RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pernah mendengar istilah “Kesetiaan suami diuji saat memiliki banyak harta. Tetapi kesetiaan istri diuji ketika suami tidak memiliki apa-apa.” ?
Sepertinya istilah itu tengah berlangsung dalam sistem sekular yang memisahkan agama dari kehidupan ini dan akhirnya membuat manusia seperti hilang arah, hidup semaunya, hidup seadanya seperti air mengalir sebab tidak memiliki aturan hidup yang kuat.
Fenomena yang terjadi belakangan ini banyak memberi bukti. Di tengah pandemi ekonomi semakin terhimpit, banyak kepala keluarga kehilangan pekerjaan, pedagang dan pebisnis kehilangan pelanggan, para supir kehilangan penumpang akibat dari sebuah dampak dikuranginya aktivitas di luar rumah (Work from home). Sementara pemerintah tidak maksimal memberi solusi terhadap kelangsungan hidup rakyatnya selama di rumah.
Tidak sedikit akhirnya kondisi ini membuat rapuh pertahanan ekonomi sebuah rumah tangga. Tak sedikit kemudian, akibat tidak mampu bertahan dalam kerapuhan ekonomi itu, para istri menganggugat cerai suami.
Para istri, para ibu harus memutar otak lebih ekstra keras sebab pemasukkan minus tapi pengeluaran tidak ada hentinya. Belum lagi ditambah harga-harga sembako semakin naik menggila.
Tarif Dasar Listrik (TDL) pun ikut naik, bahkan jaminan kesehatan (BPJS) ikut-ikutan naik.
Tambah sempurna kesedihan dan kepedihan kaum hawa dengan kewajiban menjadi guru di rumah bagi anak anak yang masih bersekolah.
Laman detiknews (26/6/2020) menulis bahwa Pengadilan Agama (PA) Bandung mencatat ada 1.355 janda baru selama empat bulan atau saat pandemi virus Corona. Jumlah janda itu berdasarkan 1.449 gugatan perceraian yang didaftarkan ke PA Bandung.
Kepala Kepaniteraan Pengadilan Agama Kelas IIA Jepara, Tazkiyaturobihah sebagaimana dikutip Merdeka (10/6/2030) mengatakan, total semuanya dari Januari sampai awal Juni 2020 perkara perceraian yang ditangani di Jepara mencapai 800 kasus lebih. Kasus paling banyak dua bulan terakhir ini terkait kesulitan ekonomi keluarga.
Begitu pun yang terjadi di bumi Serambi Mekah, Aceh sebagaimana disebutkan oleh Panitera Muda Mahkamah Syariah Aceh Abdul Latif.
Menurutnya, sejak bulan Januari hingga Mei 2020, kasus perceraian yang terjadi di Aceh sudah mencapai 2.397 yang terdiri dari cerai talak 660 perkara, dan cerai gugat 1.737 perkara.
Kenaikan kasus hingga tiga kali lipat itu seperti dikutip laman CNNIndonesia.com (24/6/2020), disebabkan oleh masalah ekonomi rumah tangga. Setiap hari panitera setidaknya menerima 100 orang yang mendaftarkan gugatan perceraian. Sekitar 80 persen penggugat datang dari pihak perempuan atau istri.
Masih banyak lagi artikel yang mengupas tentang meningkatnya perceraian di tengah pandemi yang hampir semua alasannya sama, sebab kesulitan ekonomi.
Walaupun sekolah dirumah, tapi tetap saja butuh kuota untuk belajar online. Walaupun bekerja di rumah namun tetap saja kehidupan harus tetap berlanjut, bukan?
Di dalam sistem ini korban yang paling terkena dampaknya adalah wanita. Sebab, saat ini wanita banyak yang tidak sesuai perannya sebagai istri atau ibu. Karena harus menjadi tulang punggung keluarga. Perusahaan berkilah bahwa wanita lebih teliti dan cermat dalam bekerja, padahal sebenarnya itu hanya propaganda saja untuk menghilangkan peran wanita di rumah sebagai sekolah pertama bagi anak.
Setelah disibukkan bekerja kurang lebih 8 jam, kaum wanita tidak serta merta berleha-leha istirahat. Masih banyak tugas rumah menanti dan mesti dikerjakan seperti mencuci baju, mencuci piring, menggosok dan lain-lain.
Anak pun menjadi korban. Saat bekerja dititipkan kepada baby sitter atau kepada neneknya. Menjadi kesedihan tersendiri saat waktu bersama anak berkurang, kehilangan momen-momen pertumbuhan anak (golden age).
Dalam mengelola uang pun, perempuan mesti memutar otak lebih ekstra. Sebab di tengah pandemi justeru semua harga bahan pokok tak terkendali, suami di PHK.
