Oleh : Risma Febrianti, Mahasiswi
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Bulan suci ramadhan merupakan bulan mulia bagi umat muslim. Di Indonesia sendiri, banyak tradisi yang sering dilakukan saat di bulan ini. Mulai dari ngabuburit, keliling membangunkan sahur, hingga arus mudik di penghujung ramadhan saat ini.
Pulang kampung atau mudik adalah kegiatan yang wajib dilakukan oleh sebagian perantau dari kampung ke kota. Mereka pasti akan mempersiapkan segala keperluan untuk mudik, seperti oleh-oleh untuk keluarga dan tidak lupa membeli tiket transportasi umum menuju kampung halaman. Baik transportasi umum bus, kereta, kapal laut, hingga pesawat terbang.
Hanya saja, jalur darat seperti transportasi umum bus atau menggunakan kendaraan pribadi sangat identik dengan tingkat kemacetan yang tinggi. Seperti dilansir oleh Republika.CO.ID, Solo Wakil Ketua Komisi D DPRD Provinsi Jateng Hadi Santoso mengimbau para pemudik mewaspadai titik rawan kemacetan dan bencana.
Menurut dia, lebih dari 82 titik kemacetan paling banyak karena pasar tumpah sebanyak 42 titik. Selebihnya sejumlah exit tol, persimpangan jalan, perlintasan kereta api, dan penyempitan jalan.
Selain kemacetan yang parah, pemudik juga harus menghadapi fakta tentang harga tiket yang melambung menjelang lebaran. Kenaikan harga tiket jelang lebaran memang sudah biasa terjadi. Kalangan pengusaha bus pun sudah memberi kode akan kenaikan harga ini, yakni untuk bus antar kota antar provinsi (AKAP).
“Tarif seperti biasa ada penyesuaian, kisarannya masih sama 25%-35% tergantung jarak,” ungkap Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI) Kurnia Lesani Adnan kepada CNBC Indonesia, Rabu (15/3/2023). (Jakarta, CNBC Indonesia).
Secara umum layanan transportasi yang ada belum bisa memberikan rasa aman dan nyaman. Berbagai kecelakaan yang terjadi pada berbagai moda adalah buktinya. Terlebih saat mudik, resiko bertambah besar di samping harga yang melambung tinggi.
Pada tarif yang menggelembung tersebut ada campur tangan penguasa terkait kebijakan negara secara strategis. Mulai dari harga BBM yang naik, pembangunan infrastruktur yang belum merata dan memadai, jalan rusak, problem kemacetan, tarif tol, sampai tata kelola transportasi publik yang belum maksimal. Semua itu menjadi penyumbang besarnya rupiah yang harus dirogoh oleh para pemudik.
Tarif yang mahal ini merupakan kondisi wajar di alam ekonomi kapitalisme. Betapa tidak, penyedia transportasi umum memang didominasi swasta yang berorientasi profit semata, sedangkan yang disediakan oleh negara (BUMN) juga dikelola dengan prinsip yang sama. Padahal, peran negara semestinya bukan hanya menetapkan batas atas tarif atau memberi sanksi bagi pelanggarnya, melainkan menyediakan sarana kebutuhan publik secara berkualitas dan terjangkau.
Melalui sistem ekonomi kapitalisme, pemerintah menyerahkan pengelolaan aset kepemilikan umum kepada swasta atau asing, apalagi negara mengklaim tidak memiliki SDM memadai untuk mengelolanya sendiri. Selain itu, biaya pembangunan infrastruktur bertumpu pada utang luar negeri, termasuk urusan sarana dan prasarana transportasi. Investasi pun masif menjadi dalih.
Berbeda dengan sistem Islam. Islam merupakan agama yang sempurna. Segala pengaturan kehidupan ada mekanismenya, termasuk tata kelola infrastruktur dan moda transportasi. Tata kelola itu tidak hanya berlaku pada momen mudik Lebaran, tetapi juga dalam aktivitas sehari-hari.
Dalam Islam, negara wajib menyediakan moda transportasi publik yang berkualitas, layak, dan memadai. Selain itu, juga menyiapkan secara optimal seluruh infrastruktur, termasuk jalan umum dan jembatan penghubung antarkota, serta memfasilitasi warga dengan bahan bakar yang terjangkau. Hingga tingkat kemacetan dan problematika arus mudik tidak terjadi seperti saat ini. Wallahu a’lam.[]
Comment