Penulis: Dian Sefianingrum S.Pd | Pendidik
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Kasus predator anak kian marak. Nasib anak-anak semakin terancam karena banyak yang menjadi korban pelecehan, rudapaksa hingga pembunuhan. Kasus terbaru dialami oleh gadis cilik berusia 7 tahun kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah, Banyuwangi. Dia menjadi korban rudapaksa, korban pencurian (kalung dan gelang emas diambil pelaku), hingga korban pembunuhan pada Rabu, (13/11/2024). Peristiwa tragis menimpa korban setelah pulang sekolah.
Selain di Banyuwangi, Polres Aceh Utara seperti ditulis Kompas.com (16/11/24), menangkap tiga pelaku pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap A (14) warga kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara. Kemudian, seorang petani di kabupaten ende, NTT, MJA (40), ditangkap polisi atas dugaan kasus pemerkosaan terhadap seorang anak di bawah umur berinisial Z (16).
Tidak hanya anak perempuan, anak-anak laki-laki pun rentan menjadi korban pelecehan seksual. Sebanyak 171 kasus telah terjadi selama 11 bulan terakhir, di Jawa Barat.
Dampak Sekulerisme
Realitas maraknya predator anak semakin tidak menyisakan ruang aman bagi anak-anak. Keluarga yang menjadi tempat pertama anak-anak tumbuh, masyarakat yang menjadi tempat anak-anak bersosialisasi, negara yang seharusnya memberikan rasa aman tidak bisa sepenuhnya diharapkan menjadi benteng perlindungan bagi anak.
Tidak adanya ruang yang aman bagi tumbuh kembang anak merefleksikan sistem kehidupan yang rusak. Tanda sistem kehidupan yang rusak adalah manusia tidak mengarahkan potensi, naluri, dan akalnya sesuai dengan aturan Pencipta.
Manusia memang memiliki naluri seksual, manusia juga memiliki akal untuk berpikir bagaimana memenuhi naluri tersebut. Hanya saja, sistem kehidupan saat ini dipengaruhi oleh akidah sekulerisme.
Sekulerisme adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Maka, manusia tidak lagi berpikir memenuhi naluri sesuai aturan Allah. Cara berpikir dan beramal manusia dipimpin oleh hawa nafsu mereka yang hari ini diklaim sebagai hak kebebasan. Akhirnya, muncul manusia-manusia yang lemah iman dan tidak beradab.
Standar interaksi masyarakat juga bukan amar ma’ruf nahi munkar, namun individualis. Kondisi tersebut membuat predator anak semakin marak menyasar anak-anak dan menjadi korban rudapaksa hingga dibunuh. Predator anak tidak mungkin muncul begitu saja tanpa ada pemicu.
Konten porno, judol, pinjol, khamr (miras), dan hal-hal yang merusak akal manusia lainnya merebak dimana-mana. Padahal semua kemaksiatan itu pemicu manusia untuk kemaksiatan yang lain seperti menjadi predator anak.
Negara sekuler tidak aware pada urusan moral bahkan cenderung membiarkan faktor-faktor penyebab maraknya predator anak yang merajalela. Hal ini dapat dilihat dengan sangat minimnya peran pemerintah dalam upaya melindungi anak dalam berbagai aspeknya baik pendidikan berasas sekuler maupun sanksi yang tidak menjerakan. Jika pemerintah masih dikuasai pemikiran sekuler, anak-anak tidak akan pernah selamat dari predator.
Inilah kerusakan, kezaliman, dan bahaya sekulerisme yang telah menjauhkan fitrah manusia sebagai hamba Allah.
Kejadian ini seharusnya membuat umat sadar betapa banyak kerusakan yang Allah tampakan agar manusia kembali kepada aturan-Nya. Allah telah menurunkan Islam sebagai sistem kehidupan yang membawa kebaikan dan keberkahan bagi hidup umat manusia.
Peran Islam Menjaga Generasi
Dalam Islam, pemerintah tidak akan pernah memisahkan agama dari kehidupan. Semua hal wajib terikat aturan Allah. Islam memandang bahwa negara adalah raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) sehingga kehadirannya mustahil tidak aware terhadap kondisi anak-anak.
Negara dan atau pemerintah menjaga anak-anak sebagai bentuk kewajiban yang syariat perintahkan. Penjagaan tersebut dilakukan dengan cara anak-anak dipastikan mendapat kualitas hidup maupun lingkungan yang baik dan keselamatan generasi dari berbagai bahaya termasuk berbagai macam kekerasan dan ancaman keselamatan.
Islam memiliki mekanisme untuk merealisasikan cara-cara tersebut. Islam memiliki 3 pilar perlindungan terhadap masyarakat termasuk anak, mulai dari ketakwaan individu, peran keluarga, kontrol masyarakat hingga penegakan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan oleh negara.
Ketakwaan individu menjadi kontrol pribadi agar seseorang tidak mudah berbuat maksiat karena ia menstandarkan mafahim (pemahaman), maqayis (standar), qanaat (keridaannya) pada hukum syariat.
Islam mengatur bahwa salah satu fungsi keluarga adalah sebagai pelindung anak. Ayah berperan sebagai qawwam dan ibu berperan sebagai madrasatul ula. Jika fungsi ayah dan ibu berjalan sebagaimana perintah syariat, anak-anak mendapat perlindungan pertama dari keluarga.
Allah Taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim [66]: 6)
Islam juga memerintahkan amar ma’ruf nahi munkar di antara sesama. Perintah ini akan menjadi kontrol masyarakat agar segala jenis kemaksiatan, termasuk predator anak tidak merajalela. Bahkan syariat memerintahkan agar negara hadir sebagai junnah untuk menindak tegas para pelaku kemaksiatan.
Negara akan memberlakukan uqubat (sanksi) kepada predator anak. Sanksi Islam bersifat zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa) sehingga dapat dipastikan, predator anak tidak akan mendapat ruang untuk lahir dan berkembang.
Seperti inilah syariat Islam kaffah yang diterapkan untuk melindungi anak-anak. Dengan demikian jelas bahwa hanya Islam yang mampu mewujudkan perlindungan hakiki bagi anak-anak dari kejahatan predator seksual.[]
Comment