Malas Menulis, Kenaikan Pangkat Tak Mulus

Opini687 Views

 

Oleh: Rusmila, S.Pd, Guru SMP Negeri 1 Simpang Empat, Tanah Bumbu

________

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Guru sebagai bagian dari kaum intelektual dituntut untuk bisa menulis serta mempublikasikannya.Tujuannya tentu saja untuk pengembangan profesi guru sebagai garda depan dalam upaya mencerdaskan generasi muda dan pewaris perjuangan bangsa.

Bukan rahasia lagi, jika guru (ASN )ingin naik pangkat mereka harus membuat tulisan untuk dipublikasikan. Hal ini kadang menjadi masalah, karena untuk menulis sebuah artikel dibutuhkan keterampilan tersendiri. Mereka harus memiliki keterampilan mengolah kata, memilih kata serta menggabungkan kalimat yang satu dengan yang lain. Wajar apabila banyak guru yang mengalami kesulitan dalam membuat tulisan untuk dipublikasikan di media baik media cetak maupun online.

Publikasi ilmiah khususnya opini memang menjadi tantangan tersendiri.
Benarkah menulis artikel itu sulit ? Lalu apa penyebabnya? Menulis merupakan habits yang harus dilatih. Semakin sering menulis akan semakin lincah menorehkan kata-kata menjadi kalimat.

Namun fakta di lapangan banyak guru yang kurang memiliki motivasi untuk menulis. Tidak sedikit guru yang telah memiliki jam terbang tinggi, masa kerja dan kepangkatan yang mumpuni namun tetap merasa enggan untuk menulis. Karena menurut mereka, susah memulainya dari mana.

Hal ini dilatar belakangi beberapa faktor misalnya rasa malas, yang hadir bukan hanya karena kurangnya waktu untuk menulis karya ilmiah tetapi juga untuk mengembangkan pikiran dan menjadi guru profesional.

Rasa malas menulis bisa diakibatkan karena beberapa hal. Misalnya kesibukan dengan rutinitas kedinasan. Seperti menyiapkan perangkat pembelajaran, media pembelajaran, merancang pembelajaran dan membuat perancanaan SKP, sasaran kerja dan lainnya. Sehingga energi mereka seolah habis, akibatnya mereka malas jika harus menambah kesibukkan lain misalnya menulis.

Faktor kedua yang menjadikan guru malas menulis adalah sulitnya mencari ide. Kadang di tengah aktivitas yang padat, seorang guru menyisihkan waktu 1-2 jam untuk menulis. Tetapi saat ingin memulai menulis blank tidak ada satu ide pun yang muncul, tentu saja hal ini juga menjadi faktor penghambat dalam menulis sebuah artikel.

Faktor ketiga adalah kurang rasa percaya diri terhadap karya sendiri. Takut karyanya kurang bagus, tulisan kurang maksimal sehingga merasa enggan untuk menulis dan mempublikasikannya.

Keempat, guru kurang keberanian untuk menulis. Banyak guru yang merasa dirinya hanya memiliki sedikit pengetahuan, pengalaman dan ide-ide, sehingga minder duluan sebelum mulai menulis. Padahal guru adalah gudangnya ilmu, mereka memiliki segudang ide untuk ditulis, mulai dari menulis bahan ajar, strategi pembelajaran, kondisi peserta didik dan perkembangannya.

Kelima, guru belum memanfaatkan secara optimal media yang tersedia. Sebagaimana kita ketahui perkembangan dunia pendidikan saat ini demikian canggihnya. Sekolah-sekolah dituntut memiliki fasilitas yang lengkap mulai dari ruang kelas, alat peraga, fasilitas perpustakaan, bahkan lebih canggih lagi adanya fasilitas teknologi informatika.

Namun karena belum bisa memanfaatkan secara maksimal, maka sulit bagi mereka untuk membuat tulisan.

Faktor lain adalah lingkungan kerja yang kurang mendukung juga kurangnya penghargaan terhadap karya yang dihasilkan. Seperti terjadinya plagiasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal ini menjadikan guru malas menulis karena merasa idenya dicuri pihak lain, padahal untuk mencari ide di tengah kesibukan sebagai pendidik bukanlah hal yang mudah.

Sulitnya mengirimkan hasil karya ke media juga faktor penyebabnya. Beberapa guru yang sudah dikatakan professional yang mahir dalam bidang publikasi ilmiah terutama bidang menulis tersendat mempublikasikan tulisan opininya. Hal ini terjadi karena kurangnya relasi dengan media, sehingga ketika akan mempublikasikan tulisan mereka bingung dengan mekanismenya.

Sebenarnya ada beberapa tips bagaimana membuang rasa malas menulis yaitu, dengan cara memotivasi diri sendiri. Untuk mengembangkan kompetensi kita sebagai pendidik, tentu kita tidak boleh merasa puas dengan hasil kemampuan kita secara pribadi. Menjalin relasi dengan awak media baik cetak maupun online sehingga proses penerbitan karya tulis semakin mudah.

Apalagi pemerintah juga telah membuat kebijakan yang tertuang dalam (Permen) Negara pendayagunaan Aparatur Negara dan reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya yang berlaku efektif sejak awal tahun 2013.

Maka para guru sudah seharusnya menyambut dengan baik kebijakan tersebut. Dengan rajinnya kalangan guru menulis akan memberikan gambaran yang berbeda mengenai sosok guru, mereka juga bisa menularkan kebiasaan menulis kepada anak didiknya. Dampak positifnya budaya literasi di Indonesia akan semakin meningkat.

Jadi bagi guru yang belum terbiasa menulis teruslah berlatih, karena seringnya berlatih itu akan menjadi habits. Sehingga ke depan menulis bukan lagu momok tapi tuntutan, kebiasaan, sekaligus kebutuhan bagi kalangan guru. Dengan begitu akan meningkatkan kapasitas guru sebagai pendidik yang unggul, juara dan berdaya.[]

Comment