LARA MAYRA Oleh : Eva Liana

Berita661 Views
Eva Liana

 “May,
sudah jam malam. Ayo, masuk ke kamar,” ajak Rania, prihatin.
Gadis
Dayak Loksado dengan kecantikan eksotis itu tak bergeming. Duduk di halaman
depan pondok, di bawah naungan sebatang pohon akasia, sahabat setianya melanglang
buana ke alam maya. Kebiasaan yang dilakoninya sejak malam pertamanya di pondok
pesantren, hingga kini, setelah enam bulan.
Awalnya
Rania dan teman-temannya menganggap sikapnya sebagai hal yang wajar. Setiap
santri putri yang baru masuk pondok, selalu homesick.
Termasuk Rania. Ada yang nangis tiap malam. Ada yang suka melamun dan malas
makan. Ada pula yang murung dan diam berhari-hari. Hanya dua puluh persen yang
mampu langsung beradaptasi. Tapi biasanya gejala homesick ini tak berlangsung lama. Paling lambat dua atau tiga
bulan, mereka sudah bisa saling hibur dan menyesuaikan diri.
Mayra
berbeda. Enam bulan sudah. Ia tak kunjung terlepas dari kebiasaan anehnya, suka
menyendiri setiap ba’da Isya di bawah pohon akasia. Usianya dengan Rania hanya
terpaut dua bulan. Tetapi dia terhitung junior Rania di pondok maupun di
madrasah aliyah. Meski mengaku sempat bersekolah di SMA sampai kelas dua,
tetapi oleh kurikulum pondok, ia diturunkan ke kelas satu madrasah aliyah.
Ada
apa dengan Mayra dan pohon akasia? Sebersit tanya memberkas di benak Rania.
Hari
pertamanya masuk pondok, sangat mengundang perhatian para santri senior.
Enam
bulan lalu, ia datang bersama kedua orangtua beserta dua orang pamannya.
Ayahnya menggandeng tangan kiri, dan ibunya menggandeng tangan kanannya. Poni
nya acak-acakan,  mengintip di sela-sela kerudung pendek
semrawut. Memakai gamis pink lusuh kependekan. 
Hujan runtuh di mata sembabnya. Sesenggukan sambil sesekali setengah
meronta.
“Mayra
tidak mau, Dung
tidak mau berpisah ….” ratapnya
saat keluarganya akan pamitan.
Rania,
selaku ketua kamar
asrama,
perlahan mendekat dengan hati bergetar iba. Memang hatinya mudah terenyuh.
Apalagi tangisnya begitu menyayat
seperti
ditinggal mati orangtua saja. Mungkin gadis muda ini kelewat dimanjakan. Tak
bisa pisah orangtua. Nampaknya, ayah ibunya juga kurang mengkondisikan
persiapan menjelang masuk pondok pesantren. Memang, kalau sejak kecil tak
dilatih mandiri, akhirnya begini. Sangat tergantung pada orang tua. Demikian
gelitik hati kecil Rania.
Ibu
Mayra tampak meneteskan airmata. Diusapnya dengan ujung kerudung.
“May,
ini demi kebaikanmu, Nak ….”
Gadis
muda calon santri berusia enam belas tahun itu, kian terguguk. Lidahnya karam.
Matanya nanar
.
Hingga hilang bayangan keluarganya, tetap saja ia memandang kosong ke arah
kepergian mereka.
“Mayra,”
sapa Rania waktu itu, mulai khawatir dengan diamnya.
“Aku
mau pulang.” Mendadak ia mendesis. “Induuung, aku mau pulang! Jangan antar aku kemari!!”
Ia berteriak melengking, mengejutkan. Tiba-tiba tubuhnya
melompat lari. Menghambur ke gerbang pondok.
Rania
terkejut bukan alang kepalang. Refleks mencelat pula. Dalam waktu singkat, ia
telah menghadang langkah Mayra.
Para
santri putri yang sore itu sebagian ada di mushola dan sebagian di halaman,
terperangah dengan suara lengking tak biasa. Mereka serempak menengok dan
merubung ke arah Mayra dan Rania.
