Lilis Suryani: RUU Cipta Kerja, Bukti Penguasa Lebih Memihak Korporasi?

Opini563 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Di tengah polemik penanganan virus covid- 19 serta carut marutnya ekonomi bangsa ini. Rakyat sangat berharap ada solusi dan jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi. Ancaman virus dan kelaparan telah cukup menyita pemikiran rakyat.

Alih-alih memberikan solusi nyata bagi permasalahan rakyat, para wakil rakyat yang duduk di DPR jusru tengah disibukan dengan RUU Cipta Kerja yang sedang ngebut dikerjakan agar segera dilegalisasi.

Para wakil rakyat sejatinya tengah mempertontonkan drama yang menyakitkan hati rakyat.

Keberpihakannya terlihat jelas bukan pada kepentingan rakyat namun lebih mengedepankan kepentingan para pengusaha dan korporasi. Tentu saja hal ini menimbulkan penolakan dari rakyat khususnya kaum buruh dan pekerja yang dirugikan oleh RUU Cipta Kerja ini.
Pemerintah melalui Kemenaker membentuk sebuah tim.

Tim ini dibentuk dengan tujuan mencari jalan keluar atas buntunya pembahasan klaster ketenagakerjaan. Namun, serikat pekerja, seperti KSPSI AGN, KSPI, dan FSP Kahutindo memutuskan untuk keluar dan mengundurkan diri dari tim. Sebagaimana dilansir media harian online Republika.co.id (13/07/20).

Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, setidaknya ada empat alasan mengapa keputusan untuk keluar dari tim teknis diambil. “Pertama, tim tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dan kesepakatan apapun. Tetapi hanya mendengarkan masukan dari masing-masing unsur,” kata Said dalam siaran persnya, Ahad (12/7).

Alasan kedua, unsur Apindo/Kadin dengan arogan mengembalikan konsep RUU usulan dari unsur serikat pekerja dan tidak mau meyerahkan usulan konsep apindo/kadin secara tertulis. Maka, jika hanya sekedar mendengarkan masukan dan ngobrol ngobrol saja, secara resmi pihaknya sudah menyampaikan masukan berupa konsep RUU secara tertulis kepada pemerintah dan apindo/kadin.

“Tetapi kemudian secara arogan konsep serikat pekerja tersebut dikembalikan oleh unsur Apindo/Kadin. Barangkali mereka merasa di atas angin karena merasa didukung oleh unsur pemerintah,” kata Said Iqbal.

Dengan demikian, pihaknya berpendapat, hal ini menyalahi prinsip tripartite dan norma-norma dalam dialog sosial yang mengedepankan kesetaraan, kebebasan berpendapat, dan saling percaya untuk mengambil keputusan besama secara musyawarah dan mufakat. Hal itu sebagaimana juga termaktub dalam konvensi ILO no 144 tentang Tripartit yang sudah diratfikasi pemerintah indonesia.

Ketiga, ada kesan pembahasan akan dipaksakan selesai pada tanggal 18 Juli 2020. Dengan jumlah pertemuan yang hanya 4-5 kali, serikat buruh memiliki dugaan ini hanya jebakan dan alat untuk mendapatkan legitimasi buruh. Karena tidak mungkin membahas pasal-pasal yang sedemikian berat hanya dalam 4-5 kali pertemuan.

“Jadi kami menduga ini hanya formalitas dan jebakan saja dari pemerintah yang diwakili kemenaker dalam memimpin rapat tim. Agar mereka mempunyai alasan, bahwa pemerintah sudah mengundang serikat pekerja/serikat buruh untuk didengarkan pendapatnya,” ucapnya.

Dengan kata lain, kata Said, pemerintah yang diwakili kemenaker hanya sekedar ingin memenuhi unsur prosedur saja bahwa mereka telah mengundang pekerja masuk dalam tim dan tidak menyelesaikan substansi materi RUU Omnibus Law yang ditolak buruh tersebut.

Keempat, sambung Said, masukan yang disampaikan hanya sekedar ditampung. Tetapi, tidak ada kesepakatan dan keputusan apapun dalam bentuk rekomendasi dalam menyelesaikan substansi masalah omnibus law.

