RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA Beberapa waktu yang lalu, Menkeu Sri Mulyani meraih penghargaan sebagai Finance Minister of the Year for East Asia Pacific tahun 2020 dari majalah Global Markets.
Menurut Global Markets, Sri Mulyani layak mendapatkan penghargaan tersebut atas prestasinya dalam menangani ekonomi Indonesia di pandemi corona (Covid–19).
Berkaitan dengan hal itu, beberapa pihak menilai bahwa pemberian penghargaan itu kurang tepat. Fadli Zon misalnya, seperti yang diungkapkan dalam konten YouTube pribadinya.
“Saya banyak ditanya oleh rekan-rekan termasuk oleh konstituen, bagaimana bisa menteri keuangan kita sekarang mendapat lagi gelar sebagai menteri keuangan terbaik se-Asia Pasifik,” ujar Fadli Zon.
Fadli Zon menilai bahwa pertanyaan sejumlah pihak sangat pantas untuk disikapi. Karena menurut Fadli Zon realitanya saat ini perekonomian di Indonesia semakin sulit.
“Ini adalah satu pertanyaan yang menurut saya perlu disikapi, karena diberikan oleh sebuah majalah atau institusi bahwa apa yang dilakukan oleh menteri keuangan itu dan kebijakan-kebjikannya bisa dianggap sebagai menteri keuangan terbaik,” papar Fadli Zon.
Ketidaksetujuan sejumlah pihak memang beralasan, karena kita tahu bahwa saat ini utang negara menggunung, sedangkan Menkeu tak mampu membuat kebijakan untuk mengatasinya. Perlu diketahui, Kementerian Keuangan mencatat jumlah utang pemerintah tembus Rp 5.434,86 triliun hingga akhir Juli 2020.
Bahkan, Bank Dunia dalam laporannya yang berjudul International Debt Statistics (IDS) 2021, menempatkan Indonesia di daftar 10 negara dengan utang luar negeri terbesar, dikutip dari Bisnis.com(14/10/2020).
Maka, wajar bila sebagian pihak menilai bahwa penunjukannya berdasar penilaian asing (lembaga internasional) semata. Dikhawatirkan, ini merupakan jebakan kapitalisme global agar bangsa ini semakin terjerat dengan hutang luar negeri.
Miris, setiap tahunnya Pemerintah harus membayar cicilan utang luar negeri yang cukup besar nominalnya. Hal itu akan mempengaruhi besaran persentase APBN untuk membayarnya sekaligus mengorbankan sektor lain, seperti militer, pendidikan dan kesehatan. Uang untuk kesehatan dan pendidikan makin menurun.
Membangun Negara dengan utang merupakan cara pandang ekonom kapitalis. Dampak peningkatan utang ini jelas akan menyebabkan beban berat pada generasi mendatang. Pemerintah tentu akan melakukan penekanan pengeluaran dan penambahan pemasukan atau dengan peningkatan pajak. Penekanan pengeluaran biasanya dengan mengurangi subsidi untuk rakyat. Di sisi lain pajak makin tinggi.
Adapun, Utang luar negeri sebenarnya sangat melemahkan dan membahayakan sektor keuangan (moneter) negara pengutang. Hutang ada yang berjangka panjang dan ada yang berjangka pendek. Yang berjangka pendek berbahaya karena akan dapat memukul mata uang domestik dan akhirnya akan dapat memicu kekacauan ekonomi dan kerusuhan sosial dalam negeri.
Sebab bila hutang jangka pendek ini jatuh tempo, pembayarannya tidak menggunakan mata uang domestik, melainkan terutama harus dengan dolar AS. Padahal dolar AS termasuk hard currency.
Sebenaranya, sejak sebelum pandemi Covid-19 pun, ekonomi Indonesia sudah dipastikan sedang lesu. Apalagi pandemi membuat defisit makin lebar karena penerimaan negara anjlok, sementara kebutuhan anggaran melonjak.
