May Day, Antara Kesejahteraan Dan Kemustahilan

Opini625 Views

 

 

Oleh : Mutiara Aini, Pegiat literasi

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Buruh adalah tulang punggung pergerakan ekonomi masyarakat. Karenanya nasib buruh merupakan kunci cepat dan tidaknya pertumbuhan ekonomi di suatu daerah. Maka dari itu, buruh harus sejahtera, tidak boleh menderita.

Memperingati puncak Hari Buruh Internasional pada 1 Mei, sejumlah elemen buruh menggelar May Day Fiesta 2022 di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta Pusat (14/5/2022).

Sekitar 15—20 ribu buruh mendatangi gedung DPR/MPR RI. Dalam aksi May Day Fiesta tersebut, partai buruh membawa 18 tuntutan yang dihelat di di Gedung DPR dan Gelora Bung Karno (GBK) pada Sabtu (14/5)

Dari 18 tuntutan aspirasi seperti dikutip cnnindonesia, ada 3 tuntutan utama yang mereka sampaikan, yakni pembatalan UU Cipta Kerja, menolak revisi UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja, dan meminta Pemerintah segera mengendalikan harga bahan pokok, termasuk minyak goreng.

Sebelumnya, pada 12/5/2022, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) menggelar aksi di kawasan Patung Kuda, Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Dalam aksi tersebut, kaum buruh menuntut pembatalan kenaikan PPN 11%, menolak wacana revisi UU 12/2000 tentang Serikat Pekerja, dan menuntut pencabutan UU Cipta Kerja 11/2020.

Berbagai Undang-undang dan kebijakan yang dikeluarkan alih-alih memfasilitasi hajat para pekerja, namun justru nasib mereka dikorbankan demi kepentingan para pengusaha. Dari sini para buruh melihat bahwa Pemerintah tidak berdiri di pihak mereka.

Terlebih setelah disahkannya UU Cipta Kerja, semua yang mereka perjuangkan sebelumnya seakan kandas begitu saja. Makin banyak pasal yang mengkhianati hak pekerja. Contohnya soal pengupahan, peluang masuknya pekerja mancanegara, sistem kerja kontrak yang tak pasti, berkurangnya hak cuti dan istirahat, posisi buruh yang makin rentan mengalami PHK, dan sebagainya.

Kebijakan negara dengan undang undang tersebut bukannya memberi solusi, justru kerap menjadi sumber kesengsaraan bagi rakyat lebih khusus kaum buruh. Bahkan meliberalisasi berbagai bidang kehidupan, termasuk layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi.

Tak hanya itu, kapitalisasi dan privatisasi pengelolaan sumber-sumber ekonomi strategis, seperti listrik, BBM, air bersih, dan sejenisnya, jelas-jelas telah membuat rakyat, termasuk para buruh, sulit mengakses bahkan harus membayar mahal kebutuhan hidupnya.

Ditambah lagi dengan melambungnya harga-harga sembako akibat pemerintahan yang doyan impor. Juga adanya berbagai jenis pungutan pajak yang membuat beban ekonomi rakyat kian bertambah berat.

Pada Konferensi Internasional Sosialis 1889, tanggal 1 Mei ditetapkan sebagai Hari Buruh Internasional. Peringatan ini berawal dari aksi unjuk rasa serikat buruh di AS pada 1 Mei 1886. Hingga aksi ini berlanjut pada tahun-tahun berikutnya, tak jarang dalam aksi ini kerap menelan korban jiwa.

Kurang lebih 136 tahun perjuangan para pekerja buruh berjalan hingga saat ini. Namun, cita-cita mereka tak kunjung tiba. Nyatanya, aksi tahunan tersebut masih menyuarakan isu yang sama, yakni mereka ingin hidup layak sebagaimana mestinya.

Ironisnya lagi, tenaga kerja asing (TKA) kian merajalela. Di saat daya beli turun, gelombang PHK terjadi dimana-mana, TKA seperti diberi karpet merah untuk bekerja di negeri ini. Alhasil para pekerja Indonesia seperti tersisihkan. Lapangan pekerjaan yang semestinya bisa menyerap tenaga kerja, tidak terjadi. Tentu saja, hal ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi kaum buruh Indonesia.

Ditambah lagi dengan melambungnya harga-harga sembako akibat pemerintahan yang doyan impor. Juga adanya berbagai jenis pungutan pajak yang membuat beban ekonomi rakyat kian bertambah berat.

Padahal, memfasilitasi warga negaranya sendiri untuk memperoleh pekerjaan yang layak merupakan tanggung jawab negara, bukan malah mendatangkan para TKA untuk bekerja di negara ini.

Akibatnya rakyat semakin sulit dan kemiskinan semakin tinggi karena pengangguran terus bertambah, SDA makin dikuasai dan dinikmati asing sementara banyak rakyat yang gigit jari.

Keadaan seperti ini memang tidak dapat dihindari, sebab negara dikuasai sistem kapitalisme yang merusak dan menindas. Di mana sistem tersebut tegak di atas landasan sekularisme yang telah menjadikan kapitalis sebagai sentral kekuasaan. Bahkan, kekuasaan beserta segala sumber daya strategis yang sejatinya milik rakyat, justru menjadi ajang bancakan bagi para pemilik modal.

Bagi rakyat jelata, hidup sejahtera hanyalah utopia. Sampai kapan pun, nasib kaum buruh akan selalu dihadapkan dengan kepentingan para pengusaha. Sedangkan negara, cenderung abai dengan tugas utamanya dalam upaya menyejahterakan rakyatnya. Bahkan, dalam pemikiran dangkal para penguasa, menggenjot investasi dengan memanjakan para pengusaha merupakan solusi dalam mengatasi problem buruh tersebut.

Tidak heran jika penyelenggaraan negara diatur selayaknya sebuah perusahaan. Selain berorientasi keuntungan, kebijakan yang dikeluarkan pun sarat kepentingan para penguasa yang berkolaborasi dengan para pemilik modal.

Dalam konteks Islam, negara bertanggung jawab penuh mengurus dan menyejahterakan rakyatnya. Bahkan, pemimpin Islam akan ditanya tentang urusan rakyat per kepala. Bukan hanya urusan kesejahteraan mereka di dunia saja, tetapi juga soal keselamatan mereka di akhirat.

Dalam hal ini, Islam memberikan solusi komprehensif dan mendasar. Untuk urusan yang menyangkut kontrak kerja, semisal upah, beban kerja, hak dan kewajiban pekerja, syariat menempatkannya sebagai urusan murni antara buruh dan majikan atas dasar sama-sama rida..

Bahkan urusan jaminan kesejahteraan pekerja dan rakyat seluruhnya, seperti menciptakan peluang kerja, menyediakan layanan publik yang berkualitas dan murah,dan sebagainya. Islam menetapkan semua itu sebagai kewajiban asasi negara.

Karena itu,untuk membawa negeri ini menuju baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur, Indonesia butuh pemimpin sejati. Yakni pemimpin yang bertaqwa,pemimpin yang mau menerapkan aturan-Nya secara menyeluruh. Wallaahu aàlam.[]

Comment