Lulu Nugroho |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Beberapa abad silam, yaitu sekitar abad ke 16, tembakau atau nicotiana dianggap sebagai obat dari tuhan atau tanaman suci. Bahkan merokok pun dianggap sebagai kebiasaan sehat. Orang Eropa pertama yang menggunakan tembakau untuk tujuan medis adalah Christoper Colombus pada 1942. Tembakau dibakar untuk mensucihamakan dan mengusir penyakit.
Di India, digunakan sebagai pembersih gigi. Di Portugis, Pedro Alvares Cabral, yang tiba di Brasil pada 1500-an, dipakai untuk mengobati penyakit seperti kulit bernanah dan polip. Di Meksiko, biarawan Spanyol bernama Bernardino de Sahagun belajar dari dokter setempat bahwa penyakit yang mempengaruhi kelenjar-kelenjar pada leher bisa disembuhkan dengan tembakau.
Saat wabah penyakit merebak di London pada 1665, anak-anak diperintahkan mengisap tembakau di ruang kelas. Asap tembakau diyakini dapat melindungi manusia dari aroma tidak sedap yang dianggap sebagian orang membawa penyakit.
Memasuki abad ke 19 banyak orang mulai skeptis terhadap tembakau. Fakta menunjukkan bahwa setiap tahun, enam juta orang meninggal dunia akibat mengisap rokok secara aktif, sedangkan 900.000 orang lainnya tutup usia karena menjadi perokok pasif. (BBC.com, 30/5/2019).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganggap tembakau adalah “epidemi” dan “salah satu ancaman kesehatan publik terbesar yang pernah dihadapi dunia”. Tar dan karbon mono oksida yang ada dalam asap rokok, disinyalir dapat menimbulkan berbagai penyakit internal.
Direktur Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi mengungkapan, penerimaan terbesar Bea Cukai 2018 disumbang oleh penerimaan cukai rokok. (Kompas.com, 3/1/2019).
“Cukai itu mencapai Rp159,7 triliun, yang terdiri dari cukai rokok Rp 153 triliun, minuman (beralkohol) Rp 6,4 triliun dan etil alkohol Rp 0,1 triliun, serta cukai lainnya Rp 0,1 triliun,” ujarnya di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (2/1/2019).
Ada sebanyak 1,1 miliar orang dewasa di dunia yang merupakan perokok dan 80% di antara mereka dari negara dengan pendapatan rendah hingga menengah. Merekalah penyumbang terbesar melalui cukai rokok. Menambah kas negara, dengan mempertaruhkan kesehatan mereka.
Hari Tanpa Tembakau Sedunia, 31 Mei. Kini negara-negara sepakat akan bahaya tembakau. Jika dulu merokok dipandang sebagai kebiasaan sehat. Maka berbagai gambar seram dan peringatan bahaya merokok harus dilampirkan dalam bungkus rokok dan iklan.
Solusi setengah hati dari penguasa. Bukti bahwa sistem kapitalisme selamanya tidak berpihak pada umat. Pemasukan yang besar dari industri rokok membuat gamang penguasa. Di satu sisi paham akan bahaya merokok. Di sisi lain keuntungan materi banyak didapat dari sumber ini. Maka si pembunuh senyap ini masih leluasa sampai ke tangan konsumen.
Keputusan akhir ada pada umat itu sendiri. Jika paham akan dharar atau bahaya yang ditimbulkan dari rokok, maka ia tidak akan merokok. Dari Abû Sa’îd Sa’d bin Mâlik bin Sinân al-Khudri Radhyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.”
Kembali ke Islam sebagai solusi hakiki. Mengukur aktivitas kita agar sesuai dengan perintah dan larangan Allah Subhaanahu wa ta’ala. Meletakkan skala prioritas atau kaidah aulawiyat, hingga tahu betul sikap yang seharusnya kita ambil. Begitu pun penguasa, jika menggunakan Islam sebagai asas pengurusan umat, maka penjagaan terhadap umat pun akan paripurna sebab mengacu pada aturan Allah. Wallahu ‘alam.
*Muslimah Penulis dari Cirebon
Comment