Kritik Antara Demokrasi Dan Islam

Opini811 Views

 

 

Oleh; Khaeriyah Nasruddin, S.Sos, Freelance Writer

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Akhir akhir ini banyak kritik  bermunculan, mulai dari kalangan rakyat biasa, ustadz, pejabat juga dari mahasiswa. Kritik yang dilontarkan pun tidak hanya melalui wadah media sosial, ada pula melalui seni mural dan aksi dengan membentangkan poster.

Sebut saja baru-baru ini, satu kritik muncul dari sepuluh mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) dengan membentangkan poster di beberapa jalan masuk kampus ketika presiden Joko Widodo bersiap menghadiri forum Rektor Perguruan Tinggi Se-Indonesia. Namun sayang aksi itu harus diwarnai dengan penangkapan oleh aparat kepolisian.

Menilik dari isi poster, di sana ada yang tertulis, “Pak Jokowi tolong tuntaskan pelanggaran HAM” dan “Pak tolong benahi KPK”, sebenarnya tak ada muatan aneh, bahasa yang disampaikan pun terlihat santun. Apakah mereka melanggar prokes? Tidak! Mereka menyampaikannya tidak dalam keadaan berkumpul.

Mengherankan, mengapa bila rakyat melakukan kritik, selalu dicari-cari kesalahannya sementara orang luar yang berbondong-bondong masuk di depan mata tak terlihat. Semut di seberang lautan tampak sementara gajah di pelupuk mata tak tampak, agaknya pepatah ini sedikit pas menggambarkan situasi yang terjadi.

Aksi-aksi kritik seperti ini meski selalu diawali dengan aksi penangkapan dan diakhiri dengan pembebasan bukan hal yang harus dipandang sebelah mata. Munculnya kritik tentu saja dilandasi sesuatu bukan asalan. Tidakkah berarti kritik lahir karena dilatarbelakangi sebuah masalah?

Bukankah sebelumnya petinggi negeri ini pernah mengatakan suka dikritik dan minta dikritik, tapi kenapa ketika kritikan diberikan mereka harus dibungkam, ditangkap atau dihadapkan dengan UU ITE? Serba salah, tapi akan lebih salah lagi bila berdiam diri.

Hadirnya kritik dari segala arah dan dari berbagai latar belakang seharusnya menyentak kesadaran kita bahwa negeri ini sedang tidak sehat.

Adapun yang dilayangkan kritik tak jua peka bahkan terkesan tidak ingin peduli. Beginilah rupa dari sistem demokrasi semu. Sudah hampir seabad dunia ini berada di bawah cengkeraman sistem demokrasi dan bisa dilihat apa yang disebabkan darinya, kerusakan, penganiayaan, kemiskinan, pembunuhan dan seterusnya.

Segala macam kerusakan ini tidak hanya disebabkan oleh visi kepemimpinan yang tidak visioner tapi disebabkan pula oleh sistem yang paling mendasar yang dijadikan sebagai acuan dan landasan kebijakan. Sistem demokrasi hari ini telah menampakkan kelemahan dan kegagalannya dalam upaya mengatur dunia dari segala aspek.

Oleh karena itu, mengharapkan sebuah perubahan melalui sistem tampaknya menjadi hal urgent. Kita mengharapkan sebuah perubahan nyata dengan kehadiran sistem baru yang bisa mengatur tata kehidupan baik pada skala makro maupun mikro.

Harus ada keberanian pihak pihak terkait wabil khusus para pejabat untuk mencari alternatif sistem yang mampu mengubah kondisi gelap menuju cahaya. Islam bisa menjadi sebuah alternatif dan sekaligus sebagai jawaban.

Demokrasi semu yang dengan angkuh menggaungkan slogan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat belum pernah memberi fakta empiris kecuali sebuah adagium fatamorgana belaka.

Hanya pemilik modal yang bisa merasakan betapa indahnya demokrasi, mereka juga memiliki kekuasaan untuk memuluskan segala kehendak, termasuk merencanakan undang-undang sambil memarginalkan penguasa sebatas sebagai pelayan setia yang siap melaksakan titah tuannya.

Ketika kapitalist memainkan peran melalui transaksi di balik meja, rakyat pun tidak berdaya. Katakanlah ketika rakyat berteriak kalap meminta haknya dipenuhi atau meminta pemimpin diganti, suara mereka sebanyak apapun tidak akan didengar dan hilang seketika.

Apapun sistem yang lahir dari pemikiran manusia tidak akan mampu memenuhi keinginan semua orang, akan timbul pergesekan-perbedaan. Manusia itu lemah, tempatnya salah dan dosa. Tidak akan sanggup manusia membuat aturan untuk semua orang, tak akan pernah bisa. Apa yang sudah diberikan sistem demokrasi yang katanya kedaulatan di tangan rakyat itu? Prinsip ini terbukti gagal sebagai sebuah pemikiran baik dari sudut teoritis maupun praktis.

Dalam Islam kedaulatan itu ada di tangan pembuat syariat, yakni Allah swt sedang manusia hanya menjalankan hukum-hukum yang telah ditetapkan. Siapa lagi yang lebih tahu manusia kalau bukan penciptanya? Siapa lagi yang lebih tahu aturan terbaik untuk manusia selain penciptanya? Tak ada!

Lagi pula, selama kurun waktu 13 abad Islam pernah diterapkan dalam konteks kehidupan praktis dan universal dengan menampilkan keadilan bagi semua tanpa pandang latar belakang perbedaan suku agama dan ras. Sebuah keadilan yang nyata bukan fatamorgana. Kehidupan di masa itu menjadi sebuah mercusuar peradaban yang gemilang.

Hal ini menjadi sebuah catatan sejarah yang tidak akan pernah terlupakan. Will Durant, seorang ilmuwan Barat pun mengakui hal ini.

“Pada masa pemerintahan Abdurrahman III diperoleh pendapatan sebesar 12.045.000 dinar emas (lebih dari Rp 24 triliun). Diduga kuat bahwa jumlah tersebut melebihi pendapatan pemerintahan negeri-negeri masehi latin jika digabungkan. Sumber pendapatan yang besat tersebut bukan berasal dari pajak yang tinggi, melainkan salah satu pengaruh dari pemerintahan yang baik serta kemajuan pertanian, industri, dan pesatnya aktivitas perdagangan.”

Begitupun Jacques C. Reister. Dirinya begitu polos mengakui bahwa selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi.”

Demikianlah, dua pengakuan ilmuan barat ini telah mewakili betapa luar biasanya sistem pemerintahan Islam yang pernah diterapkan dalam panggung kehidupan manusia Di dunia ini.

Tidak inginkah kita merasakan kembali keadilan dan kesejahteraan hidup sebagaimana yang telah diberikan oleh Islam? Bila sistem demokrasi gagal total kenapa tidak coba melirik sistem Islam? []

Comment