Mampukah Indonesia Atasi Ancaman Impor Ayam Brazil?

Opini649 Views

 

 

 

Oleh: Melisa, Aktivis & Co-Founder @keranjangkritik

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Indonesia terancam kena gempuran daging ayam impor murah dalam beberapa waktu ke depan. Penyebabnya bukan karena kekurangan stok dalam negeri, melainkan ada kewajiban dari Indonesia untuk memenuhi tuntutan setelah kalah gugatan dari Brazil di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

“Pemerintah tidak berencana impor daging ayam, tapi ada ancaman daging Brazil karena kita kalah di WTO,” kata Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Singgih Januratmoko kepada CNBC Indonesia, Jumat (23/4).

Kondisi ini sangat pelik, sebab daya saing industri perunggasan Indonesia sangat lemah. Harga daging yang tinggi dipicu dari harga pakan yang juga tinggi. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Kementerian Perdagangan Syailendra sudah mengingatkan bahwa serangan impor itu tidak mengada-ada. Karenanya peternak harus bisa menekan harga ayam dengan mengefisienkan harga pakan ternak. Ia pun mengajak semua unsur untuk mempersiapkan persoalan teknis di dalam negeri dengan baik sebelum ada serangan dari luar yakni ayam Brazil. Katanya kepada CNBC Indonesia, Jumat (23/4)

Khusus kasus sengketa dengan Brazil, Syailendra mengatakan pemerintah saat ini masih terus melakukan banding. Tujuannya agar serbuan tersebut bisa di tunda.

“Sekarang kita banding, tapi kalau diserang terus, satu dua tahun bisa rubuh juga.” Katanya.

Sebagaimana diketahui bahwa persoalan ini berawal dari gugatan negara Brazil ke Indonesia. Negeri Samba tersebut menggugat Indonesia ke Word Trade Organization (WTO) mengenai penolakan impor daging ayam. Gugatan ini dimulai tahun 2014 tapi kasusnya ditunda kemudian kembali mendapat gugatan Oktober 2016.

Kala itu, pemerintah Indonesia bersikukuh mempertahankan standar halal. Namun, Oktober 2017, WTO menyatakan Brazil telah memenangkan gugatan terkait aturan impor daging ayam, dan Indonesia harus menerima impor daging ayam dari Brazil.

Lalu bagaimana nasib peternak? Kemungkinan terburuknya adalah, ketika daging ayam berhasil diimpor lalu bersaing dengan ayam lokal, maka para peternak mungkin akan gulung tikar, kalah dalam persaingan karena harga daging ayam impor yang murah sementara daging ayam lokal terkesan mahal sebab harga pakan juga mahal.

Indonesia harus mampu melindungi kesejahteraan bangsa sendiri. Tidak takluk dengan keputusan sebuah badan dunia.

Jika kapasitas daging ayam dalam negeri masih tercukupi, maka pemerintah tidak perlu repot-repot mengimpor. Namun, kebijakan itu seperti lemah tak berpower ketika berhadapan dengan badan perdagangan dunia yang ingin membuka pasar bebas seluas-luasnya.

Berbagai bentuk kebijakan hingga persetujuan perdagangan bebas tersebut dipaksakan melalui lembaga dunia WTO. Indonesia sepatutnya menyadari, bahwa WTO hanya alat hegemoni bagi negara produsen, menjebak negeri dalam bahaya penjajahan ekonomi dan tidak sedikitpun memberikan keuntungan pada negeri ini.

Terlihat sejak WTO digagas di peru tahun 1994, dominasi Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam hal ini negeri adidaya atau negara maju, nampak begitu dominan dalam setiap pengambilan keputusan WTO.

Hal ini pula yang membuat negara maju memiliki dukungan domestik yang cukup tinggi hingga tidak sulit memberi tekanan pada negara berkembang untuk membuka pasar. Alhasil saat negara berkembang dan negara maju harus menghadapi pertarungan, permainan menjadi asimetris. Negara berkembang mudah KO dalam ring pertarungan pasar bebas.

Perdagangan dunia yang saat ini dikuasai oleh para pemodal atau negara adidaya, membuat siapapun yang jadi lawan harus siap untuk kalah. Termasuk indonesia yang terlanjur ikut nyemplung dan basah, menjadi diam tak berkutik saat badan perdagangan dunia memutuskan bersalah.

Untuk terlepas dari jeratan para kapital, dibutuhkan nyali besar sebab boikot menjadi ancaman. Berbeda ketika sebuah negara mengemban mabda Islam yang memiliki ketegasan dan kemandirian dalam membuat keputusan pada urusan kerjasama perdagangan bebas. Terbukti 13 abad yang lalu, mabda Islam berhasil meratakan kesejahteraan, adil dan stabil.

Kerjasama perdagangan dalam pandangan Islam, tidak dilihat dari aspek barang yang diperdagangkan tapi dilihat dengan siapa kerjasama perdagangan tersebut akan dilakukan. Oleh karena itu, dalam negara yang menganut mabda Islam terlebih dahulu membedakan negara Islam dengan negara kufur.

Bagi negara kufur yang memusuhi Islam, maka haram melakukan kerjasama perdagangan. Namun, negara kufur yang tidak memusuhi Islam, maka diperbolehkan mengadakan kejasama atau perjanjian.

Negara dengan mabda Islam juga akan memposisikan sektor peternakan sebagai bagian dari tanggung jawab kepemimpinan seorang penguasa. Karena itu, negara akan mengupayakan kebutuhan penunjang peroduksi ternak dengan sebaik-baiknya.

Adapun terkait dengan status halal dan haram, sepenuhnya tergantung pada pengaturan syariat. Impor daging dan produk terkait, misalnya. Daging hewan yang diimpor terkait dengan barang sembelihan (dzabiha). Kriteria penyembelihannya perlu diperhatikan karena menentukan status hukum kehalalannya.

Dari sini tergambar jelas begitu sempurnanya pengaturan perdagangan luar negeri dalam negara yang berasaskan Islam. Namun tentu saja hal tersebut hanya bisa diraih ketika negara memiliki keterikatan dengan syariat Islam secara Kaffah. Wallahu a’lam.[]

 

 

 

Comment