Mala Oktavia*: Di Balik Pengesahan UU Omnibus Law

Opini640 Views

 

 

Sejak dicanangkan dan dibahas pada Januari 2020, Omnibus Law telah menuai berbagai kritik. Tak sedikit masyarakat yang menolak bahkan perserikatan mahasiswa juga pernah bersuara lantang menolak UU ini.

Rancangan Omnibus Law yang mulai diserahkan kepada DPR bulan Desember, bahkan mulanya diharapkan selesai dibahas selama tiga bulan dan akan disahkan pada bulan April 2020, seperti harapan Ketua Umum Kamar Dagang dan Indsutri (Kadin) Indonesia, Rosan Perkasa.

Aksi mahasiswa yang menolak RUU Omnibus Law sebelum disahkan, di antaranya mengkritisi bahwa RUU ini tidak berpihak kepada tenaga kerja dan rakyat.

Selain itu, mahasiswa menyoroti sejumlah isu dalam aksi penolakan mereka, mereka menilai bahwa penyusunan RUU Omnibus Law ini cacat prosedur karena dilakukan secara tertutup, dengan adanya Omnibus Law maka perbudakan modern akan semakin kentara dalam sistem saat ini, memperbesar potensi PHK, dan lain-lain. Mahasiswa berharap dengan aksinya tersebut, DPR RI akan menolak RUU Omnibus Law.

Namun, sayang seribu sayang. Bak jauh panggang dari api, harapan itu hanya tinggal kata-kata yang berlalu dengan waktu. Senin, 5 Oktober 2020, RUU Omnibus Law telah disahkan oleh pihak DPR RI menjadi UU Omnibus Law.

Dilansir dari detik.com, kesepakatan soal RUU ini diambil dalam rapat paripurna yang digelar di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Turut hadir dalam rapat Menko Perekonomian Airlanga Hartarto, Menaker Ida Fauziyah, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, Menkeu Sri Mulyani, Mendagri Tito Karnavian, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil, dan Menkum HAM Yasonna Laoly.

Tujuh fraksi menyetujui pengesahan RUU Cipta Kerja, di antaranya adalah fraksi PDIP, Golkar, Gerinda, Nasdem, PPP. Beberapa di antaranya (PKB, Amanat Nasional) menerima dengan catatan, sementara dua fraksi yaitu Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolaknya.

Melalui juru bicaranya, Marwan Cik Hasan, fraksi Demokrat menyatakan pihaknya menolak pengesahan RUU Cipta Kerja, hal ini karena “hak kaum pekerja dipinggirkan” serta “terlalu kapitalistik dan neoliberalistik”. Sementara fraksi PKS, Amin AK mengatakan bahwa UU ini bisa membuka liberalisasi pendidikan (detik news).

Rapat yang digelar tertutup serta pengambilan keputusan yang terkesan cepat dan mendadak menjadikan hal ini penuh tanda tanya.

Apalagi keputusan ini diambil di masa pandemi Covid-19, di mana seharusnya pemerintah fokus kepada penyelesaian wabah bukan kepada pembuatan UU baru. Apa sebenarnya yang hendak dicapai dari pengesahan UU ini? Tentu akan banyak yang bertanya demikian.

Pengesahan UU Omnibus Law tidak lain adalah sarana mempermudah para kapital/pemodal dalam menancapkan kekuasaan di negeri ini.

Eksploitasi sumber daya alam bisa jadi dilakukan secara besar-besaran karena ada banyak kemudahan izin yang akan diberikan kepada investor asing. Kekhawatiran semakin menjadi tatkala pasar dalam negeri nantinya juga bisa dikuasai oleh kepentingan investor asing sehingga akan mempersulit kondisi pasar dan pengusaha dalam negeri. Maka tidak heran jika buruh, mahasiswa, dan rakyat pada umumnya menolak UU ini.

Jika dikatakan Omnibus Law bisa bisa menggerakan perokonomian dengan bertumpu pada investasi asing, hal ini paradoks dengan tren investasi asing hari ini yang cenderung mengarah pada modal bukan pada karya. Artinya, investor asing mengedepankan kepada proyek-proyek yang tidak banyak serapan tenaga kerjanya.

Lalu, bagaimana mungkin dalam situasi fakta tren investasi asing semacam ini ada harapan untuk bisa menggerakkan perokonomian bagi rakyat dalam negeri?
Dengan disahkannya UU Omnibus Law ini, semakin menandakan bahwa pemerintah dan DPR dalam sistem kapitalisme ini sejatinya bukanlah wakil rakyat, karena memang tidak membela kepentingan rakyat.

