RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Umat saat ini tentu merindukan sosok pemimpin yang beriman dan mampu melaksanakan tugas kepemimpinan dengan baik. Hal ini sebagai indikasi bahwa kesadaran keislaman mereka semakin kuat.
Selain itu, mereka juga sesungguhnya telah muak dengan sistem sekular-kapitalis-liberal yang terbukti gagal. Sistem ini hanya memproduksi banyak persoalan seperti kemiskinan, pengangguran, utang luar negeri, penanganan wabah yang amburadul, dll.
Dalam Islam, pemimpin haruslah orang yang beriman dan mampu menegakkan aturan-aturan dari Allah SWT.
Pemimpin yang mampu menegakkan syariah Allah tidak akan mengkhianati rakyat yang telah memilih dirinya, tetapi yang lebih penting lagi dia tidak akan mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Di dalam al-Qur’an Allah SWT telah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta jangan mengkhianati amanah-amanah kalian, sementara kalian tahu.” (TQS al-Anfal [8]:27)..
Tentu, kekuasaan yang diberikan kepada seorang pemimpin adalah bagian dari amanah, bahkan salah satu amanah yang amat penting, yang haram untuk dikhianati. Karena itu, siapa pun yang menjadi seorang pemimpin wajib amanah. Apalagi Rasulullah SAW telah bersabda :
“Tidak seorang hamba pun yang diserahi oleh Allah untuk mengurusi rakyat, lalu tidak menjalankan urusannya itu dengan penuh loyalitas, kecuali dia tidak akan mencium bau surga.”(HR. Al-Bukhari).
Selain menjadi pemimpin yang amanah, pemimpin juga wajib memimpin umat dengan adil. Namun sayang, sistem demokrasi sekular saat ini sering melahirkan pemimpin yang tidak adil alias fasik dan zalim.
Mengapa? Sebab, sistem demokrasi sekular memang tidak mensyaratkan pemimpin atau penguasanya untuk memerintah dengan hukum Allah SWT. Saat pemimpin tidak memerintah atau tidak berhukum dengan hukum Allah SWT, jelas dia telah berlaku zalim. Sebagaimana telah Allah tegaskan dalam al-Qur’an surah al-Maidah [5] : 45 yang artinya :
“Siapa saja yang tidak memerintah dengan wahyu yang telah Allah turunkan, mereka itulah pelaku kezaliman.”
Alhasil, seorang pemimpin baru bisa dan baru layak disebut sebagai pemimpin yang adil saat memerintah berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, bukan dengan yang lain. Tentu, sosok pemimpin yang adil dan menjalankan apa saja yang Allah perintahkan adalah pemimpin yang dicintai Allah dan umat.
Imam ath-Thabari, dalam tafsirnya, menukil perkatan Ali bin Abi Thalib ra. “Kewajiban imam/penguasa adalah berhukum dengan hukum yang telah Allah turunkan dan menunaikan amanah. Jika ia telah menunaikan hal itu maka wajib bagi orang-orang untuk mendengarkan dan menaati dia, juga memenuhi seruannya jika mereka diseru…”
Inilah dua sifat yang melekat pada pemimpin yang adil: Pertama, menjalankan hukum-hukum Allah SWT, seperti menjaga pelaksanaan ibadah mahdhah umat (shalat lima waktu, shalat Jumat, shaum Ramadhan, zakat, dll), mengawasi dan memelihara muamalah agar sesuai syariah Islam (seperti perdagangan, utang-piutang, dan menutup pintu riba), melaksanakan peradilan dan pidana Islam (seperti had untuk pezina, peminum khamr, pencuri, dll).
Kedua, menunaikan amanah yang dipikulkan kepada dirinya, yakni memelihara urusan umat; menjamin kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, papan agar dapat diperoleh umat dengan mudah dan murah; menyelenggarakan pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis; serta melindungi rakyat dari berbagai gangguan dan ancaman.
Saat mengharapkan pemimpin yang memiliki berbagai sifat mulia dan tangguh dalam memimpin, Islam telah memiliki kriteria tersebut. Dalam kitab Nizhamal-Hukm fii al-Islam, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani menyebutkan syarat-syarat syar’i yang wajib ada pada seorang pemimpin yaitu : (1) Muslim; (2) laki-laki; (3) dewasa; (4) berakal; (5) adil (tidak fasik); (6) merdeka; (7) mampu melaksanakan amanah negara berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW.
