Mayday, Sebatas Aksi Tanpa Perubahan

Opini372 Views

 

 

Oleh : Siti Sarah Madani, S.E, Aktivis Muslimah Purwakarta

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Tinggal 1 Mei menjadi momentum yang selalu diperingati setiap tahun. Sebagaimana biasanya, pada tanggal yang disebut sebagai hari buruh ini para buruh di Indonesia sepakat untuk mengadakan aksi-aksi sebagai bentuk unjuk rasa terhadap kebijakan pemerintah yang terus menggerus para buruh.

Aksi seremoni yang diperingati setiap tanggal 1 Mei ini ternyata telah berlangsung sejak awal abad 19. Lantas apa sebenarnya tuntutan para buruh, hingga setelah beratus tahun seolah tidak membuahkan hasil yang signifikan sebagai jawaban atas tuntutan para buruh?

Pada dasarnya tuntutan buruh tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Mereka hanya ingin agar usaha yang mereka lakukan tersebut mampu membuat kehidupan mereka menjadi lebih baik. Tuntutan kesejahteraan yang diminta para buruh, menandakan bahwa selama ini kondisi kehidupan mereka belumlah sejahtera. Mereka berharap kebijakan  pemerintah lebih condong dan memperhatikan nasib para buruh agar mereka bisa hidup layak.

Dikutip dari CNN Indonesia, peringatan Mayday yang diadakan beberapa hari lalu kemarin, setidaknya menekankan 6 tuntutan dari para buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal, memberikan penjelasan 6 hal tuntutan tersebut diantaranya, cabut Omnibus Law UU Cipta Kerja, cabut parliamentary threshold 4%, sahkan RUU PPRT, tolak RUU Kesehatan, reforma agraria dan kedaulatan pangan serta Presiden 2024 yang pro buruh dan kelas pekerja. (CNN Indonesia, 27-4-2023).

Jika dilihat berbagai tuntutan yang diminta sejatinya amatlah menekan hidup para buruh. Kebijakan-kebijakan tersebut hanya mementingkan sebagian kecil golongan saja. Polemik klasik seperti soal upah, jaminan sosial, keadilan kontrak kerja maupun makin langkanya pekerjaan sebab datangnya era revolusi industri keempat (RI 4.0) ini tetap saja akan menghantui hidup para buruh.

Dalam kondisi demikian, pemerintah bukannya memberikan solusi yang benar justru seolah menggelar karpet merah untuk asing. Pemerintah malah memberikan banyaknya kelonggaran kepada para pemodal asing untuk mengurangi hak-hak buruh demi sejumlah investasi. Misalnya saja sistem outsourcing yang diterapkan perusahaan hari ini membuat tidak adanya kepastian pekerjaan untuk jangka panjang, jaminan sosial tidak lagi diperoleh, bahkan tidak lagi ada pesangon ketika pemutusan kontrak. Terlalu!

Ada beberapa kebijakan yang lahir seolah menunjukan keberpihakan pemerintah terhadap nasib kaum buruh. Hanya saja perlu diingat bahwa hal itu hanya sebagai penyeimbang kecil yang tak sebanding dengan banyaknya tekanan yang diberikan. Itu pun negara hanya berperan sebagai regulator untuk memuluskan kepentingan para kapitalis bukan menjadi pengatur dan perisai bagi rakyat, khususnya kaum buruh.

Masalah perburuhan ini menimbulkan banyak polemik tidak lain dan tidak bukan sebab diterapkannya ideologi kapitalisme yang menempatkan kaum buruh dan pengusaha dalam timbangan yang tidak imbang. Seolah kaum buruh berada di kelas terbawah yang keberadaannya hanya untuk kepentingan para pengusaha.

Dalam Islam, sistem kehidupan yang sempurna – segala sesuatunya diatur berdasarkan landasan keimanan serta dibangun dalam rangka memuliakan manusia. Dengan sitem ekonomi Islam, tidak akan ditemui kondisi ruwet yang menimpa para buruh seperti hari ini.

Islam mengatur sistem perburuhan bukan seperti budak yang bisa seenak jidatnya saja dalam pengurusannya, melainkan diikat dengan sebuah akad yaitu akad ijarah – buruh digaji sesuai dengan keahlian yang ia miliki.

Dari Abdullah bin Umar ia berkata bahwa Rasulullah SAW, bersabda :
“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.”
(HR. Ibnu Majah dan Ath-Tabrani).

Maka, tidak ada jalan lain untuk mengurai problem ruwet buruh ini selain dengan sistem Islam. Sebab, dari tahun ke tahun kapitalisme telah gagal menyelesaikannya. Semoga Islam segera terwujud. Aamiin. Wallahua’alam bisshowab (*).

Comment