RADARINDONESIANEWS. COM, JAKARTA – Bertahun-tahun telah kita saksikan penderitaan saudara kita di berbagai belahan bumi. Uyghur, Suriah, Palestina, Myanmar, Rohingya, dan berbagai wilayah minoritas Muslim lainnya. Namun, bertahun-tahun pulalah kita mendiamkannya.
Senyap, hening, dan membisu seribu bahasa. Tidak sedikit negara yang mengecam, tetapi banyak pula yang mencukupkan dengan diam. Padahal saudara Muslim kita tengah mempertaruhkan nyawanya demi mempertahankan Islam.
Kondisi kaum Muslim di negeri minoritas muslim sungguh mengenaskan.
Kini kembali mencuat kabar di tengah-tengah kita bagaimana kondisi umat Islam (muslim Uyghur) di negeri China. Dilansir dari berbagai media internasional sejak beberapa tahun lalu, mengabarkan bahwa China telah melarang penggunaan nama yang berbau Islam pada bayi yang baru lahir, dengan ancaman apabila melanggar maka tidak akan mendapatkan pekerjaan selamanya (Bloomberg dan The Guardian. 2017).
Selain itu, keluarga Muslim Uyghur harus menerima kehadiran tamu dari partai komunis yang diutus negera ke rumah mereka untuk mengawasi, mendoktrin dengan komunisme, melarang Uyghur melakukan ibadah, dan mengucapkan salam sekalipun (AsiaNews. 2017, CNN. 2017, Reuters, dll).
Lebih jauh lagi, para Muslimah Uyghur di daerah Turkistan Timur, provinsi Xinjiang, wilayah yang dijajah partai komunis sejak tahun 1941, dinikahkan paksa dengan laki-laki non-muslim dari Suku Han dengan dalih asimilasi budaya (AsiaTimes. 2018) dan setiap gerak-gerik kaum muslim Uyghur diawasi oleh pemerintah China, hal ini direalisasikan pemerintah China dengan memasang 4.000 kamera pendeteksi wajah di seluruh tempat (The Guardian, Financial Times, Muslim Council Hongkong).
Hal paling memprihatinkan adalah sekitar satu juta Muslim Uyghur dimasukkan ke kamp konsentrasi ‘re-edukasi’, didoktrin ajaran komunis dan patriotisme China, bahkan dipaksa makan babi dan minum alkohol, sedikit demi sedikit dipaksa menggelontorkan agama mereka (Vox, Independent, Breitbart. 2018).
Berita tersebut hanyalah sebagian fakta yang diliput oleh media, lantas bagaimana dengan fakta yang tidak diketahui oleh media?
Seharusnya dengan fakta yang telah terbuka, sebagai seorang muslim kita berani membela saudara-saudara kita. Kita sadar betul bahwa menyuarakan kebenaran adalah sebuah kawajiban. Apresiasi besar kepada seorang muslim yang lantang menyuarakan dan membela Muslim Uyghur.
Mesut Ozil misalnya, pemain sepak bola klub Arsenal itu dalam akun twitternya mengecam muslim di seluruh dunia karena sikap diamnya kepada kebiadaban pemerintah China. Ia mengatakan “Di China al-Qur’an dibakar, masjid ditutup, sekolah-sekolah teologi Islam, madrasah dilarang, cendekiawan agama dibunuh satu per satu. Terlepas dari semua ini, namun muslim masih tetap diam?”.
Namun, tidak lama setelah mengunggah kecamannya tersebut, Mesut Ozil dihapus sepenuhnya dari internet China.
Begitulah seharusnya sikap seorang muslim, berani menyuarakan kebenaran meskipun dengan berbagai risiko di depan mata.
Sungguh, penindasan Muslim Uyghur ini tidak bisa dilepaskan dari tata dunia kapitalistik yang terus menarget Muslim Uyghur. Tata dunia kapitalistik hari ini telah menempatkan kepentingan ekonomi dan politik lebih tinggi dari kemanusiaan dan hak-hak dasar manusia, termasuk hak beribadah kepada Allah swt. Mega proyek yang terus dijalankan oleh China, New Silk Road, adalah salah satu indikasi kuatnya motivasi China memenangkan persaingan geopolitik baru di kawasan Asia Tengah.
Beberapa pakar memperkirakan bahwa China mungkin akan menggusur peran AS dan Rusia di Asia Tengah – sebuah kawasan geostrategis penting bagi semua pihak. Apalagi penarikan pasukan militer AS dari Afganistan akan meninggalkan kekosongan kekuasaan, dan resistensi negeri-negeri Asia Tengah terhadap Rusia membuat China semakin populer di mata rezim-rezim “stan” di Asia Tengah sebagai mitra dagang, keamanan, dan pembangunan bersama. (The Diplomat – China’s New Silk Road and Its Impact in Xinjiang : http://thediplomat.com/2015/03/chinas-new-silk-road-and-its-impact-on-xinjiang/)
Meskipun proyek ini merupakan kepentingan ekonomi China dalam energi, bahan baku, dan pasar yang akan terus mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak bisa dipahami hanya dari segi ekonomi saja.