Lalu, sampai kapan bangsa ini terjebak dengan utang luar negeri?
Padahal, kita semua telah melihat dan merasakan bagaimana sistem ekonomi ini berjalan selama ini. Hingga realita utang LN yang secara turun-temurun sejak negeri ini memproklamirkan kemerdekaannya hingga hari ini akan terus membawa kita dalam perjalanan yang sangat panjang untuk menjadi negara yang bebas utang!
Kini sudah waktunya kita menyatakan “Stop Utang LN!” dan bersiap-siap untuk meninggalkan sistem ekonomi kapitalis menuju sistem ekonomi Islam yang adil dan beradab.
Sistem ekonomi Islam tidak akan mengalami jalan buntu seperti kapitalisme, saat mengalami defisit anggaran sekalipun. Negara akan menyelesaikannya dengan 3 (tiga) strategi yakni:
Pertama, meningkatkan pendapatan. Ada 4 (empat) cara yang dapat ditempuh:
(1) Mengelola harta milik negara. Misalnya saja menjual atau menyewakan harta milik negara, seperti tanah atau bangunan milik negara. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di Tanah Khaibar, Fadak, dan Wadil Qura.
Khalifah boleh juga mengelola tanah pertanian milik negara, dengan membayar buruh tani yang akan mengelola tanah pertanian tersebut. Semua dana yang yang diperoleh dari pengelolaan harta milik negara di atas akan dapat menambah pendapatan negara.
Namun harus diingat, ketika negara berbisnis harus tetap menonjolkan misi utamanya melaksanakan kewajiban ri’ayatus-syu’un.
(2) Melakukan hima pada sebagian harta milik umum. Yang dimaksud hima adalah pengkhususan oleh Khalifah terhadap suatu harta untuk suatu keperluan khusus, dan tidak boleh digunakan untuk keperluan lainnya.
Misalkan saja Khalifah melakukan hima pada tambang emas di Papua untuk keperluan khusus, misalnya pembiayaan pandemi Covid-19. Rasulullah saw. pernah menghima satu padang gembalaan di Madinah yang dinamakan An-Naqi’, khusus untuk menggembalakan kuda kaum Muslim.
(3) Menarik pajak (dharibah) sesuai ketentuan syariah. Pajak hanya dapat ditarik oleh Khalifah ketika ada kewajiban finansial yang harus ditanggung bersama antara negara dan umat.
(4) Mengoptimalkan pemungutan pendapatan.
Kedua, menghemat pengeluaran. Cara kedua untuk mengatasi defisit anggaran adalah dengan menghemat pengeluaran, khususnya pengeluaran-pengeluaran yang dapat ditunda dan tidak mendesak.
Ketiga, berutang (istiqradh). Khalifah secara syar’i boleh berutang untuk mengatasi defisit anggaran, namun tetap wajib terikat hukum-hukum syariah.
Haram hukumnya Khalifah mengambil utang luar negeri, baik dari negara tertentu, misalnya Amerika Serikat dan Cina, atau dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
Alasan keharamannya ada 2 (dua): utang tersebut pasti mengandung riba dan pasti mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negeri yang berutang.
Khalifah hanya boleh berutang dalam kondisi ada kekhawatiran terjadinya bahaya (dharar) jika dana di baitulmal tidak segera tersedia.
Kondisi ini terbatas untuk 3 (tiga) pengeluaran saja, yaitu: (1) untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil, dan jihad fi sabilillah; (2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara, dll; (3) untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar biasa, seperti menolong korban gempa bumi, banjir, angin topan, kelaparan, dll.
Pada tiga macam pengeluaran ini, jika dana tidak cukup di baitulmal, pada awalnya Khalifah boleh memungut pajak. Jika kondisi memburuk dan dikhawatirkan dapat muncul bahaya (dharar), khalifah boleh berutang.
Demikianlah sistem ekonomi Islam akan mampu membawa bangsa terbebas dari jeratan utang luar negeri.Wallohua’lam bishowab.[]
Comment