Oleh: Nurmilati, Ibu Rumah Tangga
________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Upaya melakukan pembaruan hukum pidana terus berjalan sejak tahun 1958. Gagasan dan diskusi disampaikan dalam seminar yang diadakan di Semarang tahun 1963. Namun, hal tersebut menemui jalan buntu lantaran adanya perdebatan yang tidak menemui titik temu.
Padahal, menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, RUU KUHP yang berlaku saat ini tidak ada kepastian sebab tidak ada terjemahan resmi KUHP dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia, sehingga hanya berdasarkan terjemahan para ahli hukum. KUHP merupakan hukum warisan Belanda yang saat ini dipakai sebagai peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pidana di Indonesia.
Baru-baru ini RUU KUHP menggulirkan delik pidana pasal Marital Rape (pemerkosaan suami terhadap istri). Menurut terminologi marital rape berasal dari bahasa Inggris, marital yaitu sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan dan rape berarti pemerkosaan, sebagaimana dimaksud oleh John M. Echols dan Hassan Shadily dalam kamus Inggris-Indonesia.
Dengan adanya wacana delik tersebut dan ditambah laporan aduan dari istri yang mengaku diperkosa suami, menjadikan RUU KUHP mencuat kembali ke permukaan. Gayung bersambut, seakan menindak lanjuti dan memberi solusi dari kasus itu, laporan tersebut secepatnya direspon oleh Komnas Perempuan.
Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini seperti dilansir detiknews (16/6), mengatakan bahwa pada 2020 terdapat 100 laporan kasus pemerkosaan suami terhadap istri sedangkan tahun 2019 mencapai 192 kasus yang dilaporkan.
Menurut Theresia berdasarkan laporan tersebut menunjukan adanya kesadaran, keberanian dan perhatian istri bahwa jika dalam pernikahan ada pemaksaan hubungan seksual, ini sudah terkategori pemerkosaan yang bisa ditindaklanjuti ke proses hukum dengan ancaman hukuman 12 tahun penjara.
Kendati demikian, Theresia mengatakan masyarakat beranggapan bahwa tidak pernah ada pemerkosaan terhadap istri, lantaran istri menganggap bahwa tugasnya adalah melayani suami dalam segala aspek termasuk melayani secara seksual.
Sehingga masyarakat berasumsi bahwa delik ini tidak lazim, maka tak heran jika pasal ini menuai polemik. Lantas mengapa masih ada segelintir orang bersikukuh dengan wacana RUU KUHP Marital Rape?
Marital Rape Agenda Sekuler
Marital Rape mungkin masih terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia. Namun, istilah ini sedang digaungkan kelompok feminis liberalis untuk menyerang hukum pernikahan dalam Islam, terlebih tentang hak-hak dan kewajiban suami istri serta melemahkan lembaga perkawinan Islam.
Sejak digulirkannya gagasan hak asasi manusia (HAM) oleh Barat, lahirlah gerakan-gerakan yang menuntut adanya kesetaraan gender. Mereka menuntut penghapusan semua ide, gagasan, keyakinan dan ajaran agama yang melawan kesetaraan gender.
Semua simbol atau ajaran Islam yang melawan ide kesetaraan gender harus dihilangkan seperti jilbab, khimar, poligami, hukum waris dan lain-lain.
Maka dari itu, Marital Rape adalah salah satu agenda yang didengungkan Barat untuk menyerang dan merusak hukum-hukum Islam. Tujuannya agar umat tidak tunduk pada aturan agamanya sehingga mengambil hukum dari aturan lain yakni hukum Barat yang notabene buatan manusia yaitu demokrasi liberalisme.
Selain itu, rencana tersebut ditujukan untuk merusak tatanan keluarga muslim, sebagai pintu masuk bagi mereka untuk menghancurkan agama Islam melalui skala terkecil lebih dahulu yakni keluarga.