Mereka hanya menjadi wakil pengusaha dan pemodal. Alih-alih mengedepankan urusan kesejahteraan rakyat, mereka sibuk dengan urusan kekayaan pribadi dan korporasi.

Seharusnya kita menyadari, bahwa aturan apapun yang lahir dari sistem kapitalisme ini tidak akan pernah menyejahterakan rakyat.

Asasnya yang berpihak pada para kapital/pemodal dan selalu paradoks dengan aturan bawaannya, merupakan kecacatan sistem yang melahirkan penguasa dan pemimpin yang munafik, tidak adil, dan jauh dari ketaatan. Apaka kita masih mau bertumpu pada sistem cacat seperti ini?.

Bukankah Allah telah mewanti-wanti umat Muslim dalam Al-Qur’an, bahwa memang telah menjadi watak kaum munafik mengatur siasat dan keputusan di malam hari untuk menyesatkan umat Muslim di keesokan harinya, dan ini terbukti sekarang dilakuakn oleh penguasa dan pemimpin negeri ini.
“Dan mereka (orang-orang munafik) mengatakan: “(Kewajiban kami hanyalah) taat”.

Tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu, sebahagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi. Allah menulis siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka berpalinglah kamu dari mereka dan tawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi Pelindung.”(TQS. An-Nisa ayat 81).

Seharusnya pemerintah saat ini fokus pada penyelesaian wabah, ketika wabah ini telah berhasil teratasi, maka bisa membicarakan terkait mekanisme-mekanisme secara praktis untuk menggerakkan perokonomian yang mengalami perlambatan. Penyelesaian wabah ini tidak akan bisa diatasi oleh negara yang masih bergantung pada negara atau lembaga luar.

Sebab, penyelesaian wabah ini membutuhkan sistem yang kokoh, 3 sistem pokok yang harus dimiliki adalah sistem politik, sistem ekonmi, dan sistem kesehatan.
Sistem politik yang kokoh ditandai dengan kemandirian negara ketika mengambil keputusan, ketika mengambil langkah untuk menyelesaikan wabah tidak dalam kondisi ditekan dan bergantung pada lembaga luar atau negara lain. Sistem ekonomi yang kokoh diwujudkan dalam kekuangan negara yang stabil. Apalagi di masa pandemi seperti ini, maka dibutuhkan pembiayaan yang besar sekaligus pemasukan yang besar untuk mengakomodasi pengeluaran negara secara besar.

Sistem kesehatan yang kokoh, yakni yang tidak dalam kooptasi korporasi. Terutama dalam kooktasi korporasi-korporasi raksasa. Di mana ketika berada di tangan korporasi, kesehatan menjadi fasilitas elit dan diperjualbelikan.

Jika tiga sistem pokok tadi dimiliki oleh negara yang diimplementasikan dengan penerapan Islam, maka wabah bisa segera diselesaikan. Sekaligus setelah wabah terselesaikan, Islam akan memberikan jalan untuk menggerakkan faktor ekonomi, baik makro maupun mikro.

Melalui penerapan mata uang dinar dirham yang stabil, tawaran sistem kebijakan viskal berlandaskan syariat Islam yang berbasis aset produktif untuk selalu dikembangakan, dan sistem keuangan syariah, yaitu baitul mal yang terbukti memberikan pemasukan besar negara untuk mengatur rakyatnya sehingga negara tidak perlu utang kepada negara lain.

Ditambah dengan pribadi bentukan sistem Islam adalah pribadi yang baik dan luhur, bukan seperti pribadi bentukan sistem kapitalisme sekuler yang tamak, serakah, dan ingin menguasi segala sesuatu secara pribadi yang justru akan menimbulkan persoalan dalam perekonomian.

Bentukan Islam ini melahirkan pribadi yang tidak tamak pada harta, selalu mementingkan kepentingan orang lain, dan mengupayakan/berusaha dengan mengembangkan harta seperlunya untuk mensejahterakan diri dan orang lain sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.

Begitulah sempurnanya Islam dalam mengatur kehidupan manusia. Lantas masihkah kita mau diatur oleh aturan yang lahir dari rahim peradaban kapitalisme sekuler yang terus menyengsarakan rakyat?

*Mahasiswi Universitas Negeri Malang

Comment