Marak Pornografi Anak, Siapa Bertanggung Jawab?

Opini189 Views

 

 

Penulis:  Umi Fia | Aktivis Muslimah Peduli Umat

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Lagi – lagi para orang tua dibuat cemas dan khawatir dengan terus maraknya pornografi ditengah – tengah masyarakat, parahnya pornografi ini bukan hanya ditonton oleh kaum muda tapi juga ditonton oleh anak di bawah umur.

Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mengungkapkan, sekitar 34,5% anak laki-laki dan 25% anak perempuan sudah aktif melakukan kegiatan seksual. Hal ini disampaikan Asisten Deputi Pelayanan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Robert Parlindungan S berdasarkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) KPPPA.

Data yang sama juga mencatat ada 66% anak laki-laki yang pernah menonton kegiatan seksual melalui platform game online. Terdapat 63,2% anak perempuan yang pernah menonton pornografi. Kemudian, ada 39% pernah mengirimkan foto kegiatan seksual melalui media online. (Nasional Kompas, 1-12-2021).

Pada Januari—November 2023 terdapat 15.120 kasus kekerasan terhadap anak dengan 12.158 korban anak perempuan dan 4.691 korban anak laki-laki. Kekerasan seksual menempati urutan pertama dari jumlah korban terbanyak 2019—2023. (Situs Kemen PPPA, 6-1-2024).

Sungguh miris melihat fakta saat ini, sebagai orang tua langsung terlintas dalam benak, bagaimana kita akan melindungi anak-anak dari serbuan masif pornografi ini? Apalagi berbagai kasus kekerasan seksual terhadap anak makin marak. Ini terjadi salah satu akibat dari tidak terkendalinya nafsu setelah mengonsumsi konten-konten pornografi.

Kemajuan teknologi dan digitalisasi media membuat industri pornografi berkembang berkali-kali lipat dari tahun sebelumnya. Apalagi saat ini banyak aplikasi yang yang berkonotasi seksual dengan konten 18+. Menyedihkannya, rata-rata usia termuda anak-anak pengakses pornografi adalah 11 tahun (setara kelas 4 atau 5 SD). Di antara usia 15—17 tahun, 80 persennya terbiasa mengakses materi pornografi.

Indonesia memang telah memiliki seperangkat regulasi untuk membasmi pornografi. Sebut saja UU 4/2008 tentang Pornografi, serta Perpres 25/2012 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi (GTP3) yang langsung dikoordinasikan oleh Kemenko PMK dengan peraturan turunannya yaitu, Permenko Kesra No. 1/2013 tentang Sub Gugus tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi. Sayang, semua itu seakan tumpul mengurai problem pornografi, bahkan Indonesia menuju negeri darurat pornografi.

Tentu semua ini tidak bisa sekadar diselesaikan dengan menyerukan pentingnya ketahanan keluarga tanpa melihat akar masalahnya secara utuh.

Entah bingung mengurai masalah atau khawatir melanggar prinsip kebebasan, negara akhirnya terkesan diam. Kalaupun terlihat mendiskusikan masalah ini, perdebatan mengenai batasan antara nilai-nilai moral, unsur erotika, dan pornografi dalam seni saja tidak pernah tuntas dalam pembahasan, padahal negara mempunyai tangung jawab besar menjadi perisai sekaligus menertibkan sistem di masyarakat.

Seharusnya negara hadir untuk memberi perlindungan kepada anak – anak. Negaralah pemilik kekuatan yang kita butuhkan untuk menghentikan secara total serangan pornografi ini. Negara adalah institusi satu-satunya yang memiliki kekuatan sarana untuk memblokir situs-situs porno yang menyerbu internet.

Namun sangat disayangkan saat ini peran negara tidak bisa melindungi rakyatnya dari paparan informasi dan visualisasi yang tidak layak konsumsi.

Wajar jika pornografi anak akan terus merebak, sebab kala mengungkap satu jaringan, ratusan jaringan yang lain masih beroperasi.

Bagaimana tidak, faktanya konten-konten dewasa ini berkontribusi besar dalam mengacaukan sistem di masyarakat. Teror konten-konten pornografi tersebut kemudian memantik munculnya kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, maupun masalah sosial lainnya.

Ini terjadi karena penerapan sistem kapitalisme sekuler yang telah membebaskan setiap orang untuk berperilaku. Sehingga tidak lagi memikirkan masa depan generasi penerus bangsa. Para kapital ini yang dipikirkan hanyalah uang dan uang. Hal penting adalah mendapatkan keuntungan meskipun harus mengorbankan masyarakat banyak.

Maka dari itu tentu kita tidak bisa menganggap hal ini sebagai satu hal yang wajar, apalagi menganggapnya sebagai sebuah kemajuan zaman. Masyarakat perlu memahami bahwa ini masalah urgen yang membutuhkan solusi.

Negara pun harus faham – jangan hanya melihat pornografi sebatas apa yang disebut “konten dewasa”, sedangkan pada saat yang sama diam dari realitas sosial yang membolehkan kaum perempuan mengumbar aurat, pacaran, atau pergaulan tanpa batasan lainnya. Alhasil, penting untuk menyuguhkan konsep sistem yang bisa mengurai masalah hingga ke akarnya.

Islam memiliki cara mengatasi masalah hingga ke akarnya. Ada lima hal yang harus ditempuh mengatasi pornografi anak.

Pertama, tegas menegakkan hukum atas semua pelaku kejahatan anak, termasuk pornografi.

Kedua, menyediakan lapangan pekerjaan. Negara wajib memastikan semua warga negaranya—terutama laki-laki sebagai pencari nafkah—untuk mendapatkan pekerjaan layak demi memenuhi kebutuhan keluarganya.

Hal ini sebagai salah satu solusi agar masyarakat menjauhi pekerjaan yang dilarang dalam Islam dan membahayakan manusia.

Ketiga, memberikan pendidikan bermutu. Gagalnya sistem pendidikan salah satunya dibuktikan dengan banyaknya oknum pelajar yang terjun dalam bisnis pornografi dan prostitusi online. Pendidikan berkualitas membentuk kepribadian pelajar hanya akan diperoleh jika menerapkan sistem pendidikan Islam.

Generasi akan memiliki pemahaman yang kuat tentang standar benar dan salah, tidak mengambil cara haram dengan terlibat pornografi.

Keempat, pembinaan keluarga harmonis menjadi salah satu penyelesaian sosial yang harus menjadi perhatian negara. Masyarakat membutuhkan pembentukan lingkungan sosial yang tidak permisif terhadap kemaksiatan agar pelaku kejahatan anak mendapat kontrol sosial dari lingkungan sekitar berupa amar makruf nahi munkar.

Kelima, negara memiliki kemauan politik. Penyelesaian pornografi anak membutuhkan penerapan kebijakan yang berlandaskan syariat Islam. Harus ada peraturan tegas untuk mencegah bisnis haram, termasuk jaringan pornografi anak.

Semua elemen masyarakat harus menyadari bahaya merebaknya jaringan pornografi anak. Peran negara sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah ini dan Islam satu-satunya solusi yang bisa memberikan perlindungan terhadap anak dan masyarakat.

Negara bertanggung jawab menghilangkan penyebab utama kerusakan, yaitu penerapan ekonomi kapitalisme, penyebaran budaya liberal, serta politik demokrasi.

Ketika institusi Islam tegak, ini akan menjadi rahmat bagi semesta alam. Anak-anak pun tumbuh dan berkembang dalam keamanan serta kenyamanan, juga jauh dari bahaya yang mengancam. Wallahu a’lam bi as shawab.[]

Comment