Karena kesepakatan puluhan miliar dollar (40 miliar US$) antara China dan negara-negara Asia Tengah yang telah dibuat adalah tentang penyaluran minyak dan gas dari negara-negara tetangga Asia Tengah langsung ke China melalui wilayah Xinjiang yang bergolak dimana 10 juta jiwa Muslim Uyghur tinggal.
Lebih jahat lagi, di tengah transaksi bisnis itu, semua negara anggota dan negara pengamat dari Shanghai Cooperation Organisation (SCO) – serikat politik dan ekonomi yang dipimpin China – hampir semua menjanjikan dukungan mereka untuk memerangi apa yang disebut Beijing sebagai “terorisme Uyghur”. (Al Jazeera – Bolstered Silk Road trade could hurt China’s Uighurs : http://america.aljazeera.com/article/2014/11/11/china-xinjiang-apec.html)
Inilah realitas penderitaan kaum Muslim yang menyayat hati, di timur dunia Islam.
Ditambah dengan kepentingan ekonomi dan geopolitik China beserta antek-anteknya yang semakin memborbardir kaum Muslim Uyghur. Kamp yang dilabeli oleh China sebagai tempat re-edukasi – pendidikan kembali – bagi Muslim Uyghur tak pelak dari tujuannya mengikis keberadaan kaum muslim di China. Bukan rahasia lagi bahwa pemerintah China menganggap bahwa keberadaan Muslim Uyghur di provinsi Xinjiang sebagai pihak yang mengganggu keamanan dan kestabilan.
Sungguh tindakan-tindakan permusuhan yang dilakukan oleh China terhadap kaum Muslim di Turkistan Timur ini mencerminkan sejauh mana kebencian China sebagai rezim komunis-kapitalis terhadap Islam, juga merupakan ketakutan pemerintah China akan pengaruh Islam yang besar pada masyarakat China. Ini menunjukkan sisa-sisa doktrin komunis yang represif dan memiliki warisan sejarah penganiayaan agama minoritas masih tetap berakar kuat dalam negara. Jika ideologi yang diemban China masihlah komunis-kapitalis, selama itu pula penderitaan kaum Muslim akan terus berlangsung.
Semakin kuat China menyerang MuslimUyghur, maka sebenarnya semakin terlihat betapa besar ketakutan mereka terhadap kekuatan Islam. Fakta sejarah membuktikan, bahwa China begitu tidak berdaya menghadapi kekuatan ideologi Islam pada abad 6 M di mana rakyat China saat itu berbondong-bondong masuk Islam setelah wilayah Asia Tengah ditaklukkan oleh panglima Qutaibah din Muslim di bawah kepemimpinan khalifah Islam di zaman al-Walid bin ‘Abdul Malik.
Kekuatan Islam secara sistematis mampu menggeser kekuasaan penguasa-penguasa dzolim di wilayah Asia. Pengalaman sejarah telah membuat China gemetar dan takut, hingga melahirkan dampak politik yang luar biasa terukir di benak China bahwa kekuatan Islam mampu menundukkan 2/3 dunia.
Saat ini mereka tengah menghalangi kekuatan Islam itu muncul kembali dengan menindas secara brutal kaum Muslim Uyghur.
Akan tetapi, yakinlah bahwa cahaya Islam itu tidak akan pernah padam. Sejarah akan terulang kembali. Inilah yang akan membebaskan kaum Muslim Uyghur, bahkan kaum Muslim yang tertindas di belahan bumi lainnya. Dengan bersatunya umat Muslim di bawah panji Rasulllah dan Daulah Islam, kekuatan Islam akan mampu mengguncang dunia. Menggeser para pemimpin dzolim dari kursi-kursi kekuasaan.
Daulah Islam akan menggunakan seluruh daya upaya, baik politik, ekonomi, maupun militer untuk memebebaskan dan melindungi umat Islam dari penindasan kaum kafir, membela darah dan kehormatan kaum Muslim.
Daulah Islam akan mengerahkan kekuatan militernya secara penuh tanpa memandang di mana mereka berada dan berapa biayanya untuk membela umat Islam. Sebab Daulah Islam adalah negara yang berprinsip, berdasarkan nilai moral Islam yang luhur menempatkan kehormatan jiwa setiap manusia di tempat yang tinggi dan agung. Bahkan ini adalah kewajiban bagi Daulah Islam untuk melindungi darah kaum Muslim, sebagaimana sabda Rasulullah saw :
“Sesungguhnya seorang pemimpin itu merupakan perisai, rakyat akan berperang di belakang serta berlindung dengannya”(HR. Muslim).
*Mahasiswi Universitas Negeri Malang
Comment