Mangir Windi Antika |
RADARINDONESIANEWS. COM, JAKARTA – Indonesia merupakan negara dengan sumberdaya alam yang melimpah, hal ini merupakan sebuah anugerah terindah dari Allah. Tak terkecuali pulau-pulau kecil yang ada didalamnya. Walau dikatakan kecil, akan tetapi seperti sebuah kalimat “Jangan melihat casingnya saja”. Pulaunya kecil tapi sumberdaya alam tak kecil, sungguh sangat melimpah. Sehingga tak heran hal ini justru menjadi incaran banyak perusahan dari dalam maupun luar negeri.
Gebe adalah sebuah pulau kecil yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Pulau ini terletak di ujung tenggara kaki Pulau Halmahera dengan luas pulau 11.160 hektare, yang didiami sekitar 5.580 jiwa. Pulau Gebe relatif berada di ujung dan berbatasan langsung dengan Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Secara geografis pulau ini terletak tepat di garis khatulistiwa pada 0°. Ada delapan desa dalam Kecamatan Pulau Gebe, yakni Kapaleo (ibukota kecamatan), Sanafi, Sanafi Kacepo, Kacepi, Elfanum, Umera, Umiyal, dan Yam.
Sebelum masuknya serbuan perusahan tambang, mata pencarian warga Gebe adalah petani dan nelayan. Hal ini dikarenakan Pulau Gebe kaya akan hasil pertanian dan perikanan diantaranya yaitu kelapa, pala, cengkeh, ikan cakalang, ikan tuna, ikan teri, ikan tongkol, ikan julung, dan ikan ekor kuning. Ini merupakan berkah dari Allah bagi masyarakat Pulau Gebe. Ada pun kekayaan alam lainnya yang melimpah yaitu nikel yang membuat nama Pulau Gebe terangkat ketika badan usaha milik negara (BUMN) PT Aneka Tambang (Antam) mengeksploitasi nikel pada era 1980. Kegiatan pertambangan di Maluku Utara pertama kali dilakukan di pulau kecil ini, setelah itu baru mulai merambah ke wilayah Malut lainnya.
Meskipun pulau kecil dengan luas wilayah begitu terbatas, ternyata sebagian besar lahan masuk konsensi tambang. Seperti yang dicatat oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) bahwa masuknya kontrak karya Antam mengambil alih sebagian besar lahan perkebunan yang sudah digarap warga. Hal ini secara langsung telah mengubah pola hidup masyarakat Gebe. (Malut Post, Selasa 18/06/19). Akan tetapi pada tahun 2004, Antam mengakhiri produksi dan meninggalkan lubang-lubang serta kolam-kolam yang mengangah tak terurus dan lahan menjadi gundul
Selama Antam beroperasi di Pulau Gebe kurang lebih 30 tahun lamanya, Antam memanjakan pulau kecil ini dengan membangun berbagai fasilitas yang biasanya hanya dapat ditemui di kota yaitu pembukaan bandara, perumahan karyawan, gedung pertemuan, perumahan karyawan, dermaga, perkantoran, klinik, sekolah, pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), lapangan golf, dan koperasi. Warga meninggalkan lahan-lahan pertanian mereka. Namun keterbatasan skill membuat sebagian besar mereka hanya dipekerjakan pada level penjaga alat berat, tukang kebun atau cleaning service. (Malut Post, Selasa 18/06/19)
Antam telah menciptakan ketergantungan secara ekonomi yang tinggi pada masyarakat pulau Gebe. Begitu Antam berhenti beroperasi timbul berbagai masalah yakni warga pulau Gebe manjadi dilema dibuatnya sebab tidak bisa lagi bergantung pada tambang, juga tidak bisa kembali menjadi petani atau nelayan. Kini gerak tangan dan kaki mereka terasa berat.
Pada akhirnya, sebagian warga menjual murah tanah mereka yang tersisa dan pindah ke kota untuk mencari pekerjaan lain. “Penduduk Gebe sebelum hadirnya perusahaan tambang berjumlah kurang lebih 10 ribu jiwa. Tapi setelah hadirnya perusahaan tambang warga tersisa kurang lebih 5 ribuan jiwa. Mereka harus migrasi ke daerah lain karena daerah asal tidak lagi menjanjikan kelangsungan hidup,” Munadi Kilkoda kepada Malut Post, Senin (17/6)
Pasca tambang seperti tidak ada harapan hidup lagi. Begitulah kira-kira penggambaran dari kondisi yang serba tidak mengenakan yang dirasakan warga Pulau Gebe. Hal ini membuat warga mendesak pemerintah kembali menghadirkan perusahan tambang agar menggelorakan lagi kehidupan mereka. Pemerintah setempat pada akhirnya memberikan Izin Usaha Penambangan (IUP) pada PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara (FBLN).
Namun menurut Munadi, kehadiran FBLN atas dasar desakan warga itu lumrah karena memang mereka mengalami krisis. Tapi pemerintah dengan menghadirkan perusahaan tambang baru buka jawaban satu-satunya. Semestinya pemerintah melihat aspek lain yang bisa dikelola masyarakat selain perusahaan tambang,” ujarnya. (Malut Post, Selasa 18/06/19)
Kehadiran FBLN yang diharapkan dapat menjawab persoalan justru menjadi bumerang bagi mereka. FBLN yang melakukan eksploitasi di lahan bekas konsensi Antam ternyata tidak seperti Antam. Tak ada fasilitas air bersih dan listrik seperti yang diharapkan warga. Puncaknya pada September 2016 aktivitas produksi lumpuh total karena para buruh melakukan aksi mogok kerja menuntut kenaikan gaji. Konflik berlanjut dengan demonstrasi warga dari delapan desa di pulau Gebe yang memboikot aset perusahaan. Saat ini Pulau Gebe dikepung 9 IUP, yakni PT Batra Putra Utama, FBLN, Gebe Sentra Nikel, Elsaday Mulia, Integra Mining Nusantara, Mineral Trobos, Anugerah Sukses Mining, Karya Wijaya, dan Multi Tambang Prima. (Malut Post, Selasa 18/06/19).
