Kurikulum Prototipe Dan Kelanggengan Kesenjangan Mutu Pendidikan

Opini1074 Views

 

 

Oleh: Puput Hariyani, S.Si, Pendidik Generasi

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Dunia Pendidikan kembali menjadi perbincangan oleh karena rencana Kementerian Pendidikan yang akan menerapkan kurikulum 2022 yaitu kurikulum prototipe. Kurikulum yang diberikan sebagai opsi tambahan bagi satuan pendidikan untuk melakukan pemulihan pembelajaran selama 2022-2024.

Kurikulum prototipe ditawarkan Kemendikbudristek sebagai pilihan bagi sekolah dalam mengatasi kehilangan pembelajaran atau learning loss dan mengakselerasi transformasi pendidikan nasional (Kompas.com)

Muncul beragam sambutan yang berbeda mengenai kurikulum ini. Sebagian warganet menyambut positif kebijakan kurikulum prototipe Kemendikbudristek namun tidak sedikit pula pihak yang mempertanyakan dampak kebijakan pada kesenjangan pendidikan. Mereka mengkhawatirkan kurikulum tersebut hanya cocok untuk sekolah yang memang sudah bagus.

Menanggapi rencana ini, meskipun mendukung kurikulum prototipe, beberapa anggota Komisi X juga masih mempertanyakan penerapan kurikulum prototipe ini dan berpesan agar penerapannya tidak justru melanggengkan kesenjangan mutu antar pendidikan sekolah dan daerah, sebagaimana disampaikan dalam rapat kerja Komisi X DPR RI dengan Mendikbudristek (detikNews.com).

Sebagaimana jamak dipakai, selama ini kesenjangan pendidikan antar wilayah dan antar kelompok sosial-ekonomi masyarakat masih menjadi problem tersendiri dan belum tersolusi apalagi semakin parah akibat pandemi.

Ambil contoh hasil belajar literasi dan numerasi siswa di wilayah Timur Indonesia masih jauh tertinggal sekitar 8 bulan belajar dibanding siswa yang tinggal di wilayah Barat. Mereka yang tidak memiliki fasilitas belajar, seperti buku teks, tertinggal 14 bulan dibanding yang memiliki. Bahkan, siswa yang ibunya tidak bisa membaca tertinggal 20 bulan belajar dibanding mereka yang ibunya bisa membaca.

Data ini mengkonfirmasi betapa kesenjangan mutu kualitas pendidikan semakin bertambah. Apalagi terjadi penutupan sekolah sementara akses perangkat digital dan internet di rumah sangat minim. Hal ini semakin melanggengkan kesenjangan yang sebenarnya sudah terjadi jauh-jauh hari sebelum pandemi.

Belum lagi kesenjangan dari sisi hasil belajar sosial, emosional, moral dan spiritual yang cukup serius, sangat dikhawatirkan jika terakumulasi secara terus menerus maka akan menjadi problem sosial politik yang pada akhirnya membutuhkan penanganan secara sistemik.

Kurikulum Prototipe Melanggengkan Kesenjangan Mutu Pendidikan

Kurikulum prototipe dirancang agar memuat lebih sedikit materi. Kurikulum prototipe juga akan dilengkapi perangkat yang memudahkan guru melakukan diferensiasi pembelajaran. Semisal, Kemendikbudristek akan menyediakan alat assessment diagnostik untuk literasi membaca dan matematika. Kemendikbudristek juga akan membekali guru dengan beragam contoh modul yang bisa diadopsi atau diadaptasi sesuai konteks.

Memang kita tidak boleh memandang sebelah mata guru dan sekolah yang ada di ‘pinggiran’ ekosistem pendidikan dengan kacamata defisit. Namun, realitas tak terbantahkan bahwa kesenjangan fasilitas pendidikan dapat kita saksikan dengan mata telanjang.

Cukupkah pendidikan berkualitas hanya dari kecakapan seorang guru? Tentu tidak! Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan dilaksanakan dengan mewujudkan pembelajaran yang dirancang agar peserta didik dapat mengembangkan kemampuan dan potensi yang dimiliki.

Untuk merealisasikannya butuh banyak hal mulai dari penyusunan konsep, perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi atau penilaian pendidikan. Termasuk keterpaduan komponen-komponen yang saling terkait.

PH Coombs (1968) menyebutkan bahwa terdapat 12 komponen pendidikan yang wajib dipenuhi dalam satuan pendidikan, yaitu: Tujuan dan prioritas, peserta didik, manajemen, struktur dan jadwal waktu, isi atau materi, dosen dan pelaksana (tenaga kependidikan), alat dan sumber belajar, fasilitas, teknologi, pengawasan mutu, penelitian dan biaya pendidikan.

Menurutnya jika salah satu saja tidak tersedia, maka pendidikan akan menjadi timpang dan terhambat. Contoh, keterbatasan biaya akan mengakibatkan sistem pendidikan berhenti karena tidak dapat mengadakan fasilitas penyelenggaraan pendidikan seperti sumber belajar dan media pembelajaran. Tanpa teknologi, pendidikan menjadi usang dan tidak relevan, dll (https://ilmu-pendidikan.net/pendidikan/komponen-utama-sistem-pendidikan)

Kurikulum prototipe ini justru sangat dikhawatirkan akan memperburuk kesenjangan dan menunjukkan lepas tangannya peran negara dalam penjaminan mutu pendidikan jika komponen pendidikan tidak dipenuhi secara merata mulai dari level ibu kota hingga desa.

Bagaimanapun juga kualitas pendidikan ditopang oleh banyak hal, baik dari sisi kualitas tenaga kependidikan, Kurikulum, fasilitas, sarana prasarana dan situasi kegiatan belajar mengajar yang kondusif. Selain didukung oleh peran orang tua, keluarga, masyarakat dan jaminan negara dalam memayungi setiap komponen pendidikan dan pendukungnya.

Semua ini tentu harus menjadi pertimbangan agar tidak terkesan memaksakan kurikulum yang dianggap akan memberikan harapan baru di tengah kemelut dunia pendidikan.

Kita harus jujur mengakui bahwa kurikulum kita sudah berganti-ganti lebih dari sebelas kali sejak kepemimpinan negeri ini namun belum juga memberikan hasil yang berarti.

Seperti dikutip brilio.net dari kemendikbud.go.id ternyata selama ini Indonesia telah berganti kurikulum sebanyak 11 kali, terhitung sejak Indonesia merdeka. Yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013, dan 2015.

Kita juga harus berbesar hati menerima kenyataan bahwa bergonta gantinya kurikulum negeri ini nyatanya belum mampu menjawab persoalan pendidikan yang semakin hari semakin menyisakan pertanyaan. Akan dibawa kemana arah pendidikan nasional?

Penting untuk mengevaluasi, kita memerlukan penjelasan lebih detail mengapa kurikulum lama diganti baru. Penjelasan yang tidak sekadar berbasis pada selera, namun data.

Sebenarnya atas dasar riset apa kurikulum harus diganti lagi. Anak didik juga bukan objek percobaan. Lantas cara pandang apa yang selama ini digunakan untuk mendiagnosa persoalan dan mensolusi masalah pendidikan?

Jika selama ini cara pandang kita masih berdasarkan cara pandang manusia, mungkin itu sebabnya kita belum juga menemukan solusi. Semestinya manusia mengakui kelemahannya, dan mencoba untuk mengambil cara pandang Islam dalam melihat problem dan merumuskan solusi pendidikan. Wallahu’alam bi ash-showab.[]

Comment