RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Keterpurukan dan kemunduran yang dialami oleh umat manusia khususnya kaum muslimin merupakan realitas yang nampak. Kemunduran yang paling mendasar adalah kemunduran pada institusi keluarga.
Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung (MA) 2019 yang dikutip detik.com, Jumat (28/2/2020), nyaris setengah juta pasangan suami istri (pasutri) di Indonesia terlibat perceraian sepanjang 2019. Dari jumlah itu, mayoritas perceraian terjadi atas gugatan istri.
Tentunya ini bukan jumlah yang sedikit, apalagi yang tercatat adalah kasus yang sudah inkrah di pengadilan saja. Sementara yang masih dalam proses pengadilan atau baru terdaftar di pengadilan, atau kasus perceraian yang terjadi di bawah tangan, belum masuk dalam hitungan. Jumlah sesungguhnya bisa jadi jauh lebih besar.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik tahun 2019, jumlah perceraian di Indonesia 2015-2018 terdapat 408.202 kasus. Angka ini meningkat 9% dibandingkan tahun sebelumnya. Penyebab terbesar perceraian pada 2018 adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus dengan angka 183.085 kasus. Faktor ekonomi menempati urutan kedua, yaitu sebanyak 110.909 kasus. Sementara masalah lainnya adalah suami/istri pergi (17,55%), KDRT (2,15%), dan mabuk (0,85%). (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/02/20)
Mengapa Hal Ini Terjadi?
Kerusakan sendi-sendi hubungan sosial kemasyarakatan, baik di sektor privat ataupun publik merupakan realitas yang terjadi. Masyarakat dunia serempak memiliki penyakit sosial yang berawal dari pembangkangan mereka atas aturan syariah Islam kaffah. Padahal aturan syariah sungguh sederhana untuk diterapkan oleh sebuah negara. Buah dari penerapannya adalah penjagaan terhadap keharmonisan sosial antar anggota masyarakat dan keluarga.
Watak liberal ( serba bebas) yang lahir dari Kapitalisme turut memberi andil terhadap penghancuran peran sentral setiap anggota keluarga. Persaingan ekonomi yang keras menekan perempuan untuk memasuki dunia kerja.
Mereka dipaksa mengadopsi peran laki-laki sebagai pencari nafkah sekalipun jika mereka ingin tinggal di rumah dan merawat anak-anak. Peradaban kapitalis telah mereduksi nilai perempuan, jauh dari kemuliaannya. Dalam peradaban kapitalis, perempuan dianggap berharga hanya ketika mandiri secara finansial.
Wajar jika kerap terjadi perselisihan tentang tanggung jawab dalam pernikahan dan pengasuhan anak. Sebabnya posisi laki-laki sebagai qowwam atau pemimpin atas perempuan tak terjadi. (Lihat TQS. AN Nisa : 34).
Pernikahan bukan lagi untuk menjalani mitsaqan ghalizhan (perjanjian yang kokoh). Banyak pasangan yang tak mampu melewati ujian pernikahan hingga perceraian menjadi mudah untuk dilakukan. Dalam penerapan sistem kapitalis ini, keluarga sakinah mawaddah wa rahmah begitu sulit terwujud. Digilas oleh cara pandang kapitalistik yang menilai kebahagiaan hanya dari sisi materi.
Apalagi ketika perempuan memiliki penghasilan, lantas menjadi asumsi bahwa kaum hawa bisa hidup tanpa laki-laki.
Begitu berat hidup berumah tangga di sistem Kapitalisme beserta turunannya. Demokrasi, liberalisme hingga kesetaraan gender nampak sistem destruktif yang mampu menghancurkan tatanan keluarga.
Butuh Solusi Struktural, bukan Individual
Islam menetapkan bahwa pergaulan suami-istri adalah pergaulan persahabatan. Satu sama lain berhak mendapatkan kebahagiaan, kesenangan, ketentraman, dan kegembiraan. Baik dalam berkeluarga, bermasyarakat maupun bernegara. Hal itu menjadi syarat mendasar dalam kelanggengan perkawinan kaum muslimin.
Allah SWT telah menjelaskan dalam QS. Ar Rum : 21, bahwa tabiat kehidupan suami istri adalah tabiat yang tenang dan tenteram. Keluarga dalam islam tegak di atas dasar hak ri’ayah (pemeliharaan) secara mutlak sebagai milik laki-laki dan terhadap perempuan ditetapkan hak taat secara mutlak. Perempuan adalah asas kebahagiaan dalam perkawinan. Maka ketaatan seorang perempuan kepada suaminya merupakan tonggak kebahagiaan suami isteri dan keluarga.
Allah SWT memberi pahala yang besar kepada suami atas kesabarannya terhadap kelalaian isteri sebaliknya para isteri juga akan mendapat pahala surga jika ia baik dalam menunaikan hak-hak suaminya.
Pemahaman pasangan suami istri akan konsep kebahagiaan dalam perspektif islam ini akan menjadi penghalang kuat bagi suami atau isteri yang ingin bercerai. Sebaliknya, hal itu akan menjadikan ruh dalam perkawinan mereka.
Diperlukan institusi negara yang menjamin hak suami terhadap istri-dan hak istri terhadap suami. Diperlukan sistem sanksi oleh negara bagi masing-masing pasangan yang lalai dalam melaksanakan kewajiban dalam rumah tangga mereka. Misalnya sanksi bagi suami yang malas bekerja, atau seorang ibu yang ogah menyusui anaknya tanpa alasan syari.
Hal itu bisa terealisasi dengan diterapkannya islam secara menyeluruh. Dengan pelaksanaan aturan Islam secara kaffah ( menyeluruh) peran laki-laki dan perempuan akan berjalan sesuai dengan fitrahnya.
Fitrah suami adalah pemimpin dan fitrahnya istri adalah dipimpin. Ketenangan dalam keluarga pun akan terwujud. Kondisi sakinah, mawadah wa rohmah dengan mudah akan terealisasi. Jelaslah bahwa problem keluarga ini utuh solusi struktural, bukan sekedar individual. Wallahu a’lam bishshowab.[]
Comment