Liberasi Seksual Mengancam Generasi

Opini765 Views

 

 

Oleh : Putri Jasmine,  Konsultan Masalah Remaja

_________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Pernyataan seorang figur publik tanah air yang menyebutkan bahwa dirinya bersikap terbuka bahkan ikut menemani saat anak-anaknya menonton film porno sungguh mengejutkan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai film porno buruk bagi anak-anak dan berdampak negatif bagi tumbuh kembang anak.

Konten porno tak boleh ditonton oleh anak-anak meski diawasi atau ditemani, ujar Ketua KPAI, Susanto, Sabtu (26/6/2021).

Sangat disayangkan, orangtua yang seharusnya menanamkan nilai-nilai kebaikan, akhlak yang mulia, dan menjauhkan anak-anaknya dari segala hal yang dapat merusak akal, mental, dan psikologisnya justru melakukan hal yang sebaliknya, membiarkan konten porno yang menimbulkan efek negatif terpapar kepada buah hatinya.

Hal ini terjadi tak lepas dari pengaruh liberalisasi dalam keluarga yang selama ini begitu gencar diserukan barat.

Pendidikan seks adalah bagian dari program global yang dirancang sedemikian rupa dan dikampanyekan untuk diadopsi sebagai solusi. PBB sendiri menempatkannya sebagai bagian dari program penting di UNESCO.

Di berbagai negara Barat yang sudah mengadopsi penuh program ini, pendidikan seks diajarkan di rumah dan sekolah sejak anak berusia 4—5 tahun. Bermacam alat peraga digunakan, mulai dari gambar hingga video.

Beberapa negara bahkan menghidupkan kurikulum pendidikan seks dengan metode simulasi dan bermain peran. Apakah upaya ini menjadi solusi? Nyatanya tidak. Liberalisasi pergaulan, terlebih liberalisasi seksual justru menambah runyam masalah.

Pergaulan bebas yang semakin marak menambah rentetan masalah lanjutan di kalangan remaja. Hamil diluar nikah, aborsi, merebaknya penyakit menular, dll menambah pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk diselesaikan.

Inilah gambaran nyata masyarakat sekuler liberal. Eksploitasi naluri seksual menjadi salah satu ciri peradaban liberal. Kesenangan ragawi menjadi ukuran kebahagiaan. Nilai-nilai kebebasan disakralkan, hingga kebebasan seksual juga dianggap bagian dari hak asasi tiap manusia.

Siapa yang untung? Tentunya kaum kapitalis pemilik industri dan pemilik media. Di bawah payung ideologi kapitalisme, mereka bisa menyamarkan tujuan keuntungan materialistisnya menjadi bagian dari gaya hidup dan kebutuhan semua orang.

Pola pendidikan semacam itu sangat berbeda dengan Islam. Islam melalui negara akan langsung memberikan pendidikan akidah. Baik di sekolah maupun di rumah, anak-anak akan dikuatkan keimanannya lebih dahulu.

Setelah itu mereka akan diajari ilmu fikih pergaulan, mulai dari berpakaian, pemisahan kehidupan laki-laki dan perempuan hingga fikih rumah tangga.

Jadi, ketika baligh anak-anak akan siap melaksanakan hukum syariat. Serta dapat membedakan mana yang benar dan salah. Mereka akan selalu menempatkan Allah Swt. dalam segala aktivitasnya. Sehingga tidak akan ditemui kejadian “married by accident” atau tertular penyakit HIV. Karena Islam mengharamkan zina.

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.” (QS Al-Isra: 32)

Selain itu, negara juga akan memberikan hukuman yang tegas bagi pelanggar hukum syariat. Dengan demikian, perilaku masyarakat utamanya remaja akan terjaga.

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap satu dari keduanya dengan seratus kali dera. Dan janganlah kamu belas kasihan kepada keduanya di dalam menjalankan (ketentuan) agama Allah yaitu jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah (dalam melaksanakan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur: 2).

Begitulah pandangan Islam tentang cara mendidik anak. Sebagai seorang muslim, sudah selayaknya kita mengambilnya. Bukan malah mengadopsi pemikiran lain yang jelas bertentangan dengan Islam. Bukankah kita semu menginginkan surga?[]

Comment