhan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dari semakin bebasnya barang-barang dan produk seperti makanan, minuman, dan berbagai hal lainnya yang memiliki status haram masuk kedalam indonesia, karena ini jelas-jelas mengabaikan dan tidak lagi menghormati kepentingan umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas di negeri ini.
Kita mengetahui bahwa di sistem sekarang ketika kewajiban sertifikasi halal dengan sejumlah pasal dan undang-undang tentang jaminan produk halal ada dan diterapkanpun masih banyak barang-barang seperti makanan, minuman, dan berbagai hal yang memiliki status haram beredar di masyarakat khususnya umat muslim.
Terlebih lagi ketika sertifikasi halal dan sejumlah pasal dan undang-undang tentang jaminan produk halal ini di cabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Halal dalam bahasa Arab dijelaskan sebagai sesuatu yang baik, dibolehkan, dan sesuai hukum. Bagi muslim, hukum merujuk pada Al-Qur’an seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 172.
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.”
Hukum bagi muslim juga mengacu pada hadist shahih yang terbukti kebenarannya. Salah satunya dari Abu Huraira, yang juga menjelaskan risiko nekat makan atau melakukan sesuatu yang tidak halal atau haram bagi muslim.
Dari Abu Hurairah RA, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik.
Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan kepada kaum mukminin dengan sesuatu yang Allah perintahkan pula kepada para rasul.”
Maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih.” (Al-Mu’minun: 51). Dan Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kalian dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepada kalian.” (Al-Baqarah: 172).
Kemudian Rasulullah SAW menyebutkan seseorang yang melakukan perjalanan panjang dalam keadaan dirinya kusut dan kotor, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa:
“Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,” namun makanannya haram, minumannya haram dan pakaiannya haram dan kenyang dengan sesuatu yang haram, lalu bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?” (HR Muslim).
Berdasarkan al-hadist berikut adalah resiko umat muslim yang berhubungan dengan berbagai hal haram.
1.Mendatangkan sesuatu yang buruk
Mengkonsumsi, menggunakan, atau melakukan sesuatu yang haram cenderung menghasilkan energi yang tidak baik. Dikutip dari kitab Ihya ‘Ulum al-Din jilid 2, Al-Ghazali mengatakan, energi tersebut cenderung digunakan untuk hal yang berbau maksiat.
Rasulullah SAW disebutkan selalu mengingatkan untuk mengkonsumsi dan melakukan hal yang baik atau halal. Sesuatu yang baik hanya datang dari hal balik, sebaliknya hal buruk berasal dari sesuatu yang juga buruk.
2.Doa terhalang
Risiko doa yang terhalang karena berinteraksi dengan sesuatu yang haram telah diingatkan Rasulullah SAW. Nabi SAW menyampaikannya pada salah satu sahabat Sa’d RA.
“Wahai Sa’d, perbaikilah makananmu, niscaya doamu mustajab. Demi Dzat yang menggenggam jiwa Muhammad, sesungguhnya seorang hamba yang melemparkan satu suap makanan yang haram ke dalam perutnya, maka tidak diterima amalnya selama empat puluh hari.” (HR Sulaiman ibn Ahmad).
3.Sulit menerima ilmu Allah SWT
Risiko sulit menerima ilmu Allah SWT, karena sesuatu yang haram diceritakan Imam Syafi’i. Saat itu, Imam Syafi’i mengeluh pada gurunya Imam Waki karena sulit menghapal. Imam Waki menjawab keluhan tersebut dalam suatu sajak, yang mengumpamakan ilmu sebagai cahaya.
Artinya, ilmu hanya bisa diterima mereka yang pantas yaitu yang menegakkan halal dan meninggalkan maksiat. Halal tidak hanya diterapkan pada makanan, tapi juga perbuatan dalam kehidupan sehari-hari.
4.Neraka
Menjadi penghuni neraka adalah risiko lain bagi mereka yang nekat mengkonsumsi atau melakukan hal yang haram. Rasulullah SAW telah mengingatkan risiko ini dalam hadistnya.
“Setiap daging dan darah yang tumbuh dari perkara haram, maka neraka lebih utama terhadap keduanya.” (HR Al-Thabrani).
Dengan ketentuan dan segala risiko yang telah ditulis, maka halal menjadi prioritas utama bagi muslim. Tidak adanya kewajiban sertifikasi, tak menjadi alasan muslim bisa mengkonsumsi atau melakukan hal yang tak sesuai hukum Islam.
Karena itu, bagi muslim sangat dianjurkan berhati-hati sebelum mengkonsumsi atau menggunakan suatu barang. Misal memastikan status halal makanan, minuman, atau berbagai hal lain sebelum digunakan.
Peran negara sendiripun harus memastikan produk dan barang-barang seperti makanan, minuman, atau berbagai hal lain yang tersebar di masyarakat memiliki status halal.
Tujuan ini akan tercapai jika islam diterapkan secara keseluruhan di dalam negara islam, yaitu khilafah islamiyah.
Wallahua’lam bish-shawab.[]
*Mahasiswi STEI Yogyakarta
Comment