Penulis: Nadiya Ramadhana Hayati | Mahasantriwati Cinta Quran Center
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– LPG (Liquified Petroleum Gas) atau yang juga dikenal elpiji adalah kumpulan senyawa gas hidrokarbon dalam bentuk cair. LPG merupakan salah satu kebutuhan pokok yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, terutama sebagai bahan bakar untuk memasak.
Namun, beberapa waktu yang lalu, gas elpiji mengalami kelangkaan di sejumlah wilayah di Indonesia, seperti di Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Kelangkaan ini menyebabkan keresahan masyarakat karena LPG 3 kg yang biasa digunakan oleh rumah tangga dan pelaku usaha mikro menjadi sulit didapatkan.
Kelangkaan ini terjadi setelah pemerintah menerapkan kebijakan baru terkait distribusi LPG bersubsidi. Diberitakan oleh Tribun News, bahwa per 1 Februari 2025, pengecer tidak lagi diperbolehkan menjual gas elpiji 3 kg. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan bahwa pengecer yang ingin tetap menjual elpiji bersubsidi harus terdaftar sebagai pangkalan atau subpenyalur resmi Pertamina.
Pengecer yang ingin menjadi pangkalan dapat mendaftar melalui sistem Online Single Submission (OSS) untuk mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB).
Kebijakan ini bertujuan agar distribusi elpiji subsidi lebih tepat sasaran dan menekan potensi penyimpangan. Selain itu, rantai distribusi yang lebih pendek diharapkan bisa membuat harga elpiji 3 kg sesuai dengan ketetapan pemerintah.
Namun, kebijakan ini justru membawa dampak buruk bagi masyarakat. Gas melon menjadi langka, dan masyarakat harus antre berjam-jam di pangkalan untuk mendapatkannya. Bahkan, ada kasus tragis di Pamulang, Tangerang Selatan, di mana seorang ibu meninggal dunia akibat kelelahan mengantre LPG. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan kondisi riil masyarakat dan justru menambah beban rakyat kecil yang selama ini bergantung pada LPG bersubsidi.
Menanggapi keresahan publik, pemerintah akhirnya mengambil langkah mundur. Presiden Prabowo Subianto pada 4 Februari 2025 menginstruksikan kepada Menteri ESDM untuk mengaktifkan kembali pengecer dalam menjual gas LPG 3 kg. Pemerintah juga berencana menertibkan pengecer agar dapat menjadi agen subpangkalan secara bertahap.
Meski demikian, kondisi tidak langsung membaik. Hingga 6 Februari 2025, LPG masih sulit ditemukan di banyak daerah, dan harga di tingkat pengecer tetap tinggi. Kelangkaan ini juga berdampak pada penghasilan pedagang kecil yang biasa menjual LPG sebagai sumber pendapatan utama mereka.
Perubahan kebijakan yang tiba-tiba dan tanpa mitigasi risiko ini mencerminkan kelemahan sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan di Indonesia. Sistem ini lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal besar dibanding kesejahteraan rakyat.
Salah satu karakter utama kapitalisme adalah privatisasi sektor publik, termasuk sumber daya alam seperti migas. Hal ini membuka peluang bagi korporasi untuk menguasai rantai distribusi energi, dari hulu hingga hilir.
Dalam sistem kapitalisme, kepemilikan sumber daya alam sering kali jatuh ke tangan swasta, sementara negara hanya bertindak sebagai regulator.
Hal ini menyebabkan harga bahan bakar menjadi tidak stabil dan kerap mengalami fluktuasi yang merugikan masyarakat kecil. Seharusnya, negara berperan sebagai pengelola utama sumber daya alam demi kepentingan rakyat, bukan sekadar sebagai fasilitator bagi korporasi besar.
Kebijakan liberalisasi sektor migas yang telah berlangsung selama beberapa dekade di Indonesia telah menunjukkan berbagai dampak negatif. Meskipun pemerintah memberikan subsidi, tetapi kebijakan distribusi yang tidak tepat sering kali membuat LPG bersubsidi justru dinikmati oleh pihak-pihak yang tidak berhak.
