KTT G20: Antara Ketahanan Ekonomi, Politik dan Maslahat
Oleh: Dwi Sri Utari, S.Pd, Guru dan Aktivis Politik Islam
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Untuk pertama kalinya, Indonesia memegang Presidensi Group of 20 (G20). Sebuah forum kerja sama multilateral yang terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa (EU).
Anggota G20 terdiri dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa. G20 merepresentasikan lebih dari 60% populasi bumi, 75% perdagangan global, dan 80% PDB dunia.
Periode Presidensi Indonesia berlangsung selama satu tahun, mulai 1 Desember 2021 hingga November 2022. Sebagai Presidensi G20, Indonesia mengusung semangat pulih bersama dengan tema “Recover Together, Recover Stronger.”
Tema ini diangkat oleh Indonesia, menimbang dunia yang masih dalam tekanan akibat pandemi COVID-19, memerlukan suatu upaya bersama dan inklusif, dalam mencari jalan keluar atau solusi pemulihan dunia. Lalu dapatkah KTT G20 mendatangkan maslahat bagi rakyat Indoneisa?
KTT G20 ini telah resmi berakhir pada Rabu (16/11) dengan menyepakati sejumlah kebijakan ekonomi untuk berkomitmen berinvestasi di Indonesia. Seperti ditulis CNN Indonesia, Kamis (17/11)2022), 10 kesepakatan ekonomi dan investasi hasil KTT G20 meliputi antara lain:
1. Dana Pandemi (Pandemic Fund), Dana Pandemi yang telah terkumpul sekitar Rp21,7 triliun berasal dari kontribusi 15 negara dan tiga lembaga filantropi. Jumlah itu kemungkinan terus bertambah mengingat Australia, Prancis, dan Arab Saudi juga menyampaikan komitmennya untuk berkontribusi pada Dana Pandemi.
2. Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform, yakni upaya mempercepat penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara dan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) melalui dukungan pembiayaan untuk ETM dari Climate Investment Funds dan dukungan kerja sama lembaga internasional.
3. Resilience and Sustainability Trust (RST) oleh IMF, Negara-negara G20 juga berkomitmen membantu ketersediaan pembiayaan bagi negara-negara rentan dan miskin melalui pembentukan Resilience and Sustainability Trust (RST) oleh IMF yang sudah mencapai US$81,6 miliar atau setara Rp1.275 triliun.
4. Bali Konpendium merupakan kesepakatan yang disusun dengan kerja sama United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). Kompendium ini nantinya akan digunakan sebagai panduan berinvestasi oleh negara-negara G20.
5. Global Blended Finance (GBF) yang diluncurkan untuk bisa membangun kapasitas pembiayaan campuran yang lebih baik di seluruh wilayah, baik antar negara, sektor swasta, dan filantropi.
6. Transaksi Digital Bank Sentral ASEAN, di mana Bank Indonesia (BI) menandatangani kerja sama dengan 4 bank sentral ASEAN, yakni Bank Negara Malaysia (BNM), Bangko Sentral ng Pilipinas (BSP), Monetary Authority of Singapore (MAS), dan Bank of Thailand (BOT).
Implementasi kerja sama ini bakal mendukung dan memfasilitasi perdagangan, investasi, pendalaman pasar keuangan, remitansi, pariwisata, dan aktivitas ekonomi lintas batas lainnya, serta mendorong ekosistem ekonomi dan keuangan kawasan yang lebih inklusif.
7. Investasi AS ke Indonesia Rp38,82 T yang berbentuk kesepakatan antara ExxonMobil dengan Pertamina.
8. Investasi CNGR Advanced Material China, Kementerian Investasi menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan CNGR Advanced Material Co Ltd, produsen ternary precursor asal China, untuk mendukung pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Penandatanganan kerja sama ini memiliki nilai investasi US$5 miliar. Dalam MoU, Kementerian Investasi akan bertanggung jawab untuk membantu CNGR Advanced Material memperoleh semua penerbitan izin proyek, termasuk insentif investasi dari pemerintah.
9. Investasi Jepang dan Inggris di MRT Jakarta, Jepang dan Inggris berminat untuk berpartisipasi dalam proyek pengembangan angkutan massal perkotaan MRT Jakarta.
10. Investasi Turki di Produksi Bus Listrik. Tak cukup sampai di situ, Indonesia dan Turki menjalin kesepakatan bilateral terkait produksi bus listrik dalam negeri dan pembangunan jalan tol Trans Sumatra.
Menelisik hasil KTT G20 tersebut, dapat diketahui bahwa perjanjian-perjanjian yang telah disepakati tidak lain merupakan sebuah legalitas yang mengikat untuk para investor asing mengarahkan dukungan atas nama pembangunan melalui utang.
Hal ini tentu saja mendukung kepentingan bisnis modal besar dari negara maju sebagai pihak yang memberi utang. Di satu sisi, kebijakan ini menguntungkan pihak pemberi utang tetapi di sisi lain semakin menjerat negara-negara di kawasan ini dengan beban utang yang semakin besar.
Bagi Indonesia sendiri, saat ini sudah memiliki beban utang yang cukup besar. Dikutip dari CNBC Indonesia pada 22 oktber 2022, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan, posisi utang pemerintah Indonesia hingga 30 September 2022 telah mencapai Rp7.420,47 triliun. Dalam sebulan utang pemerintah bertambah Rp183,86 triliun. Realisasi utang Indonesia sebesar Rp7.420,47 triliun setara dengan 39,3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau naik dibandingkan dengan rasio Agustus 2022 yang mencapai 37,9%.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, utang luar negeri ini telah menjadi sarana hegemoni atas negara-negara berkembang. Melalui perjanjian kerjasama mengikat dan melahirkan hubungan tidak seimbang.
Bagaimana tidak, negara-negara kuat baik secara finasial, teknologi dan sumber daya manusia, akan memenangkan persaingan dan semakin “menghisap” ekonomi dari negara-negara miskin.
Kuatnya penguasaan modal asing terhadap tanah, sumber energi, dan keuangan akan menghilangkan akses rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi yang menyebabkan semakin memburuknya kondisi ekonomi rakyat.
Selayaknya Indonesia memiliki ketahanan politik dan ekonomi yang kuat. Sebuah sistem ketahanan yang akan melindungi negara dari hegemoni negara asing melalui utang.
Mutual of Understanding atau kerjasama dengan pihak asing sejatinya dilakukan dengan mempertimbangkan sisi manfaat dan maslahat bagi rakyat. Sebagai contoh bisa dilakukan melalui perjanjian perdagangan bukan melalui utang. Jika diperlukan, dikuatkan upaya rekontruksi legalitas hukum.
Pasalnya, masuknya hegemoni asing ke negeri ini banyak diawali dengan pembuatan UU (undang-undang) yang berpihak kepada mereka dan pemodal asing.
Dalam pembuatan UU selayaknya juga menyertakan nilai nilai religius yang memiliki ketentuan dan asas-asas sistem ekonomi meliputi kepemilikan, pengelolaan kepemilikan dan distribusi kekayaan dengan landasan mengutamakan kepentingan rakyat bukan pemilik modal apalagi pihak asing.
Dengan merujuk etika dan nilai nilai agama ini akan melindungi negara dari jeratan utang terlebih pinjaman dengan konsep bunga (riba).
Negara sejatinya mempertimbangkan semua kebijakan untuk dan demi kemaslahatan rakyat bukan asing dan pemilik modal. Wallahu a’lam bishshawab.[]
Comment