RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Impor adalah proses transportasi barang atau komoditas dalam perdagangan antar suatu negara ke negara lain secara legal. Proses impor umumnya adalah tindakan memasukan barang atau komoditas dari negara lain ke dalam negeri.
Belakangan Indonesia melakukan transaksi perdagangan impor produk garam yang seharusnya tidak dilakukan mengingat produk tersebut dapat dipenuhi oleh petani atau petambak lokal di dalsm negeri.
Saat ini banyak garam rakyat terhampar tak terurus lantaran tidak bisa dijual karena import yang berlebihan. Indonesia tidak segan mengimpor garam dari negara manapun.
Impor garam dalam kurun waktu 4 tahun terakhir yaitu 2015 hingga 2018 juga mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dengan angka total sebesar 12,3 juta ton.
Puncak angka impor garam tertingi dilakukan pemerintah pada 2018, mencapai 3,7 juta ton. Pada 2019, diperkirakan impor garam masih menjadi opsi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan industri Indonesia.
Sekilas tampak bahwa pemerintah sedang memenuhi kebutuhan industri tanah air namun bagaimanakah fakta yang terjadi sebenarnya?
Tirto.id, petambak Madura menyurati Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019 Susi Pudjiastuti lantaran tidak bisa menjual garam produksinya 2 tahun berturut-turut. Hal ini lantaran impor garam yang sudah terjadi sejak 2018 dilanjutkan ketika Susi tak lagi menjabat.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) di laman cnnindonesia menyatakan, realisasi impor garam industri per Oktober 2019 sebanyak 2,21 juta ton dari total kuota yang mencapai 2,7 juta ton. Ini artinya, pengusaha masih dapat mengimpor sekitar 400 ribu ton.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Indrasari Wisnu Wardhana telah mengalokasikan impor garam 2,7 juta ton sepanjang tahun ini. Semester I 2019 sudah 1,6 juta ton. Oktober 2019 sebanyak 2,21 juta ton.
Dari fakta tersebut kita memahami bahwa soal impor garama di era kapitalisme ini sangat mempengaruhi pendapatan ekonomi dan mencekik rakyat.
Sistem kapitalisme ini sungguh sangat tidak efisien karna dalam hal impor ini tidak memperhitungkan kerugian yang dialami masyarakat dan ini berdampak negatif terhadap perekonomian nasiional.
Kegiatan impor yang dilakukan sangat berlebihan dan pemerintah yang berdiam diri tanpa melakukan tindakan proporsional dan konstruktif bagi perbaikan ekonomi rakyat.
Mereka berargumen bahwa impor garam ini menjadi perhatian. Lantaran kualitas garam lokal dianggap masih belum sesuai dengan spesifikasi kebutuhan industri, NaCl di atas 97%.
Namun para petani garam di Madura mengklaim bahwa garam yang tak terjual justru berkualitas premium dan telah memenuhi standar penyerapan industri dan tidak berkadar rendah seperti yang dituduhkan pemerintah.
Salah seorang petani, Tajab seperti dilansir tirto.id, 18/1/2020, mengatakan bahwa garam premium memiliki kadar 97,3 persen sama seperti garam impor bahkan lebih baik dari garam makan.
Kemiskinan yang menimpa rakyat lebih merupakan kemiskinan struktual atau sistemik, akibat sistem yang diperlakukan oleh penguasa tidak populis yang sangat kapitalistik liberal.
Sistem inilah yang menopang para pemilik modal bekerja sama dengan penguasa yang kemudian melahirkan kebijakan yang pincang dan mencekik rakyat.
Meski demikian, pemerintah tetap membiarkan kegiatan impor berjalan tanpa upaya mwbghentikan.
Sistem inilah yang telah melahirkan kerakusan segelintir pemilik modal menguasai sumber daya alam yang semestinya dinikmati rakyat. Kekayaan alam milik rakyat dikuasai dan hanya dinikmati oleh para pemegang kekuasaan dan pengusaha saja.
Sistem ini pula yang menciptakan jurang besar semakin lebar sehingga masyarakat hidup di kedalaman kenestapaan yang semakin gelap. Benarlah pepatah yang mengatakan, si kaya makin kaya si miskin makin miskin.