Malangnya,
Rania salah perhitungan. Ia pikir Mayra akan berhenti. Ternyata gadis itu malah
membelok, melewatinya dengan lincah. Tapi Rania tak hilang akal. Sigap,
menggeser kakinya tepat di depan langkah Mayra. Tak sia-sia latihan pencak
silat tiga kali seminggu di pondok, membuatnya mampu merespon gerakan mendadak.
Brukk! Tanpa
ampun, May terjatuh. Tiga orang santri putri bergegas menyambutnya. May
meronta. Melolong-lolong. Tapi orangtuanya sudah kabur dari pandangan.
Dua
orang ustadzah meruqyahnya di ruang
perawatan pondok. Rania dibantu tiga santri putri lainnya, memegangi tubuh
Mayra agar tidak menggeliat lari.
Satu
jam kemudian, ia berangsur tenang. Lalu tertidur kelelahan. Sedangkan
kakak-kakak santrinya tetap waspada, bergantian menjaga sambil tiada hentinya
tilawah Qur’an.
Besoknya,
ayah ibu May kembali menjenguk. Begitu melihat wajah ibunya, May kembali
meratap, menghiba minta pulang. Tapi ibunya tegas menggeleng dengan wajah
disaput mendung.
“May,
sabar, Nak. Jalan ini memang sulit. Tapi pasti. Jangan kau lena dunia. Apalah
artinya kebaikan yang tak diniati karena Allah.”
May
mengguguk pilu dalam pelukan ibunya. Sang ibu ikut bersimbah airmata. Namun
agaknya, keputusan telah terpancang teguh. Tekad telah bulat untuk memaksa
putrinya tetap bersekolah di pesantren. Menumbuhkan segumpal tanya di dada
Rania.
Memang
Rania mengakui, kebanyakan orangtua memilih pesantren untuk
“meluruskan” kelakuan
anaknya.
Ia dulu juga termasuk anak bandel. Bahkan awalnya selepas SD, tidak mau
melanjutkan
ke sekolah
manapun sama sekali. Malas betul kalau dengar kata sekolah. Yang terbayang
hanyalah tugas bejibun, les tiap hari
dan segala macam disiplin yang melelahkan. Setelah diancam akan dinikahkan
dini, baru mau sekolah di pesantren.
Hari-hari
pertama di pondok, ia sempat bikin ulah. Sengaja melanggar peraturan untuk
memancing kemarahan senior atau ustadzahnya. Jika dipanggil menghadap, Rania
malah kesenangan. Berharap dikeluarkan. Eh, ternyata tidak. Mereka super sabar
menghadapinya. Ia jadi terbingung-bingung sendiri karena gagal ingin dianggap
anak nakal.
Akhirnya,
setelah beberapa bulan menjalani suasana kehidupan pesantren
yang penuh kekeluargaan, Rania malah
betah. Tidak ada tekanan atau mos yang menegangkan bagi santri putri baru.
Kakak-kakak senior semuanya baik hati dan ramah. Para ustadzah lembut mendidik
mengayomi. Rania merasakan angin sejuk mendamaikan hatinya.
Akan
tetapi, Mayra tidak kelihatan seperti anak bandel. Murung yang ditangkap Rania,
tidak seperti kepedihan anak yang terpisah orangtua. Bukan, bukan homesick. Pengalamannya selama hampir
lima tahun menjadi senior yang telaten, membuat Rania mampu mengidentifikasi
sikap adik-adik santri baru.
Mayra,
sekali lagi berbeda. Dari penuturan ibunya, Mayra anak berprestasi dengan
semangat belajar yang tinggi. Hanya saja, kata sang ibu, Mayra memang belum
pernah pisah dengan orangtua, makanya dia jadi histeris begitu.
Masa,
sih? Rania agak ragu. Ia belum pernah menemukan santri yang sampai histeris
begini gara-gara terpisah orangtua. Pakai acara lari-lari segala lagi. Kayak
balita saja.
Ayah
ibu Mayra terpaksa menjenguk tiap hari. Setelah hampir sebulan, akhirnya
kunjungan bisa dikurangi. Mayra berangsur-angsur tenang, tak menjerit-jerit
minta pulang lagi.
Tapi,
ia menarik diri dari pergaulan. Kebiasaan anehnya, menyepi di bawah pohon
akasia selepas isya, selama enam bulan,
sungguh
mengkhawatirkan.