Padahal, yang harus diselesaikan adalah substansi dari klaster ketenagakerjaan yang menghapus upah minimum yaitu UMK dan UMSK dan memberlakukan upah perjam di bawah upah minimum.

Kemudian juga mengurangi nilai pesangon, penggunaan buruh outsourcing dan buruh kontrak seumur hidup untuk semua jenis pekerjaan, waktu kerja yang eksploitatif dan menghapus cuti dan menghapus hak upah saat cuti.

Juga emudahan masuknya TKA buruh kasar di Indonesia, mereduksi jaminan sosial, mudahnya PHK sewenang wenang tanpa izin pengadilan perburuhan. Serta hilangnya beberapa sanksi pidana untuk pengusaha.

“Berdasarkan 4 alasan di atas, kami dari KSPI, KSPSI AGN, dan FSP Kahutindo keluar dan mengundurkan diri dari tim teknis Omnibus Law RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan,”tegas iqbal.

Dalam sistem kapitalisme yang tengah diadopsi bangsa ini, keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha atau para kapitalis adalah hal yang paling menonjol.

Hal ini tercermin dalam peraturan dan perundangan yang telah dibuat, misalnya UU Minerba, UU PMA, UU Migas, UU SDA, dan Undang-undang lainnya. Begitupula dengan RUU Cipta Kerja ini yang ditargetkan rampung pada bulan Agustus 2020.

Revisi Omnibus law dipaksakan segera selesai dan pengesahan bisa segera dilakukan. Mengingat ada kebutuhan mendesak untuk memastikan iklim kondusif investasi demi menciptakan lapangan kerja massal.

Namun masih banyak penolakan dari serikat pekerja. Karena dari mekanisme penyusunan revisi saja sudah nampak arogansi pengusaha yang tuntutannya dominan dalam revisi RUU tsb.

Sementara serikat pekerja mengkhawatirkan makin rendahnya pembelaan terhadap pekerja saat terjadi konflik dengan pengusaha karena hak DPR dan serikat pekerja dikebiri.

RUU ini serta Undang-undang lain yang telah ditetapkan semakin menambah penderitaan rakyat dan makin membuat carut-marut ekonomi Indonesia. Hal ini membuktikan kerapuhan sistem ekonomi dalam Ideologi kapitalisme yang sangat jauh berbeda dengan Islam.

Islam merupakan agama yang sempurna, tidak ada satu hal pun yang kosong dari hukum syara. Begitupun kaitannya dengan ekonomi. Di dalam sistem ekonomi Islam kepemilikan umum wajib dikelola oleh negara, tidak boleh diserahkan kepada swasta dan asing. Sehingga lapangan kerja terbuka lebar untuk semua rakyatnya, khususnya untuk para laki-laki.

Karena kewajiban bekerja untuk mencari nafkah dibebankan kepada kaum laki-laki namun Islam tidak melarang perempuan untuk bekerja selama tidak bertentangan dengan syara.

Sistem ekonomi islami bertumpu pada sektor rill, misalnya pengembangan industri pertanian, perdagangan barang dan jasa, pengembangan industri non-pertanian, ataupun kerjasama bisnis dalam bentuk berbagai syirkah atau kerja sama usaha untuk memfasilitasi para pemilik modal yang tidak memiliki skill bisnis dengan para pengusaha yang membutuhkan modalnya untuk pengembangan usaha.

Negara yang dalam ajaran Islam dikenal dengan terminologi Khilafah, memastikan terciptanya lapangan kerja yang luas untuk seluruh rakyatnya. Karena negara lah yang akan mengatur segala urusan pengelolaan dalam negerinya tanpa intervensi dari pihak asing.

Penerapan Islam secara kaffah menjadi satu-satunya harapan bagi bangsa ini jika ingin terlepas dari keterpurukan ekonomi. Baik para pekerja maupun seluruh rakyat akan dijamin kesejahteraannya oleh negara.

Semoga sistem yang mulia ini akan segera terwujud ditengah-tengah kita. Wallahu A’lam bisshowab.[]

Comment