Karena kondisi seperti ini, istri yang bekerja, menjadi beban tersendiri bagi perempuan. Menjadikan istri dan ibu rumah tangga harus tetap menjaga kewarasan, akibat bobroknya sistem saat ini.
Perceraian menjadi solusi bagi para istri dan tidak sedikit pula yang mengambil jalan pintas untuk bunuh diri. Bahkan, bunuh diri bersama anak-anaknya karena tidak sanggup menahan beban hidup yang amat sulit.
Apakah dengan banyaknya kasus perceraian yang disebabkan kesulitan ekonomi akibat pandemi ini pemerintah memberi peduli yang maksimal sebagai solusi?
Tidak, pemerintah hanya memberi dan menjalankan fungsi sebagai tanggung jawab yang tidak solutif sama sekali.
Jika menelisik kembali sejarah Islam kita tidak akan menemukan kerusakan yang ‘se-rusak’ ini.
Di tengah pandemi, saat paceklik pun di dalam negara yang menerapkan sistem Islam, rakyat tidak akan terkena dampak terlalu berat. Sebab negara selalu mengutamakan rakyat. Pemimpinnya pun tidak pernah mengutamakan kepentingan pribadi.
Apalagi wanita. Di dalam negara yang menerapkan aturan Islam, perempuan sangat dimuliakan, dijaga dan dilindungi.
Jangankan seorang janda, seorang perempuan yang memiliki suami pun masih dijamin kebutuhan hidupnya oleh negara. Hanya dalam sistem Islam saja perempuan mendapat keadilan, rasa aman karena dilindungi kehormatan dan dijaga privasinya.
Maka dari itu, wahai perempuan, bersabarlah! Bukan lelaki tak ingin bekerja. Bukan ia abai terhadap tanggung jawabnya. Tetapi, keadaan yang memaksa. Sebab aturan yang diterapkan menginginkan perempuan melanggar kodratnya. Ingin menyetarakan peran perempuan dengan laki-laki, bahkan menjadi ajang kompetisi.
Dan untuk perempuan-perempuan lajang yang sedang berada pada titik jenuh, yang sedang merasa benar-benar lelah dengan monotonnya kehidupan hingga meluapkannya di media sosial dengan caption ‘lelah, mau nikah aja.’
Bahwa, pernikahan itu bukan hanya tentang saling bermanja dan bermesraan saja. Bukan pula untuk meng-istirahatkan diri dari lelahnya kehidupan sebelum menikah.
Pernikahan adalah ibadah terpanjang yang terdiri dari dua orang dengan perbedaan pemikiran dan kebiasaan, yang mau tidak mau kita harus menyelaraskan visi misi pernikahan. Jangan berfikiran dangkal dengan mengira menikah itu enak sebab ada yang memperhatikan, ada yang mengantar jemput, saling berbagi cerita. Justru setelah menikah akan ada babak baru keehidupan yang sesungguhnya.
Akan ada aturan-aturan dan problematika baru yang akan kita temui, akan ada hal-hal asing yang baru dirasakan.
Oleh sebab itu, sekali lagi pernikahan bukan ajang untuk melampiaskan ke-lelahan diri.Pernikahan bukan hanya pelampiasan hasrat atau naluri berkasih sayang saja.
Sebelum menikah ada 3 hal yang sangat dibutuhkan, yang pertama perbaiki diri, sebab jodoh adalah cerminan diri.
Kedua, perlu juga edukasi dan membuat visi misi pernikahan.
Sebab jika visi misinya dijalankan secara otodidak, maka yang terjadi akan selalu beradu argumen. Adapun hal ketiga adalah parenting, bagaimana memahami teknik dan strategi mengasuh anak serta cara membentuk karakter anak.
Dalam hal ini semua diperlukan persiapan matang dan ilmu yang cukup sehingga kita siap menghadapi segala problematika pernikahan dan pandai mengambil keputusan.
Ketiga hal tersebut tidak akan didapatkan dengan jalan pacaran. Jelas Allah mengaharamkan pacaran maka Allah tidak akan ridho saat sesuatu yang mulia (pernikahan) diawali oleh kemaksiatan.
Coba bayangkan bila pernikahannya tidak diridhoi oleh Allah? Bagaimana sakinah, mawadah, warohmah akan tercapai jika Allah saja tidak ridho.
Wanita adalah tonggak peradaban sebab ia melahirkan generasi-generasi cemerlang yang dididik dengan ilmu agama.
Maka tujuan sistem kapitalisme adalah merusak wanita-wanitanya sehingga rusaklah generasi setelahnya. Lalu, tunggu apalagi untuk menyadari bahwa sistem demokrasi ini sudah terbukti usang?
Ayolah kita sadari bersama agar anak cucu kita sebagai generasi penerus tidak terjebak dalam kubangan kerusakan sebuah sistem yang kita wariskan. Wallahu’alam bishawab.[]
*Praktisi pendidikan
Comment