Nampaknya,
Mayra memendam kesedihan yang lebih dalam. Rania sering memperhatikan
pandangannya yang kosong. Airmata yang menitik tanpa suara. Tubuh lunglai
bersandar ke batang pohon. Wajah pucat dan kuyu.
Malam
ini. Setelah enam bulan berlalu. Belum terjadi perubahan. Dia masih seperti
itu. Tak juga bisa diajak terbuka akan masalah yang menghimpit dadanya.
Rania
ingin sekali
menjadi tempat
curhatnya
. Tapi
tak tahu harus memulai darimana. Ini adalah kasus langka baginya. Akhirnya yang
mampu ia lakukan
hanyalah
duduk menemani Mayra, hampir tiap malam sampai santri jaga mengumumkan jam
malam sampai tiga kali lewat pengeras suara di mushola. Barulah Mayra beranjak,
lalu mengajaknya dengan sikap dingin, untuk kembali ke kamar.
“May,”
Rania tak lelah menegur, lembut. “Berbagilah denganku.”
Tatapan
gadis muda dengan kecantikan eksotik itu terlempar ke langit.
“Kau tak perlu menemaniku begini. Takkan ada
yang mampu menyelesaikan masalahku. Tidak juga Tuhan.”
Ini
kalimat yang bikin merinding bulu kuduk.
Astaghfirullah, May!” Rania
mendesah kaget.
Untuk
pertama kalinya, Mayra berpaling menatap Rania dengan bening bola matanya yang
besar dan sangat hitam.
“Tidak
adil. Tuhan menciptakan cinta, tapi mengapa malah membatasinya?”
Deg.
Jantung Rania serasa lepas dari tangkainya. Untuk sesaat ia diam tak bisa
berkata-kata. Bingung harus merespon apa.
Mayra
bangkit. Acuh tak acuh melibas Rania, kembali ke asrama.
* * *
Seminggu
kemudian, Mayra jatuh sakit. Demam dan menggigil. Permukaan kulitnya dipenuhi
bintik merah. Tubuhnya yang sudah kurus itu kian menyusut karena tak mau makan.
Ustadzah
Najmi,
pengasuh ponpes, segera membawanya ke puskesmas. Setelah periksa darah,
ternyata Mayra positif kena demam berdarah.
Seisi
ponpes menjadi
gempar. Bukankah
d
emam berdarah itu
penyakit ya
gh
ditularkan oleh nyamuk? Jika ada satu santri yang menderita penyakit it
u, berarti nyamuk yang terjangkit virus demam berdarah berkeliaran di pondok
mereka. Ustadzah
Najmi
segera mengumumkan gotong royong, kerja bakti membersihkan l
ingkungan pondok. Sampah-sampah, botol bekas, baskom
pecah yang bisa jadi potensi nyamuk bertelur diberantas. Baju-baju dirapikan,
tak boleh ada yang bergelantungan. Tempat mandi diberi bubuk abate untuk memusnahkan jent
ik nyamuk. Tidur wajib pakai kelambu.
Ustadz Salim, suami
Ustadzah
Najmi, juga memanggil petugas dari dinas
kesehat
an
untuk m
elakukan
fogging.
Mayra
sendiri langsung dirawatinapkan di puskesmas rawat inap
kecamatan. Orangtuanya datang dengan segera begitu
dikabari.
Rania
yang menunggui Mayra di puskesmas, melihat betapa ibu
Mayra tak kuasa menahan sedu sedan
menyaksikan kondisi putri
nya.
Mayra memang pucat dan matanya cekung.
Raut
depresinya
kian
menonjol.
“Mayra, … apakah kau masih belum ikhlas,
Nak?”
ratap
ibunya.
Gadis
muda itu hanya mendelong.
Ustadzah
Najmi mendekat.
“Mayra,
masalah hati hanya bisa disembuhkan dengan tawakkal, sabar dan syukur. Menolak
kenyataan hanya akan memperparah perasaan kita. Nak, apakah kau sanggup jika
kelak di ha
ri
akhir, Allah men
untutmu
atas sikapmu yang kurang tawakkal, sabar dan bersyukur?”
