RADARINDONESIANEWS.COM – JAKARTA – Dua puluh satu tahun Orde Reformasi, perkembangan demokrasi Indonesia menampakkan wajah yang ambigu. Membingungkan. Kebebasan berpendapat yang merupakan hak setiap warga negara untuk mengekspresikan pendapat dan aspirasinya tanpa campur tangan pemerintah yang berkuasa justru dibungkam. Bahkan, tanpa harus menunggu proses hukum, mereka ditangkap, dibubarkan badan hukumnya dan dipenjarakan.
Misalnya, kini yang masih hangat dalam pemberitaan, tiga personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapat sanksi hukum dicopot dari jabatannya. Para anggota ini mendapatkan hukuman disiplin karena ulah istrinya yang mengunggah konten di media sosial terkait kasus penusukan Menko Polhukam Wiranto.
Tidak tanggung-tanggung, para suami mereka dicopot dari jabatannya masing-masing ditambah penahanan selama 14 hari. TNI juga melaporkan istri tiga anggotanya ke polisi terkait konten negatif terkait penusukan Wiranto yang diunggah di media sosial (Kontan.co.id, 12/10/2019).
Peneliti Militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengatakan, kasus pencopotan tiga anggota TNI akibat postingan istri mereka bernada nyinyir, seharusnya mengutamakan asas praduga tak bersalah.
“Jika merujuk pada UU no. 25/2014, penghukuman itu menurut saya dilakukan tergesa-gesa”. ujarnya saat dihubungi Republika melalui pesan singkat, Sabtu (12/10) malam.
Khairul pun menilai penghukuman terhadap Dandim Kendari dan dua prajurit TNI lainnya dinilai sebagai sikap yang reaktif, sikap yang tidak tepat dilakukan oleh sebuah institusi Negara. Sehingga menyebabkan, pengambilan keputusan itu tampak berlebihan dan melampaui prosedur yang semestinya. (Republika.co.id, 13/10/2019).
Senada dengan jurnalis sekaligus pendiri rumah Watchdoc, Dandhy Dwi Laksaono ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat kepolisian Polda Metro Jaya. Dandhy dijerat UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang ITE dan UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP. Berstatus tersangka karena konten di tweet-nya terkait Papua.
Padahal sebelumnya Presiden Jokowi menyatakan tak perlu meragukan komitmennya dalam menegakkan demokrasi. Hal tersebut disampaikan ketika gelombang demonstrasi mahasiswa menguat di sejumlah daerah.
“Jangan sampai Bapak Ibu sekalian ada yang meragukan komitmen saya mengenai ini (menjaga demokrasi),” kata Jokowi di Istana Merdeka (cnnindonesia.com, 26/9/2019). Pernyataan Jokowi pada kenyataannya berbeda dengan fakta di lapangan.
Benarkah Demokrasi Antikritik?
Hate speech di media social yang berujung ke kasus hukum tengah mendapat sorotan masyarakat. Kasus ini kuat hubungannya dengan melanggar Undang undang informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Seharusnya, UU ITE ini dibuat untuk melindungi masyarakat, namun karena keambiguitas atas dikotomi free speech dan hate speech, UU ITE dapat disalahgunakan dan justru membuat banyak pihak yang mungkin pada hakikatnya tidak bersalah justru menjadi pihak tersangka.
Seperti yang kita ketahui, Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) telah membuat aturan yakni Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Jika netizen dianggap melanggar pasal yang ada di UU ITE maka mereka bisa dipidanakan bahkan membayar denada hingga Rp. 1 Milliar.
Kebijakan Rezim saat ini seolah membuat rakyat harus terus menelan air ludah. Banyak kasus pembungkaman terhadap masyarakat sendiri yang menunjukkan rezim ini adalah rezim anti kritik.
Walhasil Keambiguan Rezim dalam sistem Demokrasi saat ini yang konon katanya menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi tapi faktanya antikritik. Demokrasi memang akan memunculkan tirani minoritas atas mayoritas. Karena dalam sistem ini kekuasaan adalah alat Kepentingan Individu atau kelompok.
Agama (Islam) itu Nasihat.
Dalam salah satu masterpiece-nya At-Tibr al-masbuk fi Nashihah al-Muluk, Imam Al-Ghazali menukil beberapa riwayat sebagai bahan renungan bagi para penguasa juga para ulamanya.
Suatu hari, saudara kandung al-Bulkhi menemui Khalifah harun Ar-Rasyid. Khalifah kemudian berkata, “Nasihatilah aku!”
Orang itu berkata, “Sesungguhnya Allah telah menundukkanmu pada kedudukan Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin al-Khatthab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib (yakni sebagai penguasa, pen). Karena itu Allah SWT meminta darimu sifat benar/jujur seperti yang ditunjukkan Ash-Shiddiq (Abu Bakar). Allah memintamu menjadi pembela yang Haq dan penumpas yang batil seperti Al Faruq (Umar).
Allah memintamu memiliki rasa malu dan kemurahan seperti Utsman bin Affan. Allah pun memintamu memiliki ilmu dan keadilan seperti yang ditunjukkan Ali bin Abi Thalib.”
“Teruskan, “ Kata Khalifah…
Orang itu berkata lagi, “Perumpamaanmu seperti mataair, sedangkan seluruh ulama di dunia ini seperti wadahnya. Jika mataair itu jernih, kotornya wadah air tidaklah berbahaya. Namun, jika mata airnya kotor, bersihnya wadah air tak ada gunanya.
Lain halnya dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz meminta nasihat kepada Abu Hazim. Abu Hazimlalu berkata, “Jika engkau tidur, taruhlah kematian di bawah kepalamu. Sungguh, kematian itu sangat dekat dengan jaraknya darimu.”
Setiap hari, khalifah Umar bin Abdul Aziz memenuhu kebutuhan rakyatnya. Karena kelelahan, ia lalu duduk menyandar, kemudian pulang ke rumah untuk istirahat sebentar menghilangkan kepenatan. Putranya kemudian berkata, “Apa yang telah membuat Ayah merasa aman? Padahal kematian setiap saat bisa datang menjemput. Sementara di luar mungkin masih ada orang yang membutuhkan Ayah.”
Khalifah Umar menjawab, “Engkau benar.”
Seketika, Khalifah Umar bangkit dan pergi kembali dan menemui rakyatnya.(Al Ghazali, At-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Hlm.23-54, 1988).
Demikianlah, Nasihat merupakan bagian tak terpisahkan dari para penguasa Muslim pada masa lalu. Bahkan telah menjadi ‘makanan’ sehari-hari mereka. Sebaliknya, Nasihat kepada para penguasa juga tidak pernah lepas dari para ulama. Bahkan menjadi ‘kebutuhan’ mereka.
Banyak para ulama pada masa lalu rela menghabiskan waktunya untuk mengontrol, mengawasi, menasihati, mengkritik sekaligus meluruskan para penguasa yang menyimpang tanpa kenal lelah, rasa khawatir dan takut.
Tidak aneh jika sepanjang zaman kekhilafahan Islam pada masa lalu, terlalu banyak kisah-kisah nyata para penguasa muslim yang menggugah perasaan karena kezuhudan, kerendahan hati, keadilan, kejujuran, keamanahan dan kebajikan mereka dalam memimpin rakyatnya.
Sudah sepantasnya para penguasa Muslim saat ini menjadikan kisah-kisah di atas sebagai cermin dan pelajaran. Selayaknya mereka senantiasa lapang dada dalam menerima nasihat dan kritikan bahkan selalu meminta nasihat kepada para Ulama.
Wa’Allahu ‘Alam bish-Showab
Comment