RADARINDONESIANEWS. COM, JAKARTA – Tensi diplomatik antara Indonesia dan China kini meningkat, menyusul kasus pelanggaran wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Pelanggaran itu dilakukan oleh kapal-kapal China di perairan Natuna Utara yang mencuri ikan di perairan laut Indonesia.
Dikutip laman republika.co.id bahwa Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convetion on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 memberi hak berdaulat kepada Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam termasuk perikanan dan diprioritaskan kepada negara yang seluruhnya berbatasan dengan daratan (land lock).
Pernyataan itu disampaikan diplomat khusus Desk Hukum Laut Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri, Gulardi Nurbintoro di Jakarta Selasa (7/1/2020).
Jika melihat peta Laut China Selatan (LCS) ini bukanlah milik China saja. Ada beberapa negara yang mengelilingi lautan ini misalnya Thailand, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Namun, China begitu egois memakai aturannya sendiri, yaitu nine dash line (NDL).
Nine-Dash Line atau sembilan garis putus-putus adalah wilayah historis Laut China Selatan seluas 2 juta kilometer persegi yang 90 persen diklaim China sebagai hak maritimnya karena nenek moyangnya sudah ratusan tahun menangkap ikan di perairan ini meskipun berjarak 2.000 kilometer dari daratan China.
Ada apa dengan Natuna?
Dilansir dari tirto.co.id, Pakar Hukum Laut Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, I Made Andi Arsana mengatakan bahwa ada tiga potensi yang di yakini menarik perhatian China sehingga konvensi UNCLOS tak kunjung digubris.
Pertama, potensi sumber daya kelautan dan perikanan Provinsi Kepulauan Riau, tahun 2011, potensi ikan laut Natuna mencapai 504.212,85 ton per tahun.
Kedua, berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Blok East Natuna mempunyai kandungan volume gas di tempat sebanyak 222 triliun kaki kubik (tcf), serta cadangannya 46 tcf.
Selain itu ada Potensi minyak di blok itu mencapai 36 juta barel minyak yang baru dimanfaatkan 25 ribu barel.
Ketiga, posisi Laut Natuna sebagai jalur perdagangan yang strategis diperkirakan menjadi rute utama bagi sepertiga pelayaran dunia.
Alhasil, menyibak kekayaan Natuna tentunya tak lepas dari strategi China untuk mendapatkan keinginannya. Jika cadangan minyak dan gas dioptimalkan, maka China dapat memenuhi sekitar 40% kebutuhan minyak saat tahun 2030 nanti. Kebetulan seluruh cadangan minyak dan gas alam berada di luar ZEE China.
Oleh karena itu, untuk mengamankan SDA tersebut, China menggunakan NDL dengan alasan LCS adalah wilayah menangkap ikan bagi penduduk Cina. Strategi ini dinilai mampu mengamankan posisi China sebagai raksasa perekonomian dunia mengalahkan AS.
Lantas, apa yang harus dilakukan Indonesia?
Indonesia sebagai penduduk terbesar di dunia dengan mayoritas kaum muslim, harusnya memiliki visi besar sebagai dasar kebijakan dalam dan luar negeri. Visi besar ini adalah ideologi Islam. Negara adidaya semisal Amerika dan Inggris menerapkan ideologi Kapitalis. Sementara Cina, politiknya Sosialis dengan ekonominya Kapitalis.
Dalam sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah, telah terjamin secara Ilahiah dengan sistem pertahanan yang tangguh. Khilafah akan mengerahkan segala kekuatan, baik pasukan reguler maupun cadangan (rakyat) untuk mempertahankan kedaulatan negara. Seruan jihad sebagai kewajiban nan mulia akan digaungkan ke seluruh negeri.
Khilafah akan melakukan persiapan semaksimal mungkin untuk bisa mengalahkan musuh yang hendak merebut wilayah dan kedaulatan. Mengamalkan surah Al-Anfal ayat 60, khilafah akan menyiapkan kekuatan hingga level mampu menggentarkan musuh. Mulai dari banyaknya pasukan, kualitas prajurit, canggihnya alutsista, hingga besarnya anggaran militer.
Khilafah tak khawatir akan kekurangan dana untuk militer karena dalam Islam, pos jihad (militer) memiliki sumber pemasukan yang terus menerus ada berasal dari dana zakat, wakaf, pajak (tentatif), juga kekayaan alam yang dikelola secara mandiri oleh khilafah.
Inilah yang terjadi ketika dulu Khilafah Utsmaniyah mengirim kapal dan pasukan Janissari untuk membantu Nusantara melawan penjajah Eropa. Seperti dalam kasus Aceh dan Perang Diponegoro. Mengadopsi sistem Islam sebagai solusi untuk melawan arogansi China dan mengalahkannya adalah sebuah keniscayaan.
Sebaliknya, mempertahankan sistem Kapitalis yang ada saat ini, hanya akan membuat negeri ini semakin tak berdaya menghadapi kekuatan asing yang hendak mengakuisisi sebagian wilayah RI. Wallahu a’lam bishawab.[]
*penulis adalah Ibu Rumah Tangga dan Anggota WCWH,Tulungagung
Comment