Oleh: Della Novita Sari, SP, Aktivis Dakwah
_________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA –Pandemic covid-19 yang melanda dunia, menimbulkan dampak pada berbagai lini kehidupan salah satunya pada sektor pendidikan. Berdasarkan penelitian Kemendikbudristek pandemic covid-19 telah menyebabkan siswa kehilangan pembelajaran (learning loss).
Maka dari itu Kemendikbudristek menawarkan kurikulum baru sebagai bagian dari kurikulum nasional untuk mendorong pemulihan pembelajaran di masa pandemi, yaitu kurikulum prototipe.
Kurikulum prototipe memuat lebih sedikit materi dan dilengkapi dengan perangkat yang memudahkan guru melakukan diferensiasi pembelajaran. Kemendikbudristek akan menyediakan alat asesmen diagnostik untuk literasi membaca dan matematika. Selain itu, juga akan membekali guru dengan beragam contoh modul yang bisa diadopsi atau diadaptasi sesuai konteks.
Kurikulum prototipe tersebut bermuatan 7 tema pembelajaran yaitu gaya hidup berkelanjutan, kearifan lokal, bhineka tunggal ika, bangunlah jiwa dan raga suara demokrasi, merekayasa dan berteknologi untuk membangun NKRI dan kewirausahaan.
Kurikulum ini memiliki 3 karakteristik yaitu pengembangan karakter berfokus pada materi esensial, serta fleksibelitas perancangan kurikulum sekolah. Pelaksanaan kurikulum ini difokuskan pada sekolah penggerak yang di dalamnya ada guru penggerak.
Hal ini menimbulkan berbagai pandangan di masyarakat. Ada yang menyambut positif namun sebagian juga mempertanyakan dampak kebijakan tersebut terutama terkait dengan persoalan kesenjangan dalam proses pendidikan. Banyak pihak yang mengkhawatirkan jika kurikulum itu hanya bisa diterapkan di sekolah yang memang sudah bagus.
Namun, benarkah penerapan kurikulum prototipe ini akan menjadi solusi yang tepat?
Penerapan kurikulum prototipe ini menuntut adanya beban kerja guru dan linearitas guru pada sekolah. Pelaksanaan kurikulum ini akan dapat dicapai jika jumlah guru sesuai kebutuhan. Tak hanya itu, pemenuhan penataan linearitas guru dalam pembelajaran harus sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam keputusan Mentri Pendidikan Kebudayaan Riset Teknologi nomor 371/M/2021 tentang program sekolah penggerak.
Berdasarkan fakta ini, maka akan timbul masalah baru di mana kesenjangan pendidikan antar wilayah dan kelompok sosial-ekonomi di Indonesia yang terlihat jelas dan semakin diperjelas dengan adanya pandemic.
Berdasarkan riset, learning loss tercipta akibat adanya pandemi dan penerapan kurikulum darurat sebelumnya yang tidak merata terjadi pada wilayah timur, Indonesia. Tertinggal sekitar 8 bulan belajar dibanding yang tinggal di wilayah barat. Siswa yang tidak memiliki fasilitas belajar, tertinggal 14 bulan belajar dibanding yang memilikinya karena itulah prestasi akademik berkorelasi dengan latar belakang sosial-ekonomi keluarga siswa.
Adanya kesenjangan dalam pendidikan merupakan dampak dari sebuah sistem yang diterapkan, karena peraturan dalam dunia pendidikan tak terlepas dari politik & ekonomi. Dari sistem politik dan ekonomi inilah kebijakan pembangunan, pemerataan, distribusu kekayaan, produksi dan akses layanan publik lainnya diputuskan.
Sudah diketahui secara umum, di negri ini terjadi polarisasi daerah. Ada daerah yang sangat maju dan masif pembangunanya dan ada pula yang sebaliknya, jangankan mendapatkan fasilitas yang mumpuni, askes untuk bersekolah saja sulit didapatkan.
Tak hanya di daerah yang tertinggal yang merasakan diskriminasi pendidikan, daerah kota-kota besar juga masih banyak yang tidak bisa menyekolahkan anak di lembaga pendidikan dengan sarana dan fasiltas yang mumpuni dikarenakan biaya yang mahal sebagai akibat liberalisasi dan komersialisasi dunia pendidikan.
Kualitas pendidikan pararel dan berkorelasi dengan kondisi sosial-ekonomi mereka, inilah masalah yang timbul akibat penerapan sistem kapitalisme liberal. Sistem yang hanya berorientasi pada keuntungan bagi pihak tertentu, yakni para korporat, bukan pada kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, jika solusi yang ditawarkan masih pada skala perubahan kurikulum tanpa merubah mindset mengurus kebutuhan publik, solusi seperti ini hanya sebuah upaya tambal-sulam yang tidak menyentuh persoalan mendasar.
Sangat berbeda dengan sistem islam yang dibangun berlandaskan Al-quran dan As-sunnah. Rasulullah SAW bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)
Maka untuk menjamin kesejahteraan warga negaranya. Khalifah menerapkan sistem ekonomi syariah. Di antara dampaknya adalah akses kebutuhan dasar publik seperti pendidikan akan didapat dengan kualitas yang sama dan gratis oleh siapapun. Baik warga negara muslim atau non muslim, orang kaya atau miskin, daerah perkampungan atau perkotaan semua akan mendapatkan fasilitas yang sama.
Hal ini karena tidak ada komersialisasi dan liberalisasi layanan publik. Semua yang menjadi akses layanan publik, mutlak menjadi tanggung jawab negara. Baik dari sarana prasarana, guru-gurunya maupun media pembelajaran, tunjangan pendidikan siswa dan guru, dsb.
Kekayaan alam dikelola oleh negara dan hasilnya dimasukkan ke kas baitul mal kepemilikan umum dan dari pos inilah negara mampu memberikan layanan publik secara gratis dan berkualitas. Dengan kebijakan ini maka akan tercipta pemerataan pendidikan di setiap wilayah dengan kualitas dan layanan terbaik untuk semua warga negara tanpa kecuali. Wallahu a’lam bishshawab.[]
Comment