Akibatnya, subsidi yang seharusnya meringankan beban rakyat malah menjadi ladang bisnis bagi segelintir pihak yang memiliki akses lebih besar terhadap distribusi LPG.
Berbeda dengan kapitalisme yang membiarkan sumber daya alam dikelola oleh korporasi, Islam memiliki sistem pengelolaan yang jelas dalam hal sumber daya alam.
Dalam Islam, migas termasuk dalam kategori kepemilikan umum yang harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, bahwa “segala sarana umum untuk seluruh kaum muslim yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dan jika tidak ada akan menyebabkan perpecahan, terkategori milik umum.”
Hal ini juga sesuai dengan sabda Rasulullah saw.: “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah).
Hadits ini menunjukkan bahwa sumber daya alam yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat harus dikelola oleh negara dan tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta atau individu untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Dengan demikian, berdasarkan konsep ini, LPG dan migas secara umum adalah milik umat yang harus dikelola oleh negara dengan prinsip kemaslahatan rakyat.
Negara bertanggung jawab memastikan distribusi LPG merata, harga tetap terjangkau, dan tidak ada pihak yang dirugikan akibat kelangkaan atau permainan harga di pasar.
Islam memiliki solusi yang komprehensif dalam mengatasi permasalahan energi dan sumber daya alam. Prinsip utama dalam Islam adalah bahwa sumber daya yang menjadi kebutuhan hajat hidup orang banyak tidak boleh dikomersialkan oleh individu atau korporasi.
Negara wajib mengambil peran sebagai pengelola dan memastikan bahwa hasil dari pengelolaan ini kembali kepada rakyat dalam bentuk layanan publik yang memadai. Menurut Syekh Abdul Qadim Zallum, “hasil pengelolaan harta milik umum (termasuk tambang migas) dibagikan kepada rakyat yang memang merupakan pemilik harta milik umum beserta pendapatannya.”
Dengan demikian, jika negara mengelola sumber daya ini dengan baik, maka tidak akan terjadi kelangkaan, dan rakyat dapat memperoleh kebutuhan energi dengan mudah dan murah.
Selain itu, dalam sistem ekonomi Islam, negara tidak akan membebankan pajak berlebihan kepada rakyat sebagai sumber pendapatan utama. Sebaliknya, negara akan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal sehingga pemasukan negara berasal dari pengelolaan aset-aset yang memang merupakan milik rakyat.
Dengan cara ini, negara dapat memberikan subsidi tanpa khawatir terjadi defisit anggaran. Di samping itu, Islam juga menekankan pentingnya kepemimpinan yang bertanggung jawab. Seorang pemimpin dalam Islam adalah ra’iyy (pengurus rakyat) yang bertugas memastikan kesejahteraan rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda: “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, dalam sistem Islam, kebijakan yang diambil oleh negara selalu didasarkan pada kepentingan umat, bukan kepentingan segelintir elit atau pemilik modal.
Dapat disimpulkan bahwa kelangkaan LPG yang terjadi menunjukkan kegagalan sistem kapitalisme mengelola sumber daya alam. Privatisasi dan liberalisasi sektor energi hanya memperburuk keadaan dengan memberikan peluang bagi korporasi besar untuk menguasai pasar dan menentukan harga sesuai kepentingan mereka.
Dalam Islam, sumber daya alam adalah milik umat dan harus dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Dengan menerapkan Islam dalam pengelolaan sumber daya alam, masalah kelangkaan LPG dan ketidakadilan dalam distribusi dapat diatasi. Islam memiliki konsep kepemilikan umum yang menjamin bahwa semua sumber daya yang menjadi hajat hidup orang banyak dikelola secara adil dan merata.
Semoga Allah SWT memberikan petunjuk kepada kita agar kembali kepada sistem yang sesuai dengan fitrah manusia dan menjamin kesejahteraan seluruh umat. Wallahu a’lam bish-shawab.[]
Comment