Mariyatul Qibtiyah,S.Pd: Derita Calista Dan Hilangnya Nurani Seorang Ibu

Berita456 Views
Mariyatul Qibtiyah,S.Pd
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Calista, bayi berusia 15 bulan itu akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir pada Ahad, 25 Maret 2018. Tubuh mungilnya tidak mampu lagi menahan rasa sakit yang dideritanya. Penderitaan yang diakibatkan oleh penganiayaan yang dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri. S (27 tahun), sang ibu, melakukan penganiayaan sebagai pelampiasan kemarahan dan kekesalannya. Persoalan hidup yang dialaminya telah membuatnya kehilangan nalurinya sebagai seorang ibu. Kini, ia hanya bisa menyesali perbuatannya.
Ini bukanlah satu-satunya kasus penganiayaan terhadap anak yang
dilakukan oleh seorang ibu dan juga bukan kasus yang pertama kali terjadi.
Menurut Rita Pranawati, komisionet KPAI, pada tahun 2018 saja telah terjadi 18
kasus. Kasus-kasus itu mulai dari pemukulan secara berulang, disekap, disundut
rokok, ditanam hidup-hidup, hingga diracun. Sebagian korban meninggal akibat
penganiayaan itu. Jumlah kasus yang terjadi bisa jadi lebih besar dari itu
karena tidak semua kasus dilaporkan (NEWS INDONESIA, 26 Maret 2018).
Apa yang menjadi penyebab hilangnya naluri seorang ibu? Menurut
Rita, beban hidup yang dirasakan oleh ibu bisa menjadi pemicunya. Beban hidup
akibat tekanan ekonomi, masalah dalam pernikahan, atau problem pribadi. Dalam
kasus Calista, persoalan ekonomi dan kegagalan dalam pernikahanlah yang menjadi
penyebabnya. S yang menjadi single parent harus memikirkan semuanya
sendiri. Dan itu membuatnya tertekan dan tidak bisa lagi menggunakan nalarnya
dengan baik. Akibatnya, emosinya mudah terpancing sehingga ia melakukan hal-hal
yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya.
Jika kita perhatikan lebih jauh, sebenarnya akar dari kasus yang
menimpa Calista atau balita lainnya itu bersumber pada satu hal, yaitu
diterapkannya sistem kapitalis-materialistk dalam segala aspek kehidupan.
Sistem ini telah merusak tatanan kehidupan manusia. Liberalisasi dalam sistem
ekonomi telah memperlebar jurang antara si miskin dan si kaya. Pengangguran
meningkat, daya beli masyarakat semakin turun karena tingginya angka inflasi.
Sayangnya, pemerintah seperti abai terhadap semua itu.
Angka kemiskinan memang menurun. Tetapi, menurunnya angka kemiskinan
itu patut dipertanyakan karena parameter standar kemiskinan yang tidak terukur.
BPS  hanya menyebutkan bahwa masyarakat
miskin adalah mereka yang berpenghasilan di bawah  Rp 11.000 per hari atau Rp 332.119 per bulan
(Rimanews, 3 Maret 2017). Dengan penghasilan sebesar itu, tentu sulit bagi
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Apalagi, jika berpenghasilan di
bawah itu.
Tugas mendidik dan mengasuh ana tidaklah ringan. Ditambah dengan
beban ekonomi, tentu menjadi satu permasalahan yang berat bagi seorang
perempuan. Namun, Islam telah menyiapkan seperangkat aturan yang akan memberi
kemudahan bagi para perempuan khususnya para ibu untuk mengemban amanahnya. Di
dalam Islam, tugas utama seorang perempuan adalah ummun wa rabbatul bait. Yaitu, sebagai ibu dan pengatur rumah
tangga. Sedangkan mencari nafkah adalah tugas kaum lelaki. Bagaimana pun
keadaannya, seorang perempuan tidak diwajibkan untuk bekerja dan mencari
nafkah. Sebelum menikah, seorang perempuan menjadi tanggungan bapak atau
saudara laki-lakinya. Setelah menikah, suamilah yang menanggung nafkahnya.
Dalam hal kewajiban memberi nafkah ini, Rasulullah SAW telah bersabda, 

“Dan kewajiban kalian (para suami) terhadap para istri adalah
memberi mereka belanja makanan dan pakaian.”  

Jika suami tidak mampu memberi nafkah, maka
kerabatnyalah yang menanggung nafkahnya. Jika kerabatnya pun tidak mampu,
negaralah yang berkewajiban untuk menafkahinya. Hal ini sesuai dengsn hadits
Rasulullah SAW, 

“Seorang imam adalah penggembala dan ia akan ditanya
tentang yang digembalakannya.”
Sebuah teladan yang baik telah diberikan oleh Khalifah Umar bin
Khaththab RA terkait hal ini. Sebuah kisah yang masyhur tentang besarnya rasa
tanggung jawab beliau. Saking takutnya dengan dosa, Khalifah Umar bin Khaththab
memanggul sendiri gandum untuk seorang janda beserta 2 orang anaknya yang
kelaparan. Beliau takut, jika kelak di akhirat janda itu menuntut kepada Allah
atas kelalaiannya sebagai seorang penguasa.
Dengan demikian, seorang ibu bisa fokus dalam mengasuh dan mendidik
buah hatinya dengan tenang. Tidak ada rasa cemas atau pun khawatir sehingga anak-anaknya
akan tumbuh menjadi generasi yang hebat. Semoga hal ini bisa diwujudkan
kembali. Wallaahu a’lam.[]

Comment