Syeikh an-Nabhani juga menyebutkan syarat tambahan–sebagai keutamaan, bukan keharusan–bagi seorang pemimpin di antaranya : (1) mujtahid; (2) pemberani; (3) politikus ulung.
Syeikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Afkar as-Siyasiyyah juga menyebutkan beberapa karakter seorang pemimpin, yaitu : berkepribadian kuat, bertakwa, memiliki sifat welas asih, penuh perhatian kepada rakyatnya, dan istiqamah memerintah dengan syariah Islam.
Lantas, mengapa saat ini muncul para pemimpin yang zalim dan dibenci oleh Allah SWT dan umat? Pertama, ketika agama sudah dipisahkan dari kekuasaan, tentu tidak ada lagi yang bisa menghentikan syahwat kekuasaan dan keserakahan. Ketika itu ketaatan kepada Allah SWT telah lenyap.
Tidak ada lagi rasa takut untuk menyingkirkan hukum-hukum Allah dan menggantinya dengan aturan buatan manusia yang penuh dengan hawa nafsu.
Bisa jadi mereka menghalalkan riba, minuman keras, LGBT, tidak memberlakukan pidana Isalm, dsb. Tidak ada lagi rasa gentar terhadap azab Allah manakala berbuat kezaliman dan menipu umat.
Akan beda bila para pemimpin menjadikan akidah Islam sebagai pondasi kehidupan dan kekuasaan. Akan muncul rasa gentar untuk menyelewengkan hukum-hukum Allah dan takut bila mengkhianati amanah umat, karena ingat akan kerasnya siksa Allah bagi mereka :
“Tidaklah mati seorang hamba yang Allah mintaa untuk mengurus rakyat, sementara dia dalam keadaan menipu (mengkhianati) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Kedua, para pemimpin zalim bermunculan manakala umat meninggalkan kewajiban amar makruf nahi munkar. Nabi SAW bersabda :
“Hendaklah kalian melakukan amar makruf nahi munkar. Kalau tidak, Allah akan menjadikan orang-orang yang paling jahat di antara kalian berkuasa atas kalian, kemudian orang-orang baik di antara kalian berdoa, tetapi doa mereka tidak dikabulkan.”(HR. Ahmad).
Dengan demikian, agenda umat dan ulamanya saat ini sejatinya adalah bagaimana mewujudkan kehidupan Islam yang memiliki kepemimpinan syar’i (sesuai aturan Allah) yang meliputi sosok pemimpin syar’i dan sistem kepemimpinan yang syar’i pula. Kita berharap, hal ini bisa menjadi kesadaran dan opini umum kaum Muslim.
Dengan itu aspirsi dan kecenderungan kaum Muslim tidak hanya sekadar memilih sosok pemimpin yang berkarakter sebagaimana disebutkan syarat-syarat dan kriterianya di atas.
Lebih dari itu, mereka juga mau memperjuangkan sistem kepemimpinan Islam sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW saat membangun Daulah Islam di Madinah.
Sistem ini kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin yang oleh Rasulullah SAW disebut sebagai Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah.
Sejak Rasulullah diutus, tidak ada masyarakat yang mampu melahirkan para pemimpin yang amanah dan adil kecuali dalam msyarakat yang menerapkan sistem Islam.
Para Khulafaur Rasyidin yang terkenal dalam kearifan, keberanian, dan ketegasan mereka dalam membela Islam dan kaum Muslim, mereka adalah sosok pemimpin yang tumbuh dari rahim sistem kepemimpinan syar’i.
Mereka adalah negarawan ulung yang sangat dicintai oleh rakyatnya dan ditakuti oleh lawan-lawannya. Mereka juga termasyhur sebagai pemimpin yang memiliki akhlak yang agung dan luhur. Begitulah pemimpin saat menerapkan syariah Islam.
Jika syariah Islam diterapkan, maka menerapkan aturan dengan penuh keadilan dari pemimpin dalam berbagai perkara, apapun bentuknya, dan siapapun yang terlibat akan terwujud. Sebab, syariah Islam yang dijadikan dasar untuk memutuskan perkara berasal dari Zat yang Mahaadil.
Di sisi lain, dengan penerapan syariah Islam secara kaffah, suasana keimanan terbangun dan melingkupi masyarakat dan rasa takut kepada allah SWT.
Karena itu, siapa pun yang merindukan dan menginginkan sosok pemimpin yang dicintai Allah dan umat, hendaknya saling bahu-membahu memperjuangkan penerapan syariah Islah secara kaffah.Wallah a’lam bi ash-shawab.[]
*Mahasiswa Universitas Negeri Malang
Comment