Perkawinan dalam Islam
Perkawinan merupakan lembaga suci yang meletakkan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan sebagai suami istri untuk mendapatkan kebahagiaan dalam rumah tangga.
Salah satu tujuan pernikahan adalah untuk menghalalkan hubungan suami istri, maka dalam konteks dan perspektif Islam dikatakan bahwa hubungan seksual yang dilakukan suami istri memiliki nilai ibadah.
Allah Swt telah memerintahkan supaya para suami memberikan nafkah lahir batin, bersahabat dan bergaul secara baik, lemah lembut dalam bertutur kata, tidak bersikap keras dan kasar terhadap seorang istri.
Islam mengatur sedemikian rupa pergaulan suami istri dalam menjalankan biduk rumah tangga, agar kedamaian dan ketenteraman dirasakan keduanya sehingga tercipta rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Rasulullah Saw bersabda
“Bertakwalah kalian dalam urusan wanita, sebab kalian telah mengambil mereka dengan amanat dari Allah, menjadikan kemaluan mereka halal dengan kalimat Allah. Kalian memiliki hak atas istri-istri kalian agar mereka tidak membawa orang lain ke tempat tidur kalian yang tidak disukai. Jika mereka melakukan itu, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Sebaliknya mereka pun memiliki hak terhadap kalian untuk mendapatkan rezeki dan pakaian menurut cara yang makruf.”
Dari riwayat tersebut menunjukkan bahwa para suami harus memperlakukan istri mereka dengan baik. Namun tidak dipungkiri, di dalam kehidupan berumah tangga tidak selamanya berjalan manis, ada kalanya ujian datang menyapa berupa angin sepoi-sepoi bahkan tak jarang angin puting beliung pun siap menerjang bahtera pernikahan. Terlebih ujian itu dialami oleh istri yang mempunyai perasaan lebih lembut ketimbang suami.
Maka dari itu, Allah Swt menjadikan suami sebagai qawwam (pemimpin) atas istri-istrinya, artinya suami bertanggung jawab atas pengaturan dan pemeliharaan urusan rumah tangganya serta diberi wewenang untuk memberikan sanksi kepada istri jika Istri melakukan tindakan nusyuz (durhaka).
Namun demikian, tanggung jawab dan kepemimpinan suami atas istri dalam rumah tangga bukan berarti ia boleh bertindak secara otoriter.
Begitulah Islam mengatur urusan rumah tangga, semua disandarkan pada hukum syara, sehingga dalam perjalanannya tidak akan terjadi kekerasan di dalamnya. Namun, sebaliknya, kekerasan akan mudah dilakukan dan rentan terjadi dalam pernikahan mana kala landasannya bukan bersandar pada aturan Allah Swt.
Sebuah keluarga yang dibangun berlandaskan Islam tidak akan bisa terwujud apabila hanya keluarga yang menerapkan aturan Islam. Dalam kaaitan ini, diperlukan dukungan negara.
Kembali Pada Hukum Islam
Manakala ada persoalan yang sedang dihadapi oleh keluarga sebagai bagian dari rakyat, sejatinya negara hadir memberikan solusi untuk mengeluarkan masyarakat dari zona tersebut dengan solusi yang tepat dan tuntas sesuai fitrah mnusia.
Akan tetapi, solusi seperti itu tidak akan didapatkan di negara manapun yang mengusung siatem sekuler liberal yang diadopsi banyak negara saat ini.
Karena dari sistem ini, persoalan diselesaikan dengan hukum yang hanya memuaskan syahwat dunia tanpa memperhatikan hukum akhirat, sehingga persoalan rakyat tidak bisa terselesaikan secara apik dan sempurna.
Maka dari itu, hanya di negara yang menerapkan aturan Islam saja yang mampu menyelesaikan beragam persoalan rakyat, tak terkecuali dalam rumah tangga, sehingga dengan diadopsinya hukum-hukum Islam tersebut dapat mencegah segala bentuk kekerasan di dalam rumah tangga maupun di ranah lainnya.[]
Comment