Setetes
airmata bergulir ke atas pipi mulus Mayra. Rania menggenggam tangannya. Mayra
menatapnya. Mulai tersentuh dengan perhatian Rania. Ia balas menggenggam tangan
gadis yang selalu setia menemaninya, meski tak pernah diacuhkannya itu.
“Mengapa
kau mau berteman denganku?”
lirih
Mayra.
“Karena
sesama muslim harus saling menyayangi, May,” jawab Rania. “Salah satu
tanda saling menyayangi adalah saling peduli dan memahami satu sama lain.
Tanggap menolong tanpa diminta.”
Mayra
menatap haru.
Rania,
entah mengapa, merasa dekat dengan Mayra. Padahal gadis
Dayak itu jarang mengajaknya bicara.
Mungkin karena ia suka memperhatikan tingkah Mayra yang tidak lazim. Lagipula,
diam-diam ia punya cita-cita jadi psikolog, karena menurut teman-te
mannya, Rania enak jadi teman curhat dan
jago ngasih solusi.
Selama
Mayra sakit, Rania rutin berkunjung. Kadang bersama teman-teman yang lain,
kadang sendirian. Kehadiran Rania, perlahan-lahan mu
lai membuat Mayra terhibur. Ia mulai
menanyakan jika Rania terlambat datang membezuknya.
Gadis
Dayak itu dirawat selama lima hari. Boleh pulang di hari keenam. Namun t
ernyata ia langsung kembali ke pondok, tidak
ke rumahnya. Ayah ibunya enggan mengajak pulang ke Loksado, padahal Mayra
berharap sangat.
“Tidak,
Mayra. Subhanallah. Ibu takkan
membiarkanmu kembali sebelum hatimu pulih.” Demikian ucapan ibu Mayra yang
sempat ditangkap Rania.
Sebelum hatimu pulih? Berarti selama ini hati Mayra sakit? Sakit
karena apa …? Rania jadi bertanya-tanya. Namun rasa penasaran
ini dipendamnya. Tidak, dia tidak mau
kepo, sok pengen tau urusan orang. Lebih baik menjadi sahabat yang senantiasa
peduli dan siap saat diperlukan. Lagipula Mayra tanggung jawabnya karena Rania
adalah ketua asrama.
* * *
Purnama
cerah bersinar. Cahayanya jatuh di paras muram gadis
Dayak yang duduk di bawah pohon akasia.
“May.”
Seperti biasa, Rania datang mengingatkan jam malam.
“Ran,”
kali ini, May merespon. Semenjak Rania rajin mengunjunginya saat dirawat inap
di
puskesmas, sikapnya mulai mencair.
“Bulannya cantik sekali.”
“Hemm
… iya.” Rania menengadah

ke langit
. Memperhatikan rembulan. “Masya Allah,” gumamnya takjub.
“Dia
sering bilang, wajahku bercahaya seperti bulan.”
Deg.
Jantung Rania
hampir mandeg
karena

kaget.
“Dia
siapa, May?”
“Peter.”
Rania
terkesima sesaat. Tapi kemudian berusaha menenangkan diri dengan menarik nafas
panjang-panjang.
“Kami
sering berjanji temu di lereng gunung Kentawan, tepat di bawah pohon
akasia,” lanjut Mayra dengan tatapan menerawang.
Akhirnya,
cerita sedih pun mengalir dari mulutnya.
* * *
Namanya
Peter. Masih muda, seumuran mahasiswa. Wajahnya tampan sekali. Sikapnya santun
dan selalu menjaga pandangan. Akhlaknya terkenal baik di masyarakat. Selalu
cepat tanggap menolong orang yang membutuhkan bantuan.
Pergaulannya
dengan perempuan sangat hati-hati. Tidak suka bercanda kelewatan, hanya yang
perlu-perlu saja. Sejak bekerja sebagai
petugas pendamping desa, dua tahun lalu, dengan cepat ia
menjadi sorotan. Semua orang suka padanya. Terutama gadis-gadis muda. Tak
sedikit yang tergila-gila mengejar perhatiannya. Peter tetap ramah, tapi tak
mau memberi peluang harapan sedikit pun
pada gadis yang kesemsem padanya.