Kapitalisme merubah proses pemilikan sumber daya alam yang semestinya dinikmati rakyat sebagaimana bunyi Undang Undang Dasar 45 pasal 33 ini berpindah dari rakyat ke pemilik modal.
Lalu bagaimana nasib rakyat yang tak memiliki modal dan kekuasaan?
Sekali lagi bahwa sistem yang dijadikan sebagai sumber kebijakan ini telah banyak menimbulkan problem ekonomi nasional lebih khusus para petambak garam.
Kebijakan impor oleh pemerintah ini telah mengakibatkan tidak lakunya produk petambak garam lokal padahal sejatinya kebutuhan garam nasional dapat dipenuhi dari petambak garam lokal baik dari segi kualitas dan kuantitas.
Pemerintah seakan membiarkan rakyat untuk hidup mandiri tanpa ikut campur tangan mengurusi rakyat yang semakin terhimpit secara ekonomi. Padahal semestinya pemerintah hadir menjadi solusi bagi kebutuhan rakyatnya.
Solusi Islam
Dalam Islam kegiatan mengimpor barang yang masuk ke dalam wilayah perdagangan hukumnya boleh (QS. Al Baqarah 275).
Namun Islam mengatur bagaimana negara tetap memperhatikan beberapa hal terkait ekspor-impor.
Islam dalam hal ini sangat memperhatikan negara mana yang akan melakukan kerja sama dan memilih produk yang benar-benar dibutuhkan untuk diimpor.
Tidak perlu mengimpor produk yang sesungguhnya dapat diproduksi oleh rakyat sendiri agar industri lokal tetap berkembang dan tidak terjadi ketergantungan terhadap barang impor.
Negara dalam hal ini juga harus memastikan standar kehalalan suatu barang, jika barang tidak terbukti kehalalannya maka barang tersebut tidak boleh diimpor dan diperjualbelikan di dalam negeri.
Tindakan ini harus dilakukan, karena Islam mengatur standar halal-haram terhadap barang dan jasa yang diproduksi.
Negara wajib menindak tegasi siapapun, termasuk pejabat yang ikut dalam kerjasama yang menyalahi syariat Islam, karena merugikan kemaslahatan rakyat dan negara.
Walhasil jika Indonesia terus mengandal pada sistem kapitalisme dan menjadikannya sebagai kebijakan dan solusi maka masalah yang ditimbulkan tak kunjung usai.
Dalam kondisi ini, Indonesia membutuhkan obat sebagai teraphi yang tepat yang dapat memberikan solusi terhadap persoalan dalam negeri demi keadilan bagi rakyat tanpa membedakan latar agama dan suku.
Kegiatan ekspor-impor telah ada sejak zaman praislam. Masyarakat saat itu melakukan perniagaan di dua musim. Saat musim panas, mereka melakukan transaksi dagang dengan Syam dan Yaman saat musim dingin.
“Bukankah kami telah menjadikan mereka kaum yang mapan di tanah suci yang aman? Dan dibawakan kepada mereka berbagai macam buah-buahan sebagai rezeki dari Kami? Akan tetapi kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-Qashash: 57).
Tentunya, buah-buahan tadi sebagian besar, atau bahkan seluruhnya, berasal dari luar kota Mekkah. Dan itu mereka dapatkan lewat rihlah (pengembaraan) mereka ke Negeri Syam dan Yaman, selain dari yang dibawa oleh Jemaah haji dari berbagai penjuru negeri.
Inilah salah satu fenomena ekspor-impor yang terjadi sejak zaman jahiliyah, dan masih terus berlangsung hingga hari ini.
Begitu besar jasa para pengimpor barang sampai nabi Muhammad saw bersabda:
“Pengimpor yang menghadirkan barang ke pasar kita laksana pejuang di jalan Allah …..” (Hadis nomor 1312 halaman 291 dari buku yang disusun oleh Abulghasim Payande (2011) dengan judul “Ensiklopedi Hadis Masterpiecea Muhammad Saw”, penerbit Pustaka Iman). Wallahua’lamu bish-shawab.[]
*Penulis adalah mahasiswi STEI Yogyakarta
Comment