Mamik Laila |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Bulan maret didengang-dengungkan sebagai hari perempuan sedunia. Bertepatan dengan tgl 8 Maret 2019 kemarin, International Women’s Day menuntut adanya balance for better. Mereka menginginkan kesetaraan gender dalam dunia politik dan urusan negara, kesempatan dalam dunia pekerja, perlindungan dan kenyamanan, kebebasan berkarya dan berekspresi, melanjutkan pendidikan dan kesetaraan bagi sesama perempuan (kumparan.com/08/03/2019).
Berawal dari ketertindasan perempuan, Terutama Barat memperlakukan perempuan. Peradaban barat memandangkan perempuan hanya berfungsi sebagai pemuas syahwat laki-laki, tidak memiliki harga diri, subordinat, sebagai barang dagangan yang pantas untuk dijual belikan, bahkan hak-hak sipil yang harusnya mereka mendapatkan tidak mereka dapatkan. Seperti mendapat waris. Perempuan terhina dan terlecehkan bukan? Bahkan jauh sebelum Islam datang, bagi yang melahirkan anak perempuan, itu menjadi petaka dalam keluarga tersebut. Sehingga mereka sukarela mengubur hidup-hidup bayi perempuannya.
Islam datang memuliakan perempuan, perempuan dihormati bahkan statement surga ditelapak kaki ibu muncul setelah keberlangsungan Islam, diberi pahala dan derajat yang sama dengan laki-laki, perempuan juga diwajibkan berpendidikan sebagaimana laki-laki.
Sosok-sosok perempuan berpendidikan telah lama terlihat semenjak zamannya Muhammad Rosulullah, Fatimah istri Umar Bin Khattab sebagai bidan dimasanya, Aisyah binti Abu Bakar sebagai guru perempuan yang mengajarkan banyak tata kehidupan dari hadist-hadist nabi, Shafiyah binti Abdul Muthollib seorang pendidik hingga muridnya sekaligus putranya sebagai kesatria. Khansa’ pendidik ke empat putranya sebagai pahlawan-pahlawan Islam yang tangguh. Bahkan dimasa kekhilafahan bani Abbasiyah, Fatimah Alfihri adalah sosok perempuan hebat pendiri Universitas Alqawarriyin. Universitas ini adalah universitas tertua didunia dan masih ada sampai saat ini (www.republika.co.id/13/5/2013).
Jargon balance for better yang saat ini dimunculkan, bukanlah benar-benar jargon yang dibutuhkan perempuan. Kesalahan memakai pandangan kapitalis lebih jelas terlihat. Dalam kapitalisme, perempuan dipandang harus produktif. Kacamata produktif mereka adalah mampu menghasilkan materi. Mereka menempuh segala cara agar mampu meraihnya. Mereka melihat perempuan yang hanya dirumah, itu tidak produktif. Perempuan yang memiliki status pendidikan tinggi haruslah mendedikasikan pendidikannya untuk mencapai materi yang maksimal.
Mereka antipati dengan perempuan berpendidikan tinggi yang hanya dirumah saja mengurus rumah tangga dan anak-anaknya. Mereka menganggap menjadi ibu rumah tangga adalah peran subordinat yang harusnya dilakukan para asisten rumah tangga. Bukan perempuan-perempuan maju seperti mereka. Kesalahan pandangan inilah yang dikedepankan. Mereka tidak mengerti dan tidak menyadari kehancuran kala mereka harus meninggalkan keluarganya.
Secara logika, mereka menafikkan kodrat perempuan. Mereka menginginkan perempuan harus sama dengan laki-laki. Padahal secara fitroh penciptaan mereka berbeda, memiliki fungsi penciptaan yang berbeda. Peranan yang telah disematkan pun juga berbeda. Sangat aneh ketika melihat laki-laki adalah saingan mereka. Padahal perempuan adalah mitra bagi laki-laki.
Islam memuliakan perempuan dalam segala lini. Produktivitas perempuan bukan dari sisi kesejahteraan materi semata. Namun produktivitas perempuan sebagai pencetak generasi. Adanya tujuan mulia pernikahan dalam Islam adalah untuk melanjutkan keturunan. Keturunan yang nantinya muncul adalah keturunan yang mampu membangun peradaban mulia.
Tidak seperti barat yang dengan ide kebebasannya, para perempuan tidak mau lagi direpotkan dengan hamil, memiliki dan merawat anak. Dan faktapun telah berbicara, pemerintah Singapura akan memberikan uang pada orangtua yang melahirkan anak sebesar US$8.000 (Rp109 juta), atau US$10 ribu (Rp136 juta) bagi anak ketiga atau seterusnya. Begitupun dengan negara Jepang, Rusia dan Jerman dengan programnya supaya mereka memiliki generasi selanjutnya (https://m.cnnindonesia.com/internasional/20151030110856-113-88385/empat-negara-ini-dorong-warganya-perbanyak-anak).
Produktivitas mencetak generasi tidak bisa dipandang remeh. Islam menempatkan perempuan sebagai ummun wa robbatul bait / ibu pencetak generasi adalah posisi yang sangat tepat. Betapa pandangan ini jauh melampaui pemikiran Barat tentang perempuan. Dan pandangan ini telah nyata dampak positifnya. Tidak ada keraguan dalam menjalankan pandangan Islam ini. Secara teori dan praktik, Islam unggul dibanding ideologi lain. Masih tak mau menerapkan Islam sebagai ideologi?
Mamik Laila,
Penulis buku Coretan Indonesiaku
Comment