Mayra
bukan termasuk dalam deretan pemuja Peter. Ia anak rumahan. Kerjaannya sekolah,
mengaji, bantu ibu di rumah. Aktif di TPA, ngajarin anak-anak
mengaji. Suka ikut kegiatan majelis ibu
Mariyani, ketua TPA di kampungnya. Ayah ibunya tak terlalu mampu, jadi di
rumahnya tak ada teve atau hape. Ada baiknya juga, karena pengaruh buruk dua
media elektronik itu tak seberapa berimbas pada dirinya.
Mayra
bukannya tak dengar hebohnya teman-teman sebaya membicarakan tentang Peter.
Bukannya tak biasa melihat tampannya pemuda Jakarta berdarah Italia itu. Tapi
ia sadar diri dengan kemiskinannya. Kata ibunya, ia harus fokus belajar untuk
masa depan, jangan mikir yang lain-lain. Karena ilmu akan mengangkat derajat hi
dupnya. Makanya Mayra rajin belajar dan
tak mau ikut-ikutan perbuatan yang sia-sia. Semacam ngecengin Peter saban sore,
misalnya.
Pada
suatu hari, ayahnya jatuh sakit. Harus dirawat di rumah sakit Kandangan. Tapi
tak ada biaya. Tak dinyana, masalah ayahnya didengar oleh Peter. Pemuda itu pun
langsung turun tangan menolong.
Di
situlah aw
al
perkenalan mereka. Pemuda itu tampak begitu tulus. Datang tiap hari dan
mengurus segalanya tanpa pamrih. Perhat
iannya
melebihi perhatian keluarga atau orang-orang sekampung. Mayra dan keluarganya
terharu sekali.
Saat
itulah kesan baik di hati Mayra mulai tumbuh. Setelah ayah pulih dan keluar
rumah sakit, Peter mulai rajin berkunjung. Awalnya menanyakan perkembangan
kesehatan ayah. Lama-lama suka ngobrol berbagai hal
. Peter juga antusias sekali dengan minat
belajar Mayra. Ia pun suka membantu mengajari jika Mayra ada kesulitan dengan
pelajaran sekolah.
Mereka
jadi sering bertemu. Kesan di hati Mayra semakin dalam. Rasa
indah pun muncul karena terbiasa.
Hubungan mulai terjalin erat di antara mereka.
Semenjak itu, hari-hari gadis jelita ini berbunga-bunga. Ia semakin semangat
bersekolah dan semangat mengaji. Peter terus mensupp
ortnya untuk dekat dengan Tuhan. Hati
Mayra makin dalam terpanah cinta. Terambung tinggi karena mendapat perhatian
khusus dari
petugas pendamping
desa yang tampan dan intelek itu. Padahal ia cuma gadis miskin biasa. Menurut
Peter, kelebihan Mayra yang membuatnya tertarik adalah karena Mayra paling
cantik
, pintar dan
alim.
Gelagat
ini bukannya tak terbaca oleh ayah ibunya. Mereka
tegas melarang dan mulai membuat berbagai
alasan agar Peter tidak ke rumah. Akhirnya Mayra dan Peter membuat janji bert
emu di bawah pohon akasia di lereng gunung Kentawan yang
sunyi. Mayra semakin terpesona, karena Peter tak pernah memanfaatkan
kepolosannya. Ia selalu santun dan menjaga jarak. Kedekatan mereka terus
berlanjut selama setahun.
Indung, dia sangat sopan, tak pernah
macam-macam.” Demikian protes Mayra pada awalnya. “Tidak seperti si
Ulim atau Amat yang matanya jelalatan. Dia sangat menjaga pandangan.”
“Mayra,
akhlaknya memang baik. Tapi ….”
“Mayra
ingin menikah dengannya.”
Ayah
ibunya terperanjat.
“Kemarin
dia melamar May.”
“Demi
Allah, May, ayah tak setuju.”
Namun
Mayra berkeras.
Apang, lihat. Begitu banyak pemuda di
kampung kita, mereka malas sholat dan mengaji, kerjaannya gaul bebas dan malas
bekerja. Ada pula yang rajin sholat, tapi bisnis narkoba. Apa
Apang
mau menikahkan Mayra dengan salah satu d
ari
mereka hanya kar
ena
mereka muslim?”