Malapetaka lain yang ditimbulkan akibat serbuan IUP yakni krisis air bersih. Hal ini disebabkan karena kawasan hutan berahli fungsi menjadi pertambangan. Rupanya sumber mata air di Pulau Gebe telah dikapitalisasi, sehingga menjadi terbatas dan sulit diakses oleh warga di Desa Kapaleo. Warga terpaksa harus membeli air seharga Rp 100 ribu untuk 1 profil. Sementara rata-rata konsumsi air untuk keperluan rumah tangga dalam sepekan maksimal 2 profil. Reboisasi bukan tidak pernah dilakukan. Pada tahun 2006 pasca Antam dilakukannya reboisasi. Sayangnya saat pohon-pohon reboisasi tumbuh, datanglah perusahan tambang baru dan merusak kembali.
Tak hanya itu pertambangan telah mewarisi lingkungan yang tak sehat, menurunnya kualitas udara bersih. Sehingga warga terkena serangan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Ini disebakan karena debu-debu berterbangan dari truk-truk pengangkut ore nikel mengganggu pernapasan setiap saat. Masalah debu tak pernah selesai, terlebih lagi memasuki musim panas kendaraan atau alat berat perusahaan sering masuk kampung.
Tidak hanya di darat dampak dari pertambangan juga terjadi dilaut seperti pencemaran laut dikarenakan aktivitas alat berat yang mengankut ore dari tongkang ke kapal menyebabkan sebagian material yang jatuh ke laut dan kejadian ini sulit dihindari. Rusaknya terumbu karang yang merupakan salah satu media bagi biota laut dibeberapa kawasan perairan.
Hal ini menyebabkan warga sulit mencari ikan. Rusaknya hutan mangrove dikarenakan tertimbun sedimen lumpur yang terbawa erosi dari penambangan dan lokasi penimbunan bahan galian nikel. Padahal dulunya hutan mangrove dari jenis Rhizopora apiculata, Rhizopora stylosa, dan Bruguera Sp. tersebar mulai sepanjang pantai bagian selatan ke arah barat dan utara Pulau Gebe.
Demikianlah dalam sistem kapitalis sekuler saat ini, pemilik modal yakni pengusaha diberikan kebebasan dalam mengelola SDA. Pengusaha/para kapital pemilik modal mereka hanya memikirkan keuntungan tanpa memperdulikan aturan Sang Pencipta, apalagi pertimbangan lingkungan dan masyarakat sekitar. Jadi, wajar kejadian akibat pasca tambang akan terus terjadi dalam sistem ini, solusi yang ditawarkan hanya tambal sulam. Artinya tidak sampai ke akar masalah yakni pengolahan pertambangan dengan sistem kapitalis sekuler liberal.
Beda halnya dalam sistem Islam pertambangan tidak sembarang dan semudah saat ini. Ada aturan dalam kepemilikan yakni kepemilikan yang boleh ditangani individu, umum dan kepemilikan yang dikelola oleh negara. Dalam sistem Islam, sumber daya alam seperti kekayaan hutan, minyak, gas, dan barang-barang tambang lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak, adalah milik umum (rakyat) sebagai sumber utama pendanaan negara untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Muslim berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Ibn Majah). Benda benda yang termasuk dalam kepemilikan umum ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok:
1. Fasilitas umum. Semua yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum; jika tidak ada dalam suatu negeri akan menyebabkan kesulitan dan dapat menimbulkan persengketaan. Contoh: air, padang rumput, api (energi), dll
2.Barang tambang dalam jumlah sangat besar. Barang tambang dalam jumlah sangat besar termasuk molok umum dan haram dimiliki secara pribadi. Contoh: minyak bumi, emas, perak, besi, tembaga dll.
3.Benda benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu. Ini meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah tanah umum, teluk, selat, dan sebagainya.
Hutan, air, energi termasuk pertambangan adalah milik negara tidak boleh dikuasai individu, swasta, apalagi pemilik modal atau asing. Selain itu ada ketentuan dalam pengelolaan kepentingan umum oleh negara misalnya pertambangan harus berdasarkan proses dan mekanisme yang ditentukan. Keuntungan dari pemanfaatan sumber daya milik umum harus dikembalikan kepada rakyat baik secara langsung maupun tidak.
Dalam memanfatakan sumberdaya milik umum tetaplah harus memperhatikan keberlangsungan keseluruhan, baik sumber daya yang bersangkutan maupun ekosistem lainnya agar tidak terjadi kerusakan dan pencemaran yang dapat membahayakan lingkungan serta masyarakat. Sebab dalam Islam manusia dan lingkungan memiliki hubungan yang sangat erat, karena Allah SWT menciptakan alam ini, termasuk manusia dengan lingkungan dalam keseimbangan dan keserasian yang harus dijaga, karena jika salah satu komponen rusak maka akan berdampak pada komponen lain. Karena itulah Islam sangat mendorong agar setiap muslim memperhatikan dan merawat lingkungan sekitarnya.
Sehingga satu satunya solusi atas segenap problematika adalah dengan menerapkan kembali sistem Islam secara totalitas dalam semua aspek kehidupan, sebagai wujud menerapkan seluruh isi Al-Quran.[]
*Penulis adalah Mahasiswi Universitas Khairun, Ternate, Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan semester 8
Comment