“May, …” ibunya menangis melihat
kekerasan hati Mayra. “Apa kau tahu? Kata ibu Mariyani, pemuda itu adalah
misionaris berkedok pendamping desa, yang dididik oleh Vatikan untuk
menjalankan misi khusus mengkristenkan daerah terpencil. Orang seperti Peter
itu sebelum dikirim, sengaja dibina supaya menguasai sifat masyarakat dan
bahasa daerah setempat!”
Mayra
terisak.
“May
tahu, Indung. Peter jujur padaku. Dia
tidak pernah menutup-nutupi jati dirinya. Ayah ibunya ada di
Roma, Italia. Dia sungguh-sungguh
mencintaiku, dan sangat be
rtanggungjawab.
Bahkan dia mau melamar dan mengajak May ke Vatikan ….”
“Tidak,
demi Allah, tidak, May!”
seru
ayahnya.
Sejak
saat itulah penderitaan batin ini dimulai. Ayah ibu
semakin keras melarang Peter menemui
Mayra. Tapi Mayra kadang nekat sembunyi-sembunyi menemui Peter. Mereka bahkan
sempat berencana kawin lari. Untungnya paman Mayra bisa mencium rencana ini,
lalu melaporkannya pada ayah ibu Mayra.
Apang dan indung memang dangkal pengetahuan agama.
Tapi kami takut neraka, May. Jika kau nekat kawin dengan Peter, aku haramkan
kau masuk ke rumah ini! Setiap kali kakimu menjejak rumah atau tanganmu
menyentuh barang-barang di sini, indung
akan mencucinya kar
ena
kuanggap najis, May!”
teriak
ibunya.
Ucapan
itu membuat May
terhenyak dan hampir
pingsan. Ayah dan ibunya menitikkan airmata. Lalu, atas saran ibu Mariyani,
orangtuanya memasukkan Mayra secara diam-diam ke pesantren
di kecamatan lain, yang jauh dari ibukota kabupaten.
Hanya keluarga dekat
yang
tahu. Keberadaannya dirahasiakan

karena o
rangtua
Mayra kuatir, jika ada yang tahu, kabar
keberadaan Mayra akan sampai pada Peter, lalu pemuda misionaris itu akan
menyusul Mayra ke pesantren.
 Di kampung hanya dikabarkan bahwa Mayra 
pindah sekolah ke Kandangan. Memang biasa remaja-remaja Loksado
melanjutkan sekolah ke Kandangan, karena di Loksado sendiri belu
m ada SMU. Hanya ada satu SMK di Lumpangi
dengan daya serap terbatas.
* * *
Mayra
m
engakhiri
kisahnya dengan isak tangis yang menyesakkan dada. Rania
tak kuasa pula menahan airmata, ikut
berempati.
“Terakhir
kudengar kabar, ia mencariku kemana-mana, tapi
karena tak kunjung menemukan, akhirnya ia pulang ke Vatikan karena patah
hati.,” tutur Mayra
parau.
“Aku
tahu dia tidak main-main denganku, Ran. Serius ingin menikahiku.”
Rania
menghapus bening di sudut matanya. Bukan pedihnya
patah hati Mayra yang membuatnya luruh. Ia
bergetar
iba justru karena menyadari Mayra telah
salah meletakkan perasaannya.
“Mengapa
cinta suci ini dihalangi?”
ratap
Mayra lagi. “Hingga detik ini, hanya pohon
akasia ini yang menjadi pelipur rinduku.
Pohon ini mirip dengan pohon kenangan kami.”
“May,”
suara Rania setengah mengambang di tengah dinginnya malam. “Apakah cinta
suci itu menurutmu?”
“Cinta
tulus, saling menghargai dan menjaga hingga ke jenjang pernikahan. Seperti
cinta kami. Dia bukan jenis orang yang ingin merusak hidup seorang gadis hanya
karena ingin memaksakan misinya. Dia sungguh-sungguh mencintaiku, Ran.”
Rania
menggeleng lemah. Berupaya mengumpulkan kemampuan terbaiknya untuk menyentuh
mata hati Mayra agar terbuka.
“Aku
percaya, Ran. Aku percaya Peter tulus menyayangimu.”
Sepasang
mata bagus Mayra membulat. Wajahnya cerah seketika.
“Benarkah,
Ran? Oh, akhirnya ada juga di dunia ini yang mau mempercayaiku!”
katanya terharu seraya menggenggam tangan Rania.
“Terimakasih, Ran
. Kepercayaanmu
membuatku hidup.”
“Iya,
May. Tapi izinkan aku menyampaikan pandanganku terhadap cinta suci itu.”
Mayra
mengangguk-angguk, siap mendengarkan. Tampak lebih bersemangat dari sebelumnya.
Pernyataan Rania serasa angin segar yang merefresh energinya.
“Kau
yakin Allah, May? Yang Menciptakan alam semesta, manusia dan kehidupan ini?
Termasuk rasa cinta di hati manusia …?”
“Iya,
yakin .
...”
sahut Mayra sambil mulai menelisik, apa hubungan pertanyaan Rania dengan
masalahnya.
“Allah
Yang Maha Baik
,
…” Mata Rania berembun. “Dia yang melimpahi kita dengan nikmat
tiada terhitung banyaknya. Kau tentu ingat surah Ar-Rahman, ‘kan, May? Di situ
Allah pertanyakan, nikmat manalagi yang kita dustakan. May, Allah sayang sekali
pada kita.”
Mayra
tercenung, berusaha meresapi kalimat Rania.
“Karena
sayang-Nya itulah, maka Allah turunkan aturan melalui utusan-Nya, Rasulullaah
SAW, agar hidup kita selamat dunia-akhirat. Semua petunjuk Allah beri agar kita
tidak celaka. Termasuk kala kita mengelola cinta.”
Sampai
di sini, Mayra tertegun.
“Sahabatku,
Allah ingin agar hati terjaga, maka segala cinta bermuara kepada-Nya hingga
berbuah surga. Jadi … cinta suci adalah cinta yang dialirkan menuju Allah,
menuju ketaatan kepadanya. Maka itulah, May, …” Rania mulai terisak karena
haru menyumpal di dada. “Jika kau nekat menikah dengan Peter, kemudian ke
Vatikan, apakah itu akan menjelma menjadi cinta suci yang akan menghantarkanmu
ke surga-Nya?”
Sekujur
tubuh Mayra menegang. Genggamannya pada tangan Rania terlepas.
“Adilkah
kau pada Allah, May? Kau salahkan semuanya termasuk Allah karena cintamu
terhalang. Padahal Allah telah begitu sayang padamu, dan menjaga kemuliaanmu
dengan aturan-Nya. Allah berikan semua yang kau butuhkan dalam hidup ini. Tapi
kemudian kau balas Allah dengan menyalahkan-Nya, dan kau ingin lari dari-Nya
bersama Peter?”
Tubuh
Mayra tersandar lemas ke batang pohon
akasia.
“Aku
paham dan percaya, mungkin dia tulus padamu. Tapi, … jika betul perbuatannya
dilandasi iman kepada Tuhan, dia tidak akan membujukmu kawin lari, May,”
lanjut Rania dengan sikap lebih tenang setelah menghirup nafas panjang.
Jleb!
Kalimat itu menancap tepat di jantung Mayra. Gadis
Dayak ini bergetar. Untuk pertamakalinya,
cahaya kebenaran mulai menembus kalbunya.
Pengumuman
jam malam berkumandang lewat mikrofon mesjid ponpes. Rania beranjak berdiri,
mengulurkan tangannya.
Cairan
bening meleleh ke atas pipi Mayra. Ia bangkit, menyambut tangan Rania, lalu
berdiri. Keduanya lalu melangkah perlahan menyongsong hening asrama yang mulai
sepi.
Bulan
purnama tertunduk layu. Paham beratnya hati manusia melawan nafsu.
Sahabat, genggamlah tanganku.
Jangan kau lepaskan sedetik pun. Dampingi aku menapak hari, merawat luka
menganga yang terus mengalirkan darah ini, dengan balutan ikhlas.
*******************
 Eva Liana, ibu rumah tangga, lulusan akademi perawat depkes Banjarbaru, Kalsel. Profesi : novelis. Aktivitas sekarang : menulis dan aktif mengisi majelis